Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Fenomena Atta Halilintar dan Ironi Kreativitas YouTuber

11 Februari 2019   23:52 Diperbarui: 12 Februari 2019   10:43 5546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: hot.detik.com/Asep Syaifullah

Youtuber Indonesia Atta Halilintar menjadi sorotan media internasional. Bukan karena ada skandal atau konten video yang menggemparkan. Dengan jumlah subscriber mencapai lebih dari 10 juta pengguna, Atta Halilintar dinobatkan sebagai Raja YouTuber Indonesia, sekaligus menjadi raja YouTuber Asia Tenggara. Untuk ukuran Asia, Atta Halilintar berada di urutan ke-4, sementara Youtuber Ria Ricis berada di posisi keenam.

Dalam kolom komentar di laman Facebook situs detik.com, ada sebuah komentar yang -- meminjam istilah dari Bu Leya Cattleya -- sangat nonjok dan ngeplak. Pengguna Facebook Nihra Yazikuri menuliskan tanggapan atas berita tentang Atta Halilintar tersebut dengan komentar,

"Itu artinya ada 10 juta orang bodoh yang memberinya makan dan kemewahan, sementara mereka sendiri menghabiskan kuota melihat konten yang gak ada manfaat."

Menilai sebuah konten video di YouTube apakah itu berkualitas atau tidak ada manfaat tentu sangat subyektif. Saya sendiri harus mengakui tidak bisa menilai secara obyektif apakah konten yang dibuat dan disajikan Atta Halilintar itu termasuk kategori "unfaedah", "menghibur" atau "bermanfaat". Bagaimana bisa menilai lha wong saya sendiri belum pernah melihatnya? (Kecuali saat hendak menulis artikel ini untuk keperluan bahan pendukung tulisan).

Saya memang termasuk orang yang agak kolot dan konservatif. Untuk apa membuang-buang kuota internet hanya demi menonton dan berlangganan kanal YouTuber yang isi kontennya tidak jelas dan tidak bermanfaat? Lebih baik kuota internet itu saya gunakan untuk menelusuri jutaan artikel dan bahan literasi.

Idealis? Memang iya. Prinsip ini sama seperti apa yang pernah saya tuliskan sebelumnya, "Stop Making Stupid People Famous."

Tapi, bukan berarti saya menganggap Atta Halilintar itu termasuk kategori "Stupid People". Justru, dari lubuk hati yang paling dalam saya harus mengakui "kreativitasnya", keunggulannya dan prestasinya dalam mencapai sebuah milestone yang tidak semua orang di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara bisa mencapainya; memiliki 10 juta subscriber YouTube! Jika ini bukan prestasi, kata apa yang bisa menggambarkan dengan tepat untuk sesuatu yang sudah dicapai Atta Halilintar ini?

Harus diakui, kemunculan YouTube memang mengubah paradigma dunia hiburan. Dulu, dunia hiburan dipenuhi dengan artis-artis asli yang memang berbakat di bidangnya. Menyanyi, bermain musik, berakting, main sulap, melawak, pantomim, atau yang terbaru adalah stand-up comedy. Dulu, untuk mencapai kriteria bintang, butuh proses yang panjang dan penuh kerja keras.

Tapi YouTube mengubah semuanya. YouTube telah menciptakan generasi bintang, tetapi kebanyakan dari mereka tidak cukup berbakat untuk berhasil di industri hiburan nyata. Atta Halilintar, Ria Ricis, atau YouTuber lain yang sudah memiliki jutaan subscriber memang seorang bintang. 

Namun kebintangan mereka hanya sebatas di platform yang mereka jadikan pijakan saja. Di luar dunia YouTube, mereka nyaris tidak berhasil mempertontonkan bakat apapun juga.

Bukan berarti semua YouTuber seperti itu. Ada banyak orang yang berbakat di YouTube, juga berbakat di dunia nyata. Tentunya ada beberapa orang yang berhasil menjadi bintang di YouTube sekaligus bintang di dunia nyata. Mereka adalah para seniman asli (penyanyi, musisi, pelawak, pesulap, pesirkus, dan artis-artis lain) yang menjadikan YouTube sebagai sarana promosi, bukan cuma sekedar sarana mendulang penghasilan dari iklan yang dilihat dan diklik penonton.

Kita bisa mengingat bagaimana seorang Justin Bieber memulai karirnya lewat YouTube. Bocah imut yang mengunggah video dirinya sedang menyanyikan sebuah lagu. Hingga akhirnya dia menjadi salah seorang penyanyi berbakat, menjadi bintang idola remaja.

Tapi sekarang, tidak ada yang menyebut Justin Bieber itu sebagai YouTuber. Dia sudah lepas landas jauh meninggalkan platform yang membesarkan namanya. Inilah yang dilakukan orang-orang berbakat (yang asli). YouTube hanyalah pijakan untuk meraih sukses di dunia nyata sesuai bakat dan kemampuan aslinya. Bukan sebagai tempat yang bisa menghasilkan sebagian besar pendapatan nafkah hidup.

Dengan YouTube, siapapun bisa menjadi bintang. YouTube adalah jalan pintas untuk meraih popularitas. Tak perlu sebuah proses penyempurnaan dan kurasi serta evaluasi dari seorang profesional.

Sebagai platform, YouTube boleh dibilang menghambat pertumbuhan kreativitas. YouTube hampir tidak menawarkan kesempatan bagi pembuat konten untuk mengasah materi mereka atau meningkatkan keahlian mereka. Cukuplah membuat sebuah konten dan berusaha keras untuk mendapatkan perhatian dari penonton selama 3-10 menit sehari.

Entah itu dengan teknik kata kunci, judul yang clikcbait atau membagikannya di media sosial. Kita bisa membandingkan proses semacam ini dengan apa yang dilakukan seniman asli. Seorang pelawak stand-up pun harus naik panggung untuk mengasah bakat komediannya.

Gagalnya pertumbuhan kreativitas seorang YouTuber bisa kita lihat dari sosok Felix Kjellberg. YouTuber paling populer sejagat YouTube, dengan jumlah subscriber mencapai 80 juta pengguna. Dia adalah seorang pria karismatik yang pertama kali mempopulerkan dan mencapai kesuksesan dengan melakukan 'Live Plays', yang merupakan konten sesi panjang dari seseorang yang sedang bermain video game sementara  pengguna YouTube menontonnya.

Jenis konten ini akhirnya melahirkan genre konten YouTube baru dan ditiru oleh para gamers seperti Jess No Limit. Bila ada yang masih belum kenal dengan Felix Kjellberg, nama aliasnya adalah Pewdiepie.

Dalam perkembangannya, Pewdiepie mulai meninggalkan konten "live play". Ia lalu beralih menjadi YouTuber budaya pop yang mengulas meme dan konten internet populer serta menawarkan komentar tentang apapun yang saat ini tengah hangat dibicarakan publik, apapun yang sedang menjadi tren di YouTube.

Seiring pertambahan usianya, kepribadian Felix aka Pewdiepie memang berkembang, tapi tidak untuk konten YouTube-nya. Felix masih seorang pria yang lucu yang berbicara langsung ke kamera selama sepuluh menit yang telah diedit dengan banyak upaya untuk meyakinkan pengikutnya supaya kembali menonton lagi.

Nyaris tidak ada pengaruh luar yang bisa merubah bentuk konten Felix. Tidak ada produser atau penulis naskah yang membuang ide dan mengasah materi untuk disajikan ke dunia melalui "perantara" kanal YouTube Piewdiepie.  

Itulah mengapa banyak YouTuber populer melakukan hal yang sama persis seperti yang mereka lakukan ketika mereka mulai bertahun-tahun yang lalu. Itulah alasannya mengapa bintang terbesar YouTube jarang ada yang bisa menemukan kesuksesan di luar algoritma YouTube.

Termasuk Atta Halilintar hingga Ria Ricis. Usia mereka bertambah, kepribadian mereka berkembang, tapi konten YouTube mereka sama saja sejak pertama kali mereka muncul.

Belakangan ini cukup banyak YouTuber yang curhat, membuat video yang merinci kegelisahan, depresi, dan kesehatan mental mereka yang menurun karena siklus pekerjaan terus-menerus dari pembuatan konten yang diperlukan untuk terus mendapatkan penghasilan yang layak. 

Dalam sebuah tayangan infotainment yang pernah saya lihat (secara tidak sengaja) di salah satu stasiun televisi, Atta Halilintar mengungkapkan bahwa menjadi YouTuber itu bukan sekedar membuat video lalu menayangkannya begitu saja di kanal YouTube.

Atta mengisahkan bagaimana capeknya dia harus memikirkan ide konten, kemudian syuting, dilanjutkan mengedit video. Siklus ini terus terulang setiap hari demi menghasilkan kontinuitas konten sehingga bisa mendapatkan penghasilan yang layak, seperti yang sudah diperolehnya hingga saat ini. 

Padahal, apa yang disebut "kreativitas" dari seorang Atta Halilintar tak lain adalah hasil penggabungan (saya tidak bilang "mencuri" lho ya) ide orang lain. Seperti ketika viral video perusakan sepeda motor, Atta pun menjadikan ide itu menjadi konten video YouTubenya.

Fakta itu menunjukkan pada kita, bahwa boleh dibilang para YouTuber sudah "menyerahkan kehidupan" mereka pada algoritma YouTube. Mereka seolah takut jika tidak membuat konten yang kontinyu, jumlah pengikut akan menurun, yang otomatis akan mempengaruhi pendapatan yang bisa memperoleh. Dengan kata lain yang lebih kasar, mereka sudah "diperbudak" oleh platform itu sendiri.

Para pembuat konten tidak memiliki kekuatan untuk mengatur kontrol algoritma YouTube. Terutama lebih disebabkan karena konten yang mereka buat sangat rata-rata. Hampir setiap orang dapat (dan akan) melakukan apa yang sudah mereka perbuat dalam tayangan video di kanal YouTube mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun