Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Masa Kampanye Terbuka, Prabowo-Sandi Punya Tiga Senjata untuk Menang Pilpres

24 Maret 2019   09:47 Diperbarui: 25 Maret 2019   05:20 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo-Sandi saat menghadiri deklarasi Aliansi Pengusaha Nasional (sumber foto: Inews.id/Felldy Utama)

Betapa sulitnya mengumpulkan massa. Kalau tidak ada gimmick atau pemanis seperti artis musik, tak ada massa yang mau datang secara sukarela ke panggung kampanye. Kalau tidak percaya, tanyakan itu pada para caleg, dan tim kampanye pasangan Jokowi -- Ma'ruf.

Saya tidak mengada-ada dengan pernyataan tersebut. Perihal menanyakan sulitnya mengumpulkan massa pada tim kampanye Jokowi-Ma'ruf, tak perlu harus bertanya beneran. Kita bisa melihatnya dari berbagai pemberitaan tentang sepinya kegiatan kampanye (non rapat umum) dari pasangan capres/cawapres 01 ini.

Kalaupun ada keramaian, itu karena ada gimmick atau pemanis yang menyertainya. Entah itu uang motivasi (uang saku) atau hiburan dari musisi. Ditambah dengan posisi Jokowi sebagai kepala negara aktif yang bisa membonceng kegiatan-kegiatan kenegaraan.

Karena tidak mau cuti itulah, sulit sekali membedakan mana kegiatan kampanye Jokowi sebagai capres, dan mana aktivitas Jokowi sebagai kepala negara. Seandainya Jokowi cuti dan melakukan kampanye sebagaimana pasangan Prabowo-Sandi, pernyataan saya perihal sulitnya mengumpulkan massa bagi tim Jokowi akan menemui bukti.

Padahal berbagai survey menyatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul elektabilitas sekian puluh persen dibandingkan pasangan Prabowo-Sandi. Seperti sebuah anomali saja. Apakah yang disurvei itu kelompok silent majority? Yang hanya menunjukkan keberadaan mereka saat hari pencoblosan 17 April nanti? Entahlah.

Tapi, rilis survei terbaru dari Litbang Kompas seolah menegaskan bukti bahwa massa banyak yang tidak lagi tertarik pada sosok Jokowi. Sihir Jokowi perlahan mulai memudar. Jokowi diambang kekalahan.

Elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf memang masih unggul dengan angka 49,2%. Namun angka ini jauh dari harapan tim kampanye Jokowi-Ma'ruf. Dengan posisi sebagai petahana yang sudah melakukan kampanye hampir 5 tahun, elektabilitas Jokowi malah turun. Sementara elektabilitas Prabowo terlihat semakin meningkat. Elektabilitas di bawah 50% dianggap sebagai sinyal kekalahan bagi calon incumbent.

Menurut survei Litbang Kompas, masih ada 13,4% responden survei yang merahasiakan pilihannya (undecided voters). Seandainya dibagi rata, Jokowi-Ma'ruf masih bisa menang. Tapi bagaimana bila semua angka itu jatuh pada Prabowo-Sandi?

Penentuannya ada pada masa rapat umum/kampanye terbuka yang diputuskan KPU berlangsung mulai 24 Maret-13 April 2019. Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf melalui Sekjend PDI-P Hasto Kristyanto menyatakan akan all out dengan mengerahkan para menteri dan kepala daerah untuk bisa merebut suara rakyat dalam masa kampanye terbuka ini.

Meskipun begitu, pasangan Prabowo-Sandi diprediksi akan bisa merebut hati rakyat dan mengisi kekosongan pundi elektabilitas mereka secara signifikan dalam masa kampanye terbuka ini. Setidaknya ada tiga senjata yang dimiliki Prabowo-Sandi dan bisa mereka gunakan untuk mengalahkan Jokowi-Ma'ruf di hari penentuan 17 April mendatang.

Militansi Pendukung.

Dua bulan terakhir ini, Jokowi seperti kesulitan untuk mengumpulkan massa. Meskipun sudah dibalut dengan kegiatan resmi sebagai presiden aktif. Sebaliknya, Prabowo-Sandi seperti tidak kesulitan mengumpulkan massa mereka. Apa rahasianya?

Militansi. Pendukung Prabowo-Sandi lebih militan dibandingkan pendukung Jokowi-Ma'ruf. Mau itu di dunia maya atau di dunia nyata. Survei Litbang Kompas pun menjelaskan fenomena tersebut. Dari 6 indikator yang diukur, pendukung Prabowo-Sandi jauh lebih unggul.

Enam indikator tersebut meliputi: selalu mengikuti informasi, menyebarkan hal positif, membela bila ada informasi yang merugikan, kesediaan mengikuti kampanye, kesediaan memberi sumbangan materi, dan mengajak orang lain mendukung pasangan calon.

Khusus tiga indikator terakhir, pendukung Prabowo-Sandi unggul telak. Tanpa ada gimmick dan pemanis hiburan musik, pendukung Prabowo-Sandi berduyun-duyun datang dan menyambut setiap kedatangan Prabowo atau Sandi di manapun mereka kampanye. 

Tentang kesediaan memberi sumbangan materi, jangan ditanya lagi. Mulai dari golongan berada sampai yang pendapatannya hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari dengan sukarela menyumbang dana kampanye, berapapun nominalnya.

Kondisi yang sangat kontras bisa kita lihat dari pendukung Jokowi. Jika tidak ada pengerahan massa, pemanis hiburan musik atau dibalut dengan acara resmi pemerintah, panggung kampanye Jokowi-Ma'ruf bisa dipastikan sepi. Tengok saja acara Apel Kebangsaan yang digelar pemerintah Provinsi Jawa Tengah.  

Yang terbaru adalah batalnya acara Istighosah Akbar dalam rangka Hari Lahir Nahdlotul Ulama di Monas. NU memang menjadi tulang punggung dan diharap bisa menjadi lumbung suara dari pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Untuk memperingati Harlah NU ke-96 ini, rencananya, PBNU akan menggelar Istighosah Akbar pada 23 Maret 2019. Acara ini konon ditargetkan bisa mengumpulkan massa sebanyak 10 juta warga Nahdliyin dari berbagai daerah. Namun mendadak PBNU membatalkan acara tersebut. PBNU mengganti acara Istighosah Akbar di Jakarta dengan instruksi melaksanakan istighosah di masing-masing ranting, cabang dan wilayah masing-masing serempak pada 23 Maret 2019.

Identitas Otentik Prabowo-Sandi.

Dalam setiap kampanyenya, Prabowo-Sandi selalu membawa identitas otentik. Pasangan capres-cawapres ini tidak pernah tampil dengan kepura-puraan. Prabowo-Sandi tak pernah mau dicitrakan dengan berperan dan memakai busana luar ala rakyat sederhana. Prabowo-Sandi tak pernah diperlihatkan berperan sebagai pengemudi becak, tukang tambal ban, penjual makanan keliling yang sedang mendorong gerobaknya, dan lain-lain.

Kalau memang dirinya kaya, untuk apa berpura-pura sederhana? Mungkin seperti itu yang ada di pikiran Prabowo-Sandi. Ketika diserang Jokowi perihal kepemilikan tanah konsesi ribuan hektar, Prabowo pun tidak mengelak. Dia malah mengakui hal tersebut sembari menjelaskan bahwa lahan itu adalah lahan HGU.

Bahkan, sewaktu menjawab tantangan Jokowi untuk melepas lahan HGU, Prabowo dengan terus terang mengatakan lahan konsesi yang dimilikinya tidak seluas 200 ribu hektar, melainkan lebih luas lagi, 400 ribu hektar. Dan dirinya berjanji, maksimal 10 hari setelah terpilih sebagai presiden, seluruh saham dari perusahaan yang memiliki tanah konsesi itu akan dilepas.

Prabowo juga tidak pernah memaksakan dirinya harus naik angkutan umum untuk menampilkan kesan merakyat. Hal ini mengundang sindiran dari TKN Jokowi-Ma'ruf yang mengatakan Prabowo tidak merakyat. Tapi, apakah untuk merakyat itu harus menunjukkan kepalsuan pribadi? Merakyatnya seorang pemimpin itu dilihat dari kebijakannya, bukan penampilan luarnya yang penuh kepura-puraan.

Identitas otentik dari Prabowo-Sandi ini juga bisa dilihat ketika pasangan capres-cawapres 02 ini menghadiri deklarasi dukungan Aliansi Pengusaha Nasional di Djakarta Theater, 21 Maret 2019. Kedua pasangan beda usia ini tampil lepas. Sambutannya penuh canda tawa.

