Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Mari Kita Akhiri Fiksi tentang Prabowo Subianto

12 April 2019   21:27 Diperbarui: 12 April 2019   22:13 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika ingin melihat karakter seseorang, lihatlah saat ia menerima nasihat."

Sulit sekali bagi seorang penulis untuk terhindar dari jebakan ranjau kultus individu dan glorifikasi tatkala menulis profil seorang tokoh. Senetral-netralnya orang, dia akan menyanjung dan memberi pujian bagi tokoh yang ia kagumi.

Begitu pula saya, dalam menulis artikel khusus ini untuk mengakhiri fiksi tentang sosok bernama Prabowo Subianto. Karena saya melihat dari kacamata pendukung, tentunya tulisan ini sangat subyektif. Tapi saya akan berusaha rasional dalam menempatkan subyektivitas tersebut.

Bagi lawan politiknya, karakter Prabowo Subianto selalu digambarkan sebagai orang yang emosional, pemarah, otoriter. Bahkan tak sedikit pula yang membayangkan dia adalah diktator, The New Hitler. Rangkaian sikap Prabowo saat kampanye terbuka dalam kontestasi pilpres 2019 ini seakan menegaskan imajinasi tersebut.

Wajar, namanya juga penglihatan dari sudut pandang lawan politik. Pengamatan dari sisi orang yang tidak menyukainya. Berlaku pula sebaliknya, apabila dilihat dari kacamata pendukung, sikap Prabowo tersebut dimaknai sisi positifnya. Sebagaimana pengidola BTP melihat sikap marah-marah dan ucapan kasarnya adalah bentuk ketegasan.

Bagi pendukungnya, Prabowo selalu menampilkan identitas dan karakter otentiknya. Prabowo tidak pernah berusaha menutupi sikap emosionalnya apabila memang sikap itu harus dikeluarkan.

"Pemimpin yang baik itu yang tidak emosional", begitulah kata mereka yang berseberangan menanggapi Prabowo menggebrak podium saat kampanye di Yogyakarta. Tapi yang tidak dipahami oleh mereka, luapan emosi Prabowo tersebut bukan karena sebab dan masalah pribadi. Prabowo menggebrak meja, menyebut kata "Ndasmu" sebagai ungkapan gregetannya melihat kondisi negeri ini. Sekali lagi, ini menurut sudut pandang kacamata pendukung Prabowo.

Apabila lewat gebrakan meja dan sikap marah Prabowo, orang sudah bisa menjustifikasi dirinya sebagai orang yang emosional, perlu kiranya saya ungkit dan ulangi apa yang pernah dikatakan almarhum Gus Dur tentang Prabowo: "Orang yang paling ikhlas di republik ini adalah Prabowo."

Terlepas dari pernyataan ini dieksploitasi Partai Gerindra untuk menarik dukungan dari Gusdurian, maupun penafsiran berbeda dari keluarga besar Gus Dur yang kini mendukung pasangan 01, bahwa pernyataan itu dikeluarkan Gus Dur karena mantan presiden RI ke-4 ini tidak pernah bicara jelek tentang orang lain.

Sulit rasanya membayangkan, karakter emosional dan pemarah bisa melebur dengan karakter ikhlas dalam satu kepribadian. Sulit juga membayangkan, bagaimana bisa seorang yang dianggap pemarah dan diktator otoriter, bisa tak berkutik ketika dinasehati. Mengangguk patuh, hingga meneteskan air mata keharuan.

Mari kita tepikan sejenak justifikasi emosional dan pemarah ini, dan lihatlah Prabowo Subianto pada sisi yang berbeda, sisi yang menampilkan identitas otentiknya yang bisa kita lihat dalam tiga momen berikut:

  • Pertama, ketika Prabowo tak kuasa menahan haru dan menangis di panggung kampanye saat menerima sumbangan dan nasihat dari seorang pendukungnya.
  • Kedua, ketika Prabowo tertawa lepas bersama Sandiaga Uno saat menerima deklarasi dukungan Aliansi Pengusaha Nasional.
  • Ketiga, ketika Prabowo menahan tetesan air matanya ketika menerima nasihat dan tausiyah dari Ustad Abdul Somad (UAS).

Dua dari tiga momen tersebut sudah cukup lama terlewat, dan kita mungkin hanya bisa menerima buktinya lewat foto dan berita tertulis saja. Karena itu, jika ingin melihat karakter asli Prabowo yang lebih up to date, saya sarankan untuk melihat rekaman video dialog antara Prabowo dan UAS.

Seperti murid yang menerima nasihat dari gurunya. Seperti anak yang menerima petunjuk dari ayahnya. Itulah sosok Prabowo yang terekam saat berdialog dengan UAS.

Prabowo hanya mandah saja saat UAS memberi nasihat. Sesekali ia mengangguk tanda mengerti. Kalau tidak mengerti, ia tak sungkan untuk bertanya, sekalipun bagi banyak orang, hal itu semestinya bisa dipahami dengan mudah.

Seperti ketika UAS mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hambal tentang satu do'a yang makbul,

"Seandainya doa kami makbul, dan doa itu hanya satu, mintalah pemimpin yang adil."

Prabowo kemudian bertanya "Itu perkataan dari...?"

Dan layaknya seorang guru yang sabar menghadapi kesulitan muridnya, UAS menjawab dan mengulang kutipan tersebut, lantas Prabowo menirukannya. Tak ada rasa sungkan dan malu yang tertera di wajahnya.

Inilah identitas dan karakter otentik Prabowo. Dia memang tidak tahu hal itu dan dia menanyakannya. Dia tidak berusaha untuk pura-pura mengerti.

Dalam hal ilmu militer, Prabowo bisa jadi guru besar bagi UAS. Dalam hal ilmu kenegaraan, UAS boleh belajar banyak pada Prabowo. Tapi dalam hal ilmu agama, dalam hal tata laksana ibadah agamanya, Prabowo tahu ilmunya masih sangat dangkal, tidak ada seujung kuku. Baginya, bila ada orang yang lebih cakap keilmuannya, itulah yang harus digugu dan ditiru.

Dan dia tidak berusaha menutupi kekurangannya tersebut dengan kepura-puraan dan pencitraan. Justru dia bertanya apa yang tidak dia ketahui supaya pengetahuannya yang kurang itu bertambah.

Lihat pula bagaimana ekspresi senyum Prabowo ketika UAS melontarkan lelucon tentang salam dua jari dari jamaah pengajiannya. Itu senyum yang orisinil, senyum orang yang punya sense of humor tinggi dalam menangkap sebuah lelucon yang cukup halus bahasanya.

Bila itu belum cukup, mari kita percepat adegan dialog tersebut, kemudian hentikan pada momen di mana Prabowo tertangkap kamera mengusap matanya yang sembap karena menahan tetesan air mata. Prabowo menangis!

Ya, sosok yang katanya emosional ini bisa menangis. Dia tidak kuasa meluapkan isi hatinya dengan tetesan air mata. Tapi, tahukah kita apa sebab Prabowo menangis tersebut?

Makna yang saya tangkap dari usapan air mata Prabowo itu adalah karena dia merasa dibebani amanah yang berat! Perhatikan apa yang dikatakan UAS sebelum Prabowo mengusap air matanya tersebut:

UAS menceritakan perjalanan spiritualnya dalam mencari jawaban tentang siapa pemimpin yang harus didukungnya. Menemui beberapa ulama tidak terkenal tapi "khos". Dan setiap ulama yang ditemui UAS itu memberi satu jawaban yang sama, satu nama yang sama: yakni Prabowo.

UAS juga mengatakan pada Prabowo, mengapa dia wajib menceritakan hal itu. Karena jika tidak diceritakan, itu akan menjadi beban penyesalan seumur hidup bagi UAS. Setelah menyatakan "Deklarasi Spiritualnya" itu, UAS bisa tidur nyenyak. Apapun yang akan terjadi padanya nanti, UAS serahkan pada Allah semata. Tepat setelah itu, Prabowo menangis. Ketika ada suara tertawa kecil tertangkap di background, Prabowo justru menangis!

Inilah makna tangisan Prabowo. Saat UAS menceritakan perjalanan spiritualnya, dengan menceritakan dukungan ulama-ulama "khos" yang ditemuinya, bagi Prabowo itu adalah amanah yang sangat berat.

Mungkin sudah terbayang dalam benak Prabowo, apabila atas kehendak Yang Maha Kuasa nanti dia terpilih menjadi pemimpin di negeri ini, lantas dia berkhianat terhadap amanah yang diberikan, yang dipercayakan padanya, apa kata ulama-ulama tersebut nanti?

Itulah sisi lain dari Prabowo Subianto. Sisi kepribadian yang bisa menerangi justifikasi sebagian orang bahwa dirinya otoriter dan emosional. 

Untuk menghindari jebakan glorifikasi, maka dalam artikel ini saya akan ungkap pula kelemahan Prabowo. Bagi saya, kelemahan Prabowo yang paling kentara adalah dia tidak mau diatur orang lain untuk tampil di luar kepribadian otentiknya!

Seperti ketika menjelang debat capres keempat, banyak pihak yang menyarankan Prabowo untuk tampil lebih "menyerang" pribadi lawan debatnya. Mengimbangi lawan debat yang kerap menyerang pribadinya. Tapi Prabowo menolak. Dia menolak karena itu tidak sesuai dengan karakternya!

"Rileks saja, beliau tidak mau menyerang, meskipun ada masukan, ayo pak strateginya harus gini. Enggak lah, dia mau agar masyarakat kondusif karena 15 hari ini masyarakat harus gembira untuk menyambut pesta demokrasi ini dengan penuh pencerahan dan pencerdasan," kata Sandiaga saat kampanye di Cilegon dan Serang, Sabtu (30/3/2019).

Satu lagi "kelemahan" Prabowo yang cukup mudah dilihat adalah: Dia tidak mau membalas fitnah yang dilontarkan orang kepadanya! Kiranya saya tidak perlu menyebut bentuk fitnah atau tuduhannya, karena itu sudah menjadi rahasia umum.

Bagi Prabowo, fitnah dan tuduhan terhadap dirinya adalah ujian hidup yang harus dihadapi. Sebagaimana yang dikatakan UAS pada dirinya, yang membuat Prabowo tak kuasa menahan air mata:

"Buah durian, kalau hanya sekedar berputik, orang cuek. Tapi kalau ia sudah berbuah ranum, akan ada orang melempar, monyet akan naik. Sekarang buahnya sudah harum. Bapak tabah, kuat, serahkan pada Allah."

Itulah Prabowo Subianto di mata saya, di mata seorang pendukungnya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mari kita akhiri fiksi tentang Prabowo, dan lihatlah dia dalam kepribadian aslinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun