"Mas, ini yang dicoblos yang mana?" sambil membentangkan surat suara kuning, seorang pemilih berusia lanjut bertanya kepada saya yang sedang berjaga di TPS.
"Ya terserah Ibu, mau pilih yang mana," jawab saya.
"Lha gak ada yang dikenal begini," kata Ibu tersebut lalu menunduk untuk mengamati nama-nama calon legislatif yang ada di surat suara tersebut.
Ini hanya sedikit gambaran tentang kebingungan masyarakat dalam memilih calon anggota legislatif di pemilu 2019 ini. Banyaknya nama caleg yang ada hingga membuat surat suara lebarnya seperti surat kabar membuat masyarakat tak hanya bingung, namun juga malas untuk memilih satu nama saja sebagai bakal calon wakil mereka di dewan perwakilan.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya surat suara yang tidak sah, dalam kasus ini terjadi di TPS saya. Untuk surat suara DPR RI misalnya, dari 165 surat suara yang masuk kotak, ada 30 surat suara yang tidak sah. Jumlah ini melebihi jumlah surat suara sah yang didapat oleh partai politik di tambah suara sah dari calegnya. Sebagai perbandingan, PKS, yang menjadi partai paling banyak dipilih hanya memperoleh 27 suara.
Kasus seperti ini bisa menjadi catatan khusus bagi kita, bahwa ternyata proses pemilu legislatif ini tidak benar-benar memberi edukasi politik untuk rakyat. Karena merasa tidak mengenal calon legislatif, calon wakil rakyat, banyak pemilih yang saat di TPS hanya sekedar mencoblos saja.
Bagi masyarakat, yang penting mereka sudah menyalurkan hak pilihnya, sudah memberikan suara mereka. Apakah suara mereka berarti membawa keterwakilan aspirasi, itu urusan lain yang mungkin tidak pernah mereka pikirkan.
Andaipun ada nama-nama caleg yang terpilih dalam kotak pilihan di surat suara, itu juga bukan berarti masyarakat sudah sadar politik dan memilihnya karena visi dan misi yang dibawa. Atau memilihnya karena menganggap caleg tersebut bisa mewakili mereka.
Sebagai contoh untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dari pengamatan saya selama bertugas di TPS, ada satu pola yang bisa terbaca. Sebagaimana kita ketahui, surat suara DPD berisi foto profil calon yang bersangkutan.
Nah, saat perhitungan suara, pola yang saya baca adalah masyarakat, terutama yang awam politik memilih caleg berdasarkan kriteria familiar dengan wajah caleg tersebut. Entah mereka pernah melihat foto wajahnya di spanduk atau banner atau pernah masuk berita tayangan televisi. Calon anggota DPD yang mendapat suara banyak di TPS saya adalah mereka yang wajahnya tersebar di mana-mana lewat spanduk-spanduk yang dipasang di sudut-sudut kota.
Lain lagi bagi pemilih lanjut usia, yang indra penglihatan mereka sudah berkurang atau yang buta huruf. Mereka cenderung memilih caleg yang wajahnya good looking, tampan atau cantik.
Karena bingung dengan lebarnya surat suara dan banyaknya foto yang terpampang di surat suara tersebut, tak jarang ibu-ibu atau bapak-bapak berusia lanjut bertanya pada anggota keluarga yang menemani di TPS, enaknya pilih yang mana. Dan kemudian dijawab, "Pilih yang ganteng atau yang cantik saja."
Dus, bias gender pun bisa berlaku: Para bapak mungkin memilih yang cantik, sementara ibu-ibu bisa jadi memilih yang ganteng. Dan ini terbukti dengan calon anggota DPD yang di fotonya terlihat ganteng atau cantik mendapat suara yang lumayan banyak.
Bisa pula seorang caleg terpilih karena faktor serangan fajar. Kita tidak perlu menutup mata dengan praktik ini. Masyarakat sekarang sudah cerdas dan tahu bahwa serangan fajar menjelang hari pencoblosan adalah hal yang wajar.
Sebagai ilustrasi, di TPS saya ada satu partai yang suaranya nyaris diborong oleh satu orang caleg saja. Ketika tahu fakta tersebut, orang-orang yang hadir di TPS waktu perhitungan suara seolah paham mengapa caleg tersebut bisa mendapat suara paling banyak. Cukup dengan mengatakan, "wah, cair ini, cair...". Sebuah bentuk ucapan sindiran untuk serangan fajar yang dilakukan caleg tersebut pada pemilih di sekitar lokasi TPS.
Masalah keterwakilan aspirasi ini juga bisa kita lihat dari format penempatan caleg. Demi meraup banyak suara, hampir semua partai menempatkan caleg yang namanya sudah terkenal secara nasional. Entah itu artis, politikus nasional atau tokoh masyarakat. Yang saya anggap ironis adalah, nama-nama yang hendak dijadikan lumbung suara itu tidak berasal dari daerah pemilihan yang ditempatinya.
Bila saya amati dari nama-nama caleg yang terdaftar di Dapil Malang Raya, caleg yang berasal dari daerah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) mungkin tidak lebih dari 50%. Sisanya diisi caleg dari kota-kota lain, terutama yang tinggal dan beralamat di Jakarta!
Dengan format penempatan seperti ini, apakah bisa dikatakan mereka sudah mewakili aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya? Bagaimana bisa dikatakan mewakili apabila mereka tidak pernah merasakan sendiri kehidupan masyarakat di daerah pemilihannya tersebut?
Ibaratnya, karena mereka dipilih di daerah Malang Raya oleh warga Malang Raya, maka calon anggota legislatif yang paling Ngalam-lah yang seharusnya terpilih. Bukan calon-calon dari daerah lain yang kenal wajah masyarakat Malang pun tidak!
Hakekatnya, masyarakat memilih calon anggota legislatif supaya mereka bisa terwakili. Masyarakat menginginkan caleg yang nanti terpilih bisa menyuarakan aspirasi mereka di daerah masing-masing. Namun dengan situasi seperti yang saya gambarkan diatas, adakah kita benar-benar sudah terwakili?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H