Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ketika Kebersihan Hati Tergantung Ketukan Jari di Media Sosial

17 Mei 2019   21:10 Diperbarui: 17 Mei 2019   21:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@gpthree)

Rasulullah Saw pernah bersabda, yang artinya, "Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga." (H.R. Ahmad no. 12636).

Hadist Rasulullah tersebut memberi petunjuk pada kita bahwa istiqomahnya iman itu dimulai dari ujung lidah. Kalau lidah kita bisa istiqomah, maka iman kita juga akan tetap terjaga. Karena itu, ada sebuah ungkapan dalam bahasa Arab yang menyatakan, salamatul insan fi hifzhil lisan, selamatnya manusia tergantung pada lisannya.

Setiap ucapan kita senantiasa dicatat oleh Malaikat

Dalam Al Quran, Allah juga sudah memberi kita peringatan tentang lisan dan perkataan yang kita ucapkan.

 "Tidak ada suatu ucapan yang diucapkan seseorang melainkan ada di dekat (pengucap)nya (malaikat) pengawas yang selalu hadir (mencatat ucapannya tersebut) (QS. Qaf/50:18)".

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya,  "pembicaraan" dalam bahasa Al Quran dinamai Kalam. Dari akar kata yang sama dibentuk pula kata yang berarti "luka", agar menjadi peringatan bahwa Kalam juga dapat melukai. Ini semua seharusnya mengantarkan seseorang untuk selalu berhati-hati, memikirkan, dan merenungkan apa yang akan diucapkan. 

"Kamu menawan apa yang akan kamu ucapkan. Tetapi begitu terucap, maka kamu lah yang menjadi tawanan."

Transformasi ucapan, dari lisan turun ke jari

Dengan berkembangnya teknologi sekaligus kemajuan peradaban manusia, seseorang dalam menyampaikan pembicaraan atau pendapatnya tidak lagi menggunakan lisan, melainkan bergeser menggunakan jari! Kehadiran internet, smartphone dan media sosial memungkinkan kita semua memasuki sebuah budaya baru, yakni budaya berbicara dan menyampaikan pendapat melalui ketikan jari.

Karena itu, supaya sesuai dengan peradaban modern masa kini tersebut, penggalan hadist Nabi SAW diatas bisa kita maknai narasinya menjadi "hati seorang hamba tidak akan istiqamah hingga jarinya istiqamah (dalam kebaikan)". Karena hati kita tidak istiqamah, otomatis iman kita pun tidak bisa istiqamah pula.

Mulanya, internet, gawai dan media sosial di dalamnya diciptakan untuk memudahkan kita berkomunikasi, berinteraksi, memberi dan mencari informasi. Sebagaimana setiap ciptaan manusia lainnya, internet, gawai, dan media sosial ibaratnya sebuah pisau. Bila digunakan dengan bijak, ia bisa bermanfaat. Namun bila disalahgunakan, ia akan membawa dampak yang buruk, yang bahkan keburukannya itu bisa mengalir terus menerus.

Kebersihan hati tergantung ketukan jari di media sosial

Sayangnya, kita sendirilah yang pada akhirnya banyak menyalahgunakan dan menyimpangkan kemudahan yang diberikan teknologi tersebut. Wujud dari penyimpangan di internet dan terutama media sosial ini berupa tersedianya konten-konten yang mengarah kepada kebencian, kekerasan, radikalisme, dan terorisme yang dapat mengancam kemanusiaan. Belum lagi maraknya informasi hoaks yang mengarah pada fitnah, kejahatan siber, hingga konten pornografi.

Penyalahgunaan dan penyimpangan fungsi media sosial inilah yang menjadi salah satu sebab penyakit dalam hati setiap penggunanya. Baik tua maupun muda, mereka sama-sama telah menjadi penghuni dari dunia yang telah bertranformasi dari lisan ke jari. Mereka semua memiliki kerentanan yang sama dari paparan buruk dan efek negatif internet dan media sosial di dalamnya.

Kita tidak bisa menghindar secara total dari transformasi dunia digital. Namun setidaknya, kita bisa meminimalkan dampak buruknya, mengendalikan diri kita untuk tidak ikut larut dalam jebakan penyimpangan media sosial agar hati kita tetap terjaga kebersihannya.

Puasa sebagai latihan untuk mengendalikan ketukan jari di media sosial

Puasa adalah salah satu bentuk latihan pengendalian diri yang terbaik. Bagi setiap muslim, berpuasa tidak hanya  dituntut untuk mengendalikan nafsu/kebutuhan fa'ali seperti makan, minum dan hubungan seksual saja. Jika kebutuhan yang mendasar saja dituntut untuk bisa dikendalikan, tentunya kebutuhan/nafsu-nafsu lainnya juga harus ikut bisa dikendalikan, termasuk di dalamnya adalah nafsu untuk berbicara, menyampaikan pendapat dan nafsu-nafsu batiniah lainnya.

Tak sedikit orang yang "nafsu" bicaranya melebihi "selera" makannya. Ia berbicara, membagikan informasi apa saja seolah ia mengetahui segala sesuatu, atau seakan-akan hidupnya hanya digunakan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat tanpa ada batasannya. Dalam tuntunan agama Islam, jangankan berbicara dalam bentuk menguraikan pendapat, berbicara dalam bentuk bertanya sekalipun diingatkan Allah agar tidak sembarangan.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, maka (hal itu) akan menyusahkanmu" (QS. Al Maidah/ 5:101).

Contoh kecil dari betapa bernafsunya seseorang untuk berbicara, di media sosial, seringkali beredar informasi yang belum tentu kebenarannya. Apakah itu hanya berita hoaks atau fakta. Namun karena memiliki pemahaman yang sama, atau terafiliasi dengan kelompok atau ideologi yang sama, maka sesegera mungkin informasi tersebut disebarluaskan. Bila itu benar dan bermanfaat, pahala kebaikan akan terus kita dapatkan. Tapi bagaimana bila itu tidak benar dan menjurus fitnah? Maka dosa dan keburukan pula yang akan mengalir dalam diri kita terus menerus, seiring informasi hoaks itu dibagikan oleh banyak orang.

Berkatalah yang baik atau diam

Rasulullah Saw pun pernah bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).

Dalam hadist lain, Rasulullah juga menginformasikan pada kita konsekuensi dari perkataan yang tidak diteliti kebenarannya terlebih dahulu.

"Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak ia teliti kebenarannya, ucapannya itu menyebabkannya tergelincir di neraka lebih jauh dari pada jauhnya antara timur dan barat." (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988).

Jika tidak bisa berkata dan membagikan informasi yang baik, maka, alangkah lebih baiknya kita diam. Alangkah baiknya kita kendalikan jari jemari kita untuk tidak mengetuk papan ketik smartphone atau laptop. Jangan sampai ketidaktahuan kita menjadi sebuah kebodohan yang dikonsumsi publik sehingga terjadi fitnah.

Sebagaimana firman Allah yang sudah disebutkan di atas, pada setiap manusia ada penjaga yang senantiasa mencatat setiap perkataan yang kita ucapkan. Tentu kita yakin pula, bahwa di akhirat kelak, catatan itu akan dibuka dan dibacakan. Segala amal perbuatan kita selama hidup di dunia ini, baik itu perbuatan atau ucapan, akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban. 

Kita bisa memilih, mana yang baik, dan mana yang buruk untuk kita kerjakan dan hindari. Kendalikan ketukan jari jemari, agar hati kita senantiasa tetap bersih dan istiqomah dalam kebaikan semata. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun