Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tentang Sholat Tarawih yang Tidak Banyak Kita Ketahui Ilmunya

12 Mei 2019   00:08 Diperbarui: 12 Mei 2019   00:40 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada istilah Sholat Tarawih di Jaman Nabi Muhammad SAW.

Di masa Rasulullah SAW, tidak ada istilah shalat tarawih selama bulan Ramadan. Dalam teks hadist yang selama ini dijadikan acuan dan dalil untuk beribadah sholat sunnah di waktu malam selama bulan Ramadan, Rasulullah hanya menyebut "Qiyam Ramadan" (dari kata 'Man Qooma Ramadan')". Hadist lengkapnya adalah:

 

"Barang siapa yang (menjalankan) qiyam Ramadan semata-mata beriman dan mengharapkan pahala dari Allah Swt, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni" (HR. Imam Bukhari).

Lalu darimana istilah Tarawih itu muncul dan digunakan pertama kalinya?

Menurut KH. Ali Mustofa Ya'kub (Allahu Yarham), istilah tarawih tampaknya muncul dari penuturan istri Nabi SAW, Aisyah r.a. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Aisyah mengatakan, "Nabi Saw shalat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali."

Dari akar kata Yatarawwah itulah kemudian muncul istilah tarawih. Dalam bahasa arab, kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat. Arti dari tarawih ini dijelaskan dalam Kamus Lisanul Arab, salah satu kamus standar bahasa Arab yang banyak digunakan para peneliti hadist dan muhaqqiq. Disana disebutkan :

Tarawih pada asalnya adalah nama untuk duduk yang mutlak. Duduk yang dilakukan setelah menyelesaikan 4 rakaat shalat di malam bulan Ramadan disebut tarwihah, karena orang-orang beristirahat setiap empat rakaat.

Istilah tarawih sendiri tampaknya mulai muncul sejak jaman para Tabi'it tabi'in, para ulama setelah era sahabat Nabi. Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab mendefinisikan istilah shalat tarawih secara syariat Islam sebagai berikut:

Shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam bulan Ramadan, dengan dua-dua rakaat, dimana para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya.

Karena tidak pernah disebut secara lisan oleh Nabi Muhammad SAW di semua hadist tentang bulan Ramadan, ada kelakar umum di kalangan ulama bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih selama hidupnya, karena Nabi Saw hanya melakukan qiyam Ramadan.

Selain tidak pernah menyebut langsung istilah Tarawih, Nabi SAW juga tidak pernah memberi petunjuk berapa rakaat qiyam Ramadan atau shalat tarawih itu sebaiknya dilakukan. Umat Islam di mana pun juga hingga saat ini mengenal dan melaksanakan sholat tarawih dengan dua versi pelaksanaan, yakni 8 rakaat dan 20 rakaat. Masing-masing memiliki dalil dan dasar hukum yang benar.

Dalil sholat tarawih 8 rakaat

Selama ini, shalat tarawih 8 rakaat disandarkan pada salah satu hadist shahih dari Aisyah r.a. Kisahnya adalah, seorang Tabi'i yang bernama Abu Salamah bin Abd al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:

 : : 

Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selama di luar bulan Ramadhan, dan sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan Jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat Witir? Beliau menjawab, "Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur." (HR. Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai, dan Imam Malik bin Anas).

Namun menurut KH. Ali Mustofa Ya'kub, hadist tersebut konteksnya menjelaskan sholat witir, bukan sholat tarawih. Jika dilihat narasi hadistnya, ada dua penjelasan yang bisa kita tangkap.

Pertama, Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah sholat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadan maupun bukan Ramadan. Sholat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, tentu bukan sholat tarawih Sementara kita sudah mafhum sebagaimana penjelasan sebelumnya, sholat tarawih itu adalah sholat sunnah yang hanya dilakukan pada malam-malam Ramadhan.

Kedua, pada akhir hadist itu Aisyah menanyakan sholat witir kepada Nabi Saw. Sedangkan sholat witir adalah sholat sunnah yang dilakukan setiap malam, sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan Ramadhan. Karena itu para ulama berpendapat bahwa hadist Aisyah di atas adalah hadist tentang sholat witir, bukan hadist tentang sholat tarawih.

Dalil sholat tarawih 20 rakaat

Sementara sholat tarawih 20 rakaat dalil shahihnya ada pada hadist mauquf, yakni hadist yang disandarkan bukan pada Nabi SAW. Hadist ini menyebutkan riwayat Ubay bin Kaab yang menjadi imam qiyam Ramadan di masa khalifah Umar bin Khattab dengan melakukan sholat sunnah 20 rakaat plus 3 rakaat sholat witir. Hadis Ubay bin Ka 'ab ini diriwayatkan oleh Imam al~Baihaqi.  

Baik qiyam Ramadan sebanyak 8 rakaat atau 20 rakaat keduanya sah dan boleh-boleh saja selama disandarkan pada hadist "Man Qooma Ramadan" yang tidak membatasi jumlah rakaat qiyam Ramadan. Karena pada dasarnya Nabi Muhammad sendiri dalam hadist-hadist shahih lain tentang keutamaan bulan Ramadan juga tidak pernah menyebutkan secara gamblang bilangan rakaat dari Qiyam Ramadan.

Yang jelas Nabi Saw melakukan qiyam Ramadan yang kemudian dikenal dengan shalat tarawih itu selama dua atau tiga malam saja. Beliau melakukannya dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu oleh para jamaah untuk shalat yang sama, tetapi beliau tidak keluar ke masjid (HR. Bukhari).

Sholat Tarawih yang syirik

Jadi, setiap muslim bisa dan boleh melakukan sholat tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat. Namun umat Islam juga perlu hati-hati, karena menurut KH. Ali Mustofa Ya'kub, sholat tarawih juga bisa menyebabkan seseorang menjadi syirik.

Seperti apa sholat tarawih yang bisa menjadikan kita syirik?

Menurut KH. Ali Mustofa Ya'kub, beribadah itu harus berdasarkan dalil, jangan mengikuti selera atau hawa nafsu. Beribadah yang mengikuti selera atau hawa nafsu justru berdosa, bahkan sangat berbahaya. Sebab pelakunya bisa syirik. Di dalam al~Qur'an, ada ayat yang menyebutkan:

 

Tahukah kamu orang yang menjadikan seleranya sebagai Tuhannya? (Surah al-Furqan/25: 43).

Jadi apabila kita beribadah bukan karena taat kepada Allah, melainkan taat dan menuruti selera alias hawa nafsu, maka kita telah menjadikan selera itu sebagai tuhan. Dan ini sangat berbahaya karena mempertuhankan selain Allah itu adalah syirik. Apabila kita syirik, maka seluruh amal kita akan hancur, tidak ada gunanya.

Contohnya adalah apabila kita melaksanakan sholat tarawih 8 rakaat hanya karena kita ingin lebih cepat selesai, daripada mengikuti sholat tarawih yang 20 rakaat yang makan waktu lebih lama. Singkatnya, kita memilih datang ke masjid yang melakukan shalat tarawih 8 rakaat, atau yang melakukan sholat tarawih secara kilat karena pertimbangan lebih cepat dan mengikuti nafsu ingin praktis, ingin lekas selesai dan pulang untuk mengerjakan kesibukan lain. Ini oleh KH. Ali Mustofa Ya'kub bisa dikategorikan syirik, sebab mendasarkan ibadah sholat tarawih karena hawa nafsu, bukan karena ketaatan pada Allah SWT dan RasulNya.

Lebih jelasnya, KH. Ali Mustofa Ya'kub mengatakan, 

"Oleh karena itu, seyogyanya dalam ibadah shalat tarawih, kita tidak berorientasi kepada angka, alias jumlah rakaat. Silakan mau tarawih delapan rakaat asalkan mengikuti Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi. Namun orientasinya adalah lama dan bagusnya shalat itu. Begitu pula tarawih yang dua puluh rakaat, atau empat puluh rakaat, harus lama dan bagus. Tarawih delapan rakaat tentu bacaannya panjang, sedangkan tarawih duapuluh rakaat lebih banyak ruku dan sujudnya. Semuanya baik, asalkan tidak menuruti selera atau hawa nafsu."

Waallohu a'lam.

Catatan: KH. Ali Mustofa Ya'kub (Allahu yarham) adalah pendiri Darus-Sunnah International Institutes for Hadith Science, pernah menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4. 

Referensi Pustaka:Ali Mustofa Ya'qub, Hadis-Hadis Bermasalah, Pustaka Firdaus, 2003, h. 137-159.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun