Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Kita Tidak Pernah Benar-benar Terwakili dalam Pemilu Legislatif

21 April 2019   23:22 Diperbarui: 22 April 2019   09:58 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lain lagi bagi pemilih lanjut usia, yang indra penglihatan mereka sudah berkurang atau yang buta huruf. Mereka cenderung memilih caleg yang wajahnya good looking, tampan atau cantik.

Karena bingung dengan lebarnya surat suara dan banyaknya foto yang terpampang di surat suara tersebut, tak jarang ibu-ibu atau bapak-bapak berusia lanjut bertanya pada anggota keluarga yang menemani di TPS, enaknya pilih yang mana. Dan kemudian dijawab, "Pilih yang ganteng atau yang cantik saja."

Dus, bias gender pun bisa berlaku: Para bapak mungkin memilih yang cantik, sementara ibu-ibu bisa jadi memilih yang ganteng. Dan ini terbukti dengan calon anggota DPD yang di fotonya terlihat ganteng atau cantik mendapat suara yang lumayan banyak.

Bisa pula seorang caleg terpilih karena faktor serangan fajar. Kita tidak perlu menutup mata dengan praktik ini. Masyarakat sekarang sudah cerdas dan tahu bahwa serangan fajar menjelang hari pencoblosan adalah hal yang wajar.

Sebagai ilustrasi, di TPS saya ada satu partai yang suaranya nyaris diborong oleh satu orang caleg saja. Ketika tahu fakta tersebut, orang-orang yang hadir di TPS waktu perhitungan suara seolah paham mengapa caleg tersebut bisa mendapat suara paling banyak. Cukup dengan mengatakan, "wah, cair ini, cair...". Sebuah bentuk ucapan sindiran untuk serangan fajar yang dilakukan caleg tersebut pada pemilih di sekitar lokasi TPS.

Masalah keterwakilan aspirasi ini juga bisa kita lihat dari format penempatan caleg. Demi meraup banyak suara, hampir semua partai menempatkan caleg yang namanya sudah terkenal secara nasional. Entah itu artis, politikus nasional atau tokoh masyarakat. Yang saya anggap ironis adalah, nama-nama yang hendak dijadikan lumbung suara itu tidak berasal dari daerah pemilihan yang ditempatinya.

Bila saya amati dari nama-nama caleg yang terdaftar di Dapil Malang Raya, caleg yang berasal dari daerah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) mungkin tidak lebih dari 50%. Sisanya diisi caleg dari kota-kota lain, terutama yang tinggal dan beralamat di Jakarta!

Dengan format penempatan seperti ini, apakah bisa dikatakan mereka sudah mewakili aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya? Bagaimana bisa dikatakan mewakili apabila mereka tidak pernah merasakan sendiri kehidupan masyarakat di daerah pemilihannya tersebut?

Ibaratnya, karena mereka dipilih di daerah Malang Raya oleh warga Malang Raya, maka calon anggota legislatif yang paling Ngalam-lah yang seharusnya terpilih. Bukan calon-calon dari daerah lain yang kenal wajah masyarakat Malang pun tidak!

Hakekatnya, masyarakat memilih calon anggota legislatif supaya mereka bisa terwakili. Masyarakat menginginkan caleg yang nanti terpilih bisa menyuarakan aspirasi mereka di daerah masing-masing. Namun dengan situasi seperti yang saya gambarkan diatas, adakah kita benar-benar sudah terwakili?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun