Akibat terbesar dari rendahnya minat generasi muda terhadap pertanian ini menurut Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati dalam rilis pers LIPI adalah Indonesia krisis petani dan bisa mengancam kedaulatan produksi pangan nasional di masa depan. [2]Â
Dalam kesempatan yang sama, Herry Jogaswara, M.A, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menambahkan, krisis regenerasi petani harus menjadi perhatian yang serius.Â
Krisis regenerasi petani berjalan pelan-pelan namun membawa dampak yang besar dan ironisnya hal sepenting ini sering kali tidak disadari. Herry menyatakan, harus ada insentif bagi anak-anak muda agar mereka tertarik untuk menjadi petani.
Salah satu penyebab utama rendahnya minta generasi muda terhadap pertanian adalah pola pikir yang mereka bentuk sendiri terhadap label yang sudah terlanjur disematkan pada profesi petani. Bahwa menjadi petani itu identik dengan penghasilan yang rendah. Bahwa sistem pengolahan pertanian di Indonesia masih kuno dan tidak sesuai dengan gaya hidup jaman mereka. Petani dianggap bukan profesi yang bisa menjamin kondisi finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan seperti biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun.
Selain pola pikir dan label rendahnya profesi petani, faktor lain yang membuat generasi muda enggan memasuki dunia pertanian adalah karena pertanian adalah bisnis berisiko tinggi karena sulit diprediksi. Suatu hari mungkin petani menganggap tanaman tumbuh dengan baik namun bisa saja pada keesokan harinya terjadi hujan lebat yang merusak tanaman.
Menarik Minat Generasi Muda Melalui Pertanian Digital
Untuk meningkatkan minat dan menarik generasi muda untuk terlibat dalam bisnis pertanian, perlu perubahan paradigma pengolahan pertanian. Dari pola konvensional menjadi pertanian modern, sesuai dengan perkembangan zaman dan gaya hidup yang diminati generasi muda saat ini. Pertanian digital adalah salah satu alat pertanian modern yang dapat mengubah pertanian menjadi bisnis yang menarik.[3]
Konsep pertanian digital tidak hanya sebatas lingkup menciptakan aplikasi digital sebagai sarana e-commerce hasil pertanian. Memang, saat ini sudah banyak generasi muda yang menciptakan start up aplikasi e-commmerce untuk memfasilitasi petani dalam menjual hasil pertanian mereka. Tapi ini tidaklah cukup. Jual beli hasil pertanian secara digital hanya pucuk dari konsep pertanian digital.
Lebih dari itu, pertanian digital merupakan konsep bagaimana mengintegrasikan Internet of Thing (IoT), termasuk di dalamnya adalah interkoneksi alat untuk mekanisasi pertanian, sehingga nantinya dapat memudahkan pengambilan keputusan dalam pengolahan pertanian secara praktis dan bermanfaat. Praktik ini diharapkan bisa membuat manajemen risiko di pertanian menjadi lebih mudah dan membantu meningkatkan potensi keuntungan secara berkelanjutan.Â
Misalnya, dengan ditemukannya teknologi sensor kelembaban tanah dan suhu, melalui IoT petani dapat menentukan jumlah dosis dan interval irigasi serta menentukan waktu dilakukannya pengendalian hama dan penyakit. Dengan begitu, efisiensi dan efektivitas penggunaan air bisa dilakukan.Â