Itulah pertanyaan yang melintas di benak saya sewaktu membaca berita rilis survei dari LSI. Dalam rilisnya, LSI mengatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf "kalah tipis" dibandingkan pasangan Prabowo-Sandi di kalangan pemilih FPI. LSI menyebut Jokowi meraih 41,2-47,6 persen dibanding Prabowo 52,4-58,8 persen. Menurut peneliti senior LSI, Ardian Sopa, adanya anggota FPI yang memilih Jokowi karena selama ini isu hoaks yang mempersepsikan Jokowi-Ma'ruf tidak ramah dengan Islam, perlahan terkikis.
"Selama ini yang dipersepsikan Jokowi-Ma'ruf tidak ramah terhadap Islam dan ulama yah lambat laun isu itu bisa dikikis. Sehingga pemilu ini bahkan ada di FPI tidak hanya mutlak dukung Prabowo-Sandi tapi juga terbelah," katanya.
Nah, mengapa LSI sampai harus repot-repot menyurvei pemilih dari FPI? Karena asas keilmuan, menuntaskan rasa penasaran dan keingintahuan atau ada kepentingan tertentu, sebuah grand design dibaliknya?
Padahal, sudah bukan rahasia lagi kalau jama'ah FPI itu kontra dengan Jokowi, kalau tidak boleh dibilang "benci" (penekanan pada tanda kutip loh ya) terhadap kebijakan rejim Jokowi yang dianggap sering mengkriminilasasi ulama, khususnya dari kalangan FPI. Puncaknya adalah kasus chat Habib Rizieq Shihab yang dianggap terlalu direkayasa.
Rilis survei LSI tersebut kemudian dibantah oleh FPI, yang mengatakan tak ada satu pun anggota FPI yang disurvei. Juru bicara FPI, Munarman mengkritik jangan sampai LSI Denny JA menyalahgunakan ilmu statistik. Penyalahgunaan ini dengan membentuk opini.
"Kalau ngibul dan menghayal jangan yang kebangetan gitu deh. Itu sudah bisa disebut 'survey collar crime' menyalahgunakan ilmu statistik," tutur Munarman.
Dia menegaskam terkait survei tersebut, tak ada satupun anggota FPI yang menjadi responden. Meski ia paham dengan diksi 'di pemilih FPI' yang artinya pemilih tersebut bisa bukan anggota FPI.
"Saya pahamlah dia menggunakan diksi "di pemilih FPI" artinya responden tersebut bukan anggota FPI, tapi anehnya dalam analisanya, LSI Denni JA menyatakan bahwa tidak semua satu pandangan dengan sikap pimpinan ormas tersebut," ujar Munarman.
Siapa yang benar diantara keduanya? Apakah LSI memang betul-betul melakukan survei murni di pemilih FPI? Atau survei tersebut hanya rekayasa? Waallohu a'lam, karena baik LSI maupun FPI tetap bersikukuh pada kebenaran versi mereka.
Ok, kembali pada pertanyaan saya, mengapa LSI sampai merepotkan diri menyurvei pemilih dari FPI? Jawabannya mungkin bisa ditemukan dari kronologis berikut:
LSI merilis survei dari FPI
TKN menyambar rilis survei tersebut dan mengatakan itu adalah bukti sebagian anggota FPI akui keislaman Jokowi.
Yusril Ihza Mahenda (YIM), yang sekarang menjadi pengacara capres nomor 01 membocorkan percakapan via Whatsapp antara dirinya dengan Habib Rizieq Shihab yang katanya meragukan keislaman Prabowo Subianto.
Tiga fakta yang datang berurutan itu rasanya sudah cukup untuk menjadi dasar dalam menarik kesimpulan dari pertanyaan diatas.Dan jawaban dari pertanyaan tersebut adalah:
Menghapus stigma negatif bahwa rezim Jokowi anti islam, sekaligus memperkuat framing dan membentuk opini publik bahwa Jokowi bisa diterima semua kalangan umat Islam Indonesia, dari yang moderat hingga yang "garis keras".
Jadi, sebenarnya tidak sulit untuk mencari jawaban atau alasan dibalik rilis survei LSI tersebut. Karena memang rasanya sedikit janggal dan aneh bila ada survei yang menyasar pada satu kelompok ormas tertentu.
Biasanya, survei ditujukan pada jenis demografi yang umum. Seperti kelompok usia, jenis kelamin, hingga tingkat pendidikan. Memang, ada beberapa survei yang ditujukan pada pemilih dari NU atau Muhammadiyah. Kalau ini masih terbilang wajar karena dua organisasi massa ini terbilang memiliki pengikut yang besar dan tersebar di seluruh Indonesia.
Namun, jika survei itu menyasar pada kelompok organisasi massa yang lebih spesifik, tak perlu heran jika banyak yang mempertanyakan alasan dibalik survei tersebut. Apalagi survei itu dilakukan pada pemilih FPI, yang boleh dikatakan adalah sebuah organisasi massa yang istimewa.
FPI memang berbeda dengan organisasi massa kebanyakan. Garis komando kepemimpinannya mirip dengan garis kepemimpinan imamah. Artinya, semua anggota wajib tunduk pada keputusan yang dikeluarkan oleh Imam Besar mereka, dalam hal ini adalah Habib Rizieq Shihab.
Sejak awal pemerintahan Jokowi, FPI langsung mengambil posisi berseberangan. Bahkan dalam kontestasi pilpres 2019, FPI lah yang menjadi salah satu ujung tombak dalam menggolkan posisi Prabowo Subianto dan "meng-covernya" sebagai calon presiden hasil Ijtima' ulama.
Dengan fakta seperti itu, wajar bila kemudian rilis survei dari LSI tersebut diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya. Apalagi survei terhadap pemilih FPI kali ini juga termasuk kategori survei yang baru. Setidaknya karena pada pilpres 2014 lalu belum ada satu pun lembaga yang menyurvei mereka sebagaimana yang dilakukan LSI kali ini.
Menjelang garis finish dalam masa kontestasi pilpres 2019, setiap lembaga survei seolah saling berlomba mengeluarkan rilis surveinya. Dan LSI bisa dibilang adalah lembaga survei yang paling sering mengeluarkan rilis.
Apakah berbagai survei yang sering dilakukan justru disaat menjelang akhir kontestasi ini murni karena faktor keilmuan, atau ada udang di balik batu, masyarakat awam tidak pernah mengerti. Mengutip pernyataan Fachri Hamzah, jangan sampai survei yang dilakukan pada masa akhir kampanye ini hanya dijadikan bingkai dan alat misleading informasi bagi kepentingan pihak tertentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H