Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

3 Pelajaran dalam 2 Juta Kata dari George RR Martin

6 Februari 2019   10:10 Diperbarui: 6 Februari 2019   17:30 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: wikimedia.org

Ada tiga penyakit yang paling sering hinggap di hati penulis. Malas, tidak konsisten dan putus asa.

Banyak alasan yang dikemukakan seseorang tatkala dia ditanya, "Mengapa tidak menulis?" Tak punya waktu, tak punya ide, lagi kena writer's block, tulisannya buruk, tidak percaya diri, dan segudang alasan lainnya.

Padahal, ujung-ujungnya itu semua hanyalah bentuk lain dari rasa malas. Semua alasan seperti itu ada solusinya. Mengutip pelajaran ilmu marketing, ada handling objection yang bisa kita lakukan untuk menyingkirkan batu sandungan berupa alasan-alasan tadi.

Tapi jika rasa malas sudah menggerogoti hati, sekuat apapun handling objection-nya, semudah apapun solusinya, tetap tidak akan bisa menggerakkan tangan seseorang untuk mulai menulis.

Bermula dari rasa malas, kita menjadi tidak konsisten untuk melatih keterampilan menulis. Bermula dari ketidakkonsistenan tersebut, timbullah rasa putus asa untuk bisa menulis. Untuk bisa menjadi penulis yang baik, yang bisa mencetak kesuksesan seperti penulis-penulis besar di luar sana.

Apalagi ketika kita mendapati karya tulis kita mendapat kritikan dan penilaian yang buruk. Atau naskah buku yang kita kirim ke penerbit dikembalikan dengan alasan tidak memenuhi kualitas yang mereka syaratkan.

Salah satu cara untuk mengusir rasa malas adalah dengan memotivasi diri kita. Baik itu motivasi internal, yakni keinginan yang kuat dan impian untuk bisa sukses, maupun motivasi eksternal. Berupa kisah sukses dari orang-orang yang sudah berhasil meraih mimpi dan mewujudkan kesuksesannya.

Dari sekian banyak kisah sukses penulis ternama, ada satu kisah menurut saya cukup menakjubkan. Yang bisa memberi kita 3 pelajaran bagaimana seorang penulis itu bisa menghasilkan sebuah karya yang mengguncangkan dunia.

***
Pada tahun 1971, seorang penulis muda lulus dengan gelar Master di bidang Jurnalisme dari Universitas Northwestern. Dia menghabiskan 13 tahun pertama karirnya dengan menulis secara profesional dan mencari nafkah dari situ.

Tetapi apa yang dia lakukan selama itu belum menghasilkan kesuksesan. Namanya tidak dikenal banyak orang. Pada tahun 1983, dia merilis buku keempatnya, The Armageddon Rag.

Buku itu gagal total secara komersial. Tidak ada yang mau membaca, apalagi membelinya. Dalam kata-kata penulis sendiri, "Itu pada dasarnya menghancurkan karier saya sebagai seorang novelis pada saat itu."

Tapi dia tidak putus asa. Dia bertekad untuk terus menulis demi mengasah keterampilan menulisnya. Cobaan demi cobaan menerpa jalan hidupnya. Satu kali dia mendapatkan pekerjaan menulis naskah di stasiun televisi CBS. Sayangnya, acara yang sudah dia tuliskan naskahnya itu dibatalkan.

Kemudian dia mendapatkan kesempatan menulis naskah untuk serial televisi ABC, tapi lagi-lagi dibatalkan penayangannya. Pada tahun 1991, setelah hampir satu dekade terombang-ambing dihempas berbagai kegagalan, dia memutuskan untuk mulai menulis fiksi lagi.

Momen yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Dua juta kata kemudian, George R.R. Martin menjadi terkenal sebagai salah satu novelis dunia terlaris. Namanya disejajarkan dengan JK. Rowling dan J.R.R. Tolkien yang sama-sama menulis novel laris bergenre fantasi.

George R.R Martin adalah penulis dari serial fantasi A Song of Ice and Fire. Buku pertama dalam seri ini, A Game of Thrones, juga telah diadaptasi menjadi serial televisi blockbuster di HBO. Nama George R.R. Martin kian menjulang manakala di musim pertamanya A Game of Thrones dinominasikan dalam 13 kategori di Emmy Award. Hingga saat ini, lima dari 7 buku serial fantasi yang epik ini sudah terjual lebih dari 25 juta kopi.

Ada beberapa penulis lain yang mungkin telah meraih kesuksesan lebih besar dari George Martin. Tapi yang membuat Martin istimewa adalah bukan tentang seberapa bagus buku-bukunya, tetapi bagaimana, atau lebih tepatnya dengan cara apa dia menuliskan karya terlarisnya itu.

***
Dari kelima seri buku yang sudah dicetak dan dijual, secara total George Martin sudah menulis hampir 2 juta kata.

  • Buku  1: A Game of Thrones -- 298,000 kata
  • Buku 2: A Clash of Kings -- 326,000 kata
  • Buku 3: A Storm of Swords -- 424,000 kata
  • Buku 4: A Feast for Crows -- 300,000 kata
  • Buku 5: A Dance with Dragons -- 422,000 kata

Totalnya 1,770,000 kata. Tidak percaya? Coba hitung sendiri jumlah kata di buku-buku tersebut dalam versi bahasa aslinya. Jika ditambahkan buku ke-6 dan ke-7 mungkin sudah melebihi 2 juta kata.

Sekali lagi, bukan kualitas atau kuantitas kata yang membuat George Martin istimewa, melainkan dengan apa dia menulisnya. Kelima seri buku yang pertama tersebut ditulis Martin dengan sebuah program yang saat ini mungkin terdengar aneh dan tidak lagi dikenal orang; Wordstar.