Saat menerima pijatan Sandi, Prabowo tertangkap kamera tertawa keras-keras. Seperti tidak ada beban di wajahnya. Tidak terlihat bahwa wajah itu adalah wajah seorang calon presiden yang digempur semua survei masih kalah dari pesaingnya dengan selisih hingga puluhan persen!

Kondisi ini tidak pernah terlihat dari pasangan Jokowi-Ma'ruf saat kandidat ini tampil bareng. Seperti ada rasa kikuk diantara mereka berdua. Mengapa bisa terjadi? Karena pasangan ini harus tampil dengan citra. Jokowi harus ditampilkan dengan citra sederhana, dan KH. Ma'ruf Amin harus ditampilkan dengan citra ulama yang sangat agamis.

Anies Baswedan.

Senjata terakhir dan bisa menjadi senjata pamungkas dari pasangan Prabowo-Sandi adalah sosok Anies Baswedan.

"Woy warga Jakarta, boleh tukeran gubernur gak? Tukar tambah gak papa lah, ambil sekalian wakilnya. Gubernur gua sibuk kampanye nih."

Ini adalah komentar dari netizen luar Jakarta saat menanggapi postingan di laman Facebook Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Komentar yang mengandung nada iri karena pemimpin daerah mereka sibuk mengkampanyekan Jokowi, alih-alih beraktivitas menjalankan tugas kepemimpinannya.

Anies Baswedan memang berbeda dengan gubernur dan pemimpin daerah lain. Di saat banyak kepala daerah secara terang-terangan mengatakan dan mendukung Jokowi-Ma'ruf, Anies tidak pernah secara terbuka berkata mendukung Prabowo. Meskipun masyarakat umum sudah mengetahui, terpilihnya Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta tak lepas berkat jasa Prabowo.

Di saat banyak kepala daerah berkampanye untuk Jokowi-Ma'ruf, Anies Baswedan malah sibuk membenahi wilayah ibukota yang dipimpinnya. Hanya sekali Anies "berkampanye", itu pun hanya melalui gestur dua jari. Pertunjukan gestur ini kemudian mengundang polemik nasional. Anies dipanggil Bawaslu, meskipun kemudian diputuskan tidak melanggar aturan kampanye.

Justru, pemanggilan Anies oleh Bawaslu ini malah melahirkan simpati yang luar biasa besar, yang berefek pada simpati untuk Prabowo. Ditambah dengan aktivitas Anies yang memilih untuk bekerja daripada berkampanye. Sejak Anies dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta (bersama Sandiaga Uno sebelum mengundurkan diri), Prabowo memang menghendaki Anies bekerja, tidak berkampanye untuk dirinya.

Dengan memimpin ibukota disertai pola kebijakannya yang merakyat untuk semua golongan, Anies dianggap sebagai Gubernur Indonesia. Julukan ini kian lekat manakala Anies menyampaikan ucapan bela sungkawa pada korban penembakan brutal di Christchurch, Selandia Baru. Pernyataan bela sungkawa Anies yang disampaikan dalam pidato berbahasa Inggris ini malah mendahului ucapan belasungkawa dari Prabowo, bahkan dari Presiden Jokowi!

Tidak berkampanye saja Anies sudah mengundang simpati untuk Prabowo, apalagi bila Prabowo mengajak Anies dalam kampanye terbukanya. Tapi, sepertinya kecil kemungkinan Prabowo akan mengajak Anies untuk ikut kampanye. Prabowo seolah yakin, dengan hanya menunjukkan kinerja yang memuaskan bagi warga Jakarta, Anies sudah melakukan kampanye bagi dirinya, tanpa harus dilakukan secara terbuka. TKN Jokowi-Ma'ruf boleh mengandalkan para menteri dan puluhan kepala daerah. Prabowo-Sandi cukup dengan satu Anies Baswedan saja.

***

Tiga senjata itulah yang saya prediksi akan bisa meningkatkan elektabilitas Prabowo-Sandi dalam masa kampanye terbuka mulai hari ini (24/3). Dengan tren elektabilitas yang semakin menurun, sulit rasanya bagi Jokowi-Ma'ruf untuk bisa menaikkan prosentase elektabilitas mereka. 

Dengan demikian, besar kemungkinan Prabowo-Sandi bisa meraup secara mutlak suara dari para pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Dan besar kemungkinan pula, Prabowo-Sandi memenangkan pilpres 2019.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun