Alhasil, seni musik patrol pun kehilangan maknanya. Dari yang semula untuk membantu warga bangun dan mempersiapkan makan sahur, sekarang musik patrol dianggap menganggu kenyamanan tidur. Toh tanpa musik patrol pun, setiap warga sudah punya alarm sendiri-sendiri. Tanpa harus dibantu dengan suara gedombrengan ini, warga sudah bisa bangun sendiri mempersiapkan aktivitas sahur.
Jauh bedanya dengan musik patrol yang dimainkan ketika saya masih kecil. Sebelum Ramadan tiba, anak-anak muda di kampung saya mulai sibuk membuat kentongan. Kami mencari bambu khusus, yang kulit kayunya tipis sehingga rongga dalamnya lebih luas dan ruas bukunya lebih panjang. Bambu jenis ini jika dilubangi bagian tengahnya secara memanjang, kemudian dipukul akan menghasilkan bunyi yang lebih nyaring.
Setelah membuat beberapa kentongan, kami pun mencoba membunyikannya satu per satu. Gunanya untuk mencari perbedaan bunyi, atau bisa dibilang mencari urutan tangga nada dari kentongan tersebut. Di sore hari menjelang tarawih pertama, kami latihan sebentar di masjid, untuk mencari irama musik patrol yang pas.
Begitulah, musik patrol pada jaman dulu disiapkan dengan serius. Karena memang tujuannya adalah membangunkan orang tanpa harus mengganggu kenyamanan tidur mereka. Sedapat mungkin kami memainkan musik patrol dengan irama yang rancak dan enak di dengar.
Musik patrol adalah tradisi Ramadan yang seharusnya tak lekang oleh jaman. Sayang sekali, pergeseran musikalitasnya ini justru bisa mengancam eksistensi musik patrol sebagai tradisi selama bulan Ramadan. Di beberapa kampung, musik patrol sudah jarang lagi dimainkan karena banyak protes dari warga yang merasa terganggu.
Dengan memainkan musik patrol kembali pada pakemnya, tradisi ini bisa dilestarikan. Selain membantu membangunkan warga, musik patrol yang indah di dengar juga bisa menjadi hiburan bagi masyarakat sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H