Bagi generasi tahun '80 dan '90-an, tentu masih ingat bagaimana tampilan layar dari program Wordstar bukan? Seperti ini:

sumber gambar: wikimedia.org
sumber gambar: wikimedia.org
Ketika praktikum komputer zaman SMA dulu, saya sendiri masih kesulitan bagaimana cara menjalankan program ini. Mulai dari membuka file, membuat file baru, hingga menyimpannya dalam disket lebar. Seandainya disuruh mengetik lagi di Wordstar, lebih baik saya menyerah dan mengaku kalah. Apalagi bagi generasi sekarang yang lebih familiar dengan MS Word.

Tapi bagi Martin, Wordstar-lah yang menjadi penolongnya hingga ia bisa meraih kesuksesan seperti ini.

"Saya masih menuliskan semua tulisan saya pada mesin DOS lama yang menjalankan WordStar 4.0," kata Martin. 

Selain menulis dengan Wordstar, satu hal lagi yang membuat George Martin istimewa adalah kemauannya untuk tidak diganggu oleh yang namanya internet dan media sosial!

 "Saya tidak (ada) di Facebook. Saya tidak (ada) di Twitter. Saya tidak akan membahas hal baru berikutnya, yang membuat Facebook dan Twitter sama usangnya dengan GEnie dan CompuServe dan The Source, komunitas-komunitas tenang di masa lalu, " kata Martin.

***
Dari sepenggal cerita George Martin tersebut, ada 3 pelajaran yang bisa kita petik:

1. Konsistensi

Martin adalah seorang penulis yang bekerja selama dua puluh tahun sebelum ia duduk untuk menulis A Game of Thrones. Dia menulis naskah pertunjukan yang dibatalkan dan mendapati dirinya tanpa pekerjaan beberapa tahun lamanya.

Dia menulis buku-buku di awal karirnya, tapi semuanya gagal secara komersial. Tetapi hal itu tidak mematahkan konsistensinya dalam menulis. Setiap kali gagal, dia menulis, begitu seterusnya.

Bahkan seandainya serial A Song of Ice and Fire juga tidak berhasil mengangkat namanya, saya percaya Martin akan terus menulis. Martin tidak hanya konsisten menulis saat dia masih gagal atau mulai menemui kesuksesan. Martin hanya konsisten pada tulisan, itu saja.

2. Kesabaran

Setiap orang tentunya ingin mencapai kesuksesan secepat mungkin. Seandainya bisa, kesuksesan dan ketenaran itu diraih saat karya pertamanya diluncurkan. Saya yakin George Martin pun begitu. George Martin juga ingin buku pertamanya langsung terjual 25 juta kopi, dan tidak harus menunggu selama 20 tahun dengan berganti-ganti pekerjaan. Semua penulis memiliki mimpi yang sama seperti itu.

Yang membedakan George Martin dengan kebanyakan penulis lain termasuk kita adalah, dia tidak membiarkan obsesi untuk sukses dalam semalam menggagalkan komitmennya, menggagalkan konsistensinya dalam menulis setiap hari. Secara tersirat, George Martin memberi pelajaran bahwa pertunjukan kesabaran terbesar itu terdapat dalam komitmen berkelanjutan pada suatu proses ketika kita belum diberi imbalan.

3. Fokus

Martin menulis di komputer dengan program pengolah kata yang jadul, tanpa internet, tanpa media sosial, tanpa aplikasi atau gangguan apapun.

Bagi Martin, komputernya sudah dapat melakukan satu hal yang sangat penting baginya: mengetik kata-kata. Dan mengetik kata-kata adalah keahliannya. Itulah yang perlu ia ciptakan. Martin 100 persen fokus untuk melakukan pekerjaan yang penting dan dia telah sepenuhnya menghilangkan segala sesuatu yang menghambat tujuannya tersebut.

"Saya sebenarnya menyukainya. Itu melakukan semua yang saya inginkan untuk program pengolah kata dan tidak melakukan hal lain. Saya tidak butuh bantuan, Anda tahu? Saya benci beberapa sistem modern di mana Anda mengetik huruf kecil dan itu (otomatis akan) menjadi huruf kapital. Saya tidak ingin huruf kapital. Jika saya ingin huruf kapital, (maka) saya akan mengetik 'kapital'. Saya tahu (bagaimana) cara kerja tombol shift!"

***
Rasanya sulit sekali bagi kita generasi sekarang ini untuk meniru cara kerja George Martin. Kita selalu berpikir bawah kita perlu lebih banyak sumber daya untuk bisa meraih kesuksesan.

Kita cenderung ingin dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang bisa memudahkan pekerjaan kita. Komputer atau gawai yang canggih. Perangkat lunak atau aplikasi yang user friendly. Internet untuk berinteraksi maupun mencari sumber referensi.

Tapi, benarkah untuk meraih kesuksesan yang kita inginkan itu harus dengan sumber daya yang melimpah? Alih-alih bisa konsisten, sabar dan fokus seperti George Martin, jangan-jangan itu semua malah akan membuat kita terlena.

Mungkin yang benar-benar kita butuhkan adalah lebih sedikit gangguan dan lebih banyak fokus pada pekerjaan kita. Menghilangkan gangguan, bukan mengumpulkan sumber daya adalah cara terbaik untuk memaksimalkan potensi yang kita miliki.

Hidup pasti berubah, seringnya ke arah yang tidak kita perkirakan. Kalau mau menyerah sekarang tidak masalah, tapi kita tidak tahu sudah sedekat apa kita dengan keberhasilan.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun