Mantan Menteri Pertanian Indonesia, Anton Apriyantono pernah berkata, "Jangan pernah bermimpi pertanian Indonesia akan maju, selama pembangunan pertanian masih kalian serahkan kepada petani yang hanya lulusan SD."
Pernyataan tersebut bukan berarti meremehkan para petani yang hanya lulus SD. Karena tidak sedikit petani yang hanya berbekal ijazah sekolah dasar bisa sukses dalam usaha mereka mengembangkan budidaya sektor pertanian.Â
Pernyataan dari mantan menteri pertanian ini harus kita maknai bahwa untuk bisa memajukan pertanian Indonesia, butuh sumber daya pelaksana yang berkualitas tinggi. Baik dalam segi keilmuan petaninya maupun sarana pendukung lain dan teknologi yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Di Indonesia, pertanian merupakan sektor utama yang berperan penting pada perekonomian nasional dalam menyerap tenaga kerja, sumber pertumbuhan ekonomi, dan penyumbang devisa. Di samping itu, sektor pertanian juga menggerakkan sektor lain dalam perekonomian nasional.
Ironisnya, meski dikenal memiliki sumber daya alam melimpah untuk diolah dan dikembangkan, sektor pertanian Indonesia tidak lebih baik dari negara lain. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya regenerasi petani dan teknologi yang dipergunakan dalam pengolahan pertanian.
Sebenarnya tidak menjadi masalah yang terlalu serius jumlah petani semakin menyusut jika yang tersisa adalah petani yang berkualitas dan memiliki keinginan besar dalam bidang pertanian. Orang-orang yang memiliki semangat dan minat besar dalam bidang mana pun akan selalu berupaya dan bekerja keras. Melalui orang-orang seperti inilah pertanian akan maju.
Tapi, seberapa banyak orang yang memiliki passion di pertanian? Seberapa banyak generasi muda yang berminat dalam sektor pertanian?
Krisis Regenerasi Petani di Indonesia
Setiap tahun, ratusan universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menerima ribuan calon mahasiswa dan meluluskan ribuan sarjana pertanian. Namun, angka ribuan ini tidak bisa menjadi bukti dan jaminan bahwa banyak pula generasi muda Indonesia yang berminat untuk bekerja dan berkarya di bidang pertanian.
Menurut data Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, terdapat 27.682.117 Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia. Rumah tangga usaha pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, atau milik orang lain dengan menerima upah (kuasa usaha), termasuk dalam hal ini adalah usaha jasa pertanian.[1]Â
Dari jumlah RTUP tersebut, petani utama di RTUP yang berada dalam kelompok umur 45-54 tahun mendominasi dengan jumlah 7.803.407 orang. Sedangkan petani utama dalam keluarga yang berusia 25-34 tahun berjumlah 2.947.254 orang dan yang berusia di bawah 25 tahun hanya berjumlah 273.839 orang. Secara total, jumlah generasi muda yang menjadi petani utama di RTUP ini juga masih kalah dibandingkan petani berusia diatas 65 tahun, yang berjumlah 3.822.995 orang.
Akibat terbesar dari rendahnya minat generasi muda terhadap pertanian ini menurut Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati dalam rilis pers LIPI adalah Indonesia krisis petani dan bisa mengancam kedaulatan produksi pangan nasional di masa depan. [2]Â
Dalam kesempatan yang sama, Herry Jogaswara, M.A, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menambahkan, krisis regenerasi petani harus menjadi perhatian yang serius.Â
Krisis regenerasi petani berjalan pelan-pelan namun membawa dampak yang besar dan ironisnya hal sepenting ini sering kali tidak disadari. Herry menyatakan, harus ada insentif bagi anak-anak muda agar mereka tertarik untuk menjadi petani.
Salah satu penyebab utama rendahnya minta generasi muda terhadap pertanian adalah pola pikir yang mereka bentuk sendiri terhadap label yang sudah terlanjur disematkan pada profesi petani. Bahwa menjadi petani itu identik dengan penghasilan yang rendah. Bahwa sistem pengolahan pertanian di Indonesia masih kuno dan tidak sesuai dengan gaya hidup jaman mereka. Petani dianggap bukan profesi yang bisa menjamin kondisi finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan seperti biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun.
Selain pola pikir dan label rendahnya profesi petani, faktor lain yang membuat generasi muda enggan memasuki dunia pertanian adalah karena pertanian adalah bisnis berisiko tinggi karena sulit diprediksi. Suatu hari mungkin petani menganggap tanaman tumbuh dengan baik namun bisa saja pada keesokan harinya terjadi hujan lebat yang merusak tanaman.
Menarik Minat Generasi Muda Melalui Pertanian Digital
Untuk meningkatkan minat dan menarik generasi muda untuk terlibat dalam bisnis pertanian, perlu perubahan paradigma pengolahan pertanian. Dari pola konvensional menjadi pertanian modern, sesuai dengan perkembangan zaman dan gaya hidup yang diminati generasi muda saat ini. Pertanian digital adalah salah satu alat pertanian modern yang dapat mengubah pertanian menjadi bisnis yang menarik.[3]
Konsep pertanian digital tidak hanya sebatas lingkup menciptakan aplikasi digital sebagai sarana e-commerce hasil pertanian. Memang, saat ini sudah banyak generasi muda yang menciptakan start up aplikasi e-commmerce untuk memfasilitasi petani dalam menjual hasil pertanian mereka. Tapi ini tidaklah cukup. Jual beli hasil pertanian secara digital hanya pucuk dari konsep pertanian digital.
Lebih dari itu, pertanian digital merupakan konsep bagaimana mengintegrasikan Internet of Thing (IoT), termasuk di dalamnya adalah interkoneksi alat untuk mekanisasi pertanian, sehingga nantinya dapat memudahkan pengambilan keputusan dalam pengolahan pertanian secara praktis dan bermanfaat. Praktik ini diharapkan bisa membuat manajemen risiko di pertanian menjadi lebih mudah dan membantu meningkatkan potensi keuntungan secara berkelanjutan.Â
Misalnya, dengan ditemukannya teknologi sensor kelembaban tanah dan suhu, melalui IoT petani dapat menentukan jumlah dosis dan interval irigasi serta menentukan waktu dilakukannya pengendalian hama dan penyakit. Dengan begitu, efisiensi dan efektivitas penggunaan air bisa dilakukan.Â
Dengan mengintegrasikan setiap aspek dari proses pertanian, alat manajemen pertanian digital ini dapat benar-benar memfasilitasi kehidupan petani. Mereka akhirnya dapat menjangkau semua area produksi di sebuah pertanian, dari penanaman tanaman hingga peternakan.Â
Dengan integrasi ini, Mereka bahkan dapat bekerja bersamaan dengan aplikasi mitra dari seluruh bisnis agro: sebuah perusahaan benih dapat memberikan saran tentang kesesuaian varietas tanaman dengan sebidang tanah yang cocok, sementara perusahaan lain bisa memberikan prakiraan cuaca yang sangat andal dan satu lagi memasok detail pada komposisi tanah di ladang petani.[4]
Tantangan Pertanian Digital di Indonesia
Harus diakui, menerapkan konsep pertanian digital pada petani yang diharapkan bisa menjadi contoh untuk menarik minat generasi muda adalah tantangan yang berat bagi Kementrian Pertanian dan otoritas terkait lainnya. Salah satu faktor utamanya adalah masih sedikitnya petani yang menggunakan internet.Â
Menurut data SUTAS 2018, jumlah petani (laki-laki dan perempuan) yang menggunakan internet selama setahun sebelumnya (2017) berjumlah 4.501.415 orang (13,4%) dan yang tidak menggunakan internet selama setahun sebelumnya berjumlah 28.986.391 orang (86,6%).
Selain itu, kendala utama lainnya adalah kepemilikan lahan. Dari 27.222.773 RTUP pengguna lahan, 16.257.430 RTUP hanya menguasai lahan (pertanian dan non pertanian) kurang dari 0,50 hektar lahan, atau lebih dari separuhnya.Â
Dengan luas lahan kurang dari 1 hektar, konsep pertanian digital menjadi agak sulit untuk diterapkan. Meskipun sekarang ini sudah berkembang pertanian hidroponik (less area farming), namun pertanian jenis ini juga membutuhkan biaya produksi yang lebih besar dari pertanian lahan biasa.
Kesimpulan dan Saran
Kendala-kendala seperti ini bisa dipecahkan jika ada kontribusi dari semua pihak. Pemerintah bisa menggandeng pihak swasta untuk membuat pilot project pertanian digital yang bisa diterapkan oleh petan-petani awam yang selama ini melakukan pengolahan pertanian secara konvensional. Sementara itu, Perguruan Tinggi, sebagai institusi keilmuan bisa mulai mengkaji dan memasukkan konsep pertanian digital ini dalam kurikulum atau mata kuliah bagi mahasiswa pertanian.Â
Semua langkah ini nantinya berujung pada upaya untuk membuat generasi muda menjadi lebih tertarik dengan dunia pertanian dan regenerasi petani bisa berjalan. Jika usaha ini terus berlanjut, Indonesia tidak hanya akan dapat mencapai potensi di bidang pertanian tetapi juga dapat mempertahankan ketahanan pangan di masa yang akan datang.
Daftar Referensi
[1] Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018. Katalog BPS: 5101018 Seri --A1. Badan Pusat Statistik. Â Â
[2]Â lipi.go.id
[3] marketeers.com Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI