Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahaya Kultus Individu, Glorifikasi dan Pencitraan Seorang Figur

24 Januari 2019   08:32 Diperbarui: 7 Juli 2021   18:03 2233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahaya Kultus Individu, Glorifikasi dan Pencitraan Seorang Figur (unsplash/aaron burden)

Dalam bukunya Ranjau Biografi (Penerbit Bentang, 2016), Pepih Nugraha menuliskan ada 11 "ranjau" dalam penulisan biografi, atau artikel yang mengangkat profil seorang tokoh. Ranjau biografi yang dimaksud adalah hal-hal yang melemahkan tulisan biografi itu sendiri.

Salah satu ranjau biografi yang disebutkan Kang Pepih adalah Bahaya Kultus Individu dan Pencitraan (Ranjau #6). Termasuk di dalamnya adalah glorifikasi.

Kultus individu atau pemujaan kepribadian (bahasa Inggris: Cult of personality) muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur ideal atau pahlawan, seringkali melalui pujian yang berlebihan.

Sementara glorifikasi (asal kata bahasa Inggris: Glorification) adalah aksi melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela. 

Baca juga : Kultus Pancasila dan Moderasi Berbangsa

Lawan kata glorifikasi adalah demonisasi, yakni sikap melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan hingga sesuatu jadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak ada sedikitpun kebaikannya.

Seringkali diksi kultus individu atau glorifikasi dikaitkan dalam konteks keagamaan. Misalnya pemujaan berlebih terhadap karomah seorang yang dianggap wali/wakil tuhan. Padahal, tanpa sadar kita sering membawa atau menempatkan kultus individu dan atau glorifikasi itu diluar konteks agama dan spiritual.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah mengkritik keras budaya kultus individu yang tumbuh subur dalam tatanan masyarakat tradisional, terutama melalui "penyelewengan" ajaran Islam di Indonesia pada masanya.

Baca juga : Relung Janji Menerpa Jelita Hegemoni Kultus

Dalam surat-surat yang ia tulis dari Ende kepada ulama Persis di Bandung, A. Hassan, Sukarno terang-terangan mengkritik sikap mengkeramatkan manusia dan benda. Dia mencontohkan salah satu kelemahan Islam di zaman itu adalah sikap mengkeramatkan kaum "sayid" yang hampir menjurus pada kemusyrikan.

"Tersesatlah orang yang mengira bahwa Islam mengenal suatu "aristokrasi Islam". Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan," tulis Sukarno dalam surat tertanggal 1 Desember 1934.

Ironisnya, Soekarno sendiri malah terkesan menikmati pemujaan berlebih terhadap dirinya. Soekarno hidup dan tumbuh pada zaman dan di tengah masyarakat yang masih banyak mempercayai dan meyakini hal-hal mistik. Kebesaran dan keagungan Sukarno sebagai pemimpin, yang tercermin dari keberhasilan Sukarno lolos dari berbagai percobaan serangan mematikan, tak urung membuatnya menjadi subyek pemujaan yang tidak kalah irasionalnya.

Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno secara terus terang menceritakan beberapa kejadian dimana ia sering dikultuskan oleh masyarakat setempat. Seperti kepercayaan sebagian besar orang Bali yang meyakini Soekarno sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa hujan dan pemberi rejeki dalam kepercayaan Hindu.

Baca juga : Kultus Individu dalam Demokrasi Indonesia

Kepercayaan ini menurut Sukarno muncul karena setiap kali ia datang ke Istana Tampaksiring, di Gianyar Bali, hujan selalu turun. Bahkan meski sedang musim kemarau. "Jujur saja aku mengucapkan syukur ke Sang Maha Pencipta bila turun hujan selama aku tinggal di Tampaksiring, karena kalau tidak hujan kewibawaanku akan berkurang," katanya.

Seperti yang tersirat dari pengakuan Soekarno tersebut, kultus individu pada dasarnya adalah upaya memitologikan manusia. Layaknya Hercules yang diangkat menjadi dewa berkat jasa-jasanya pada umat manusia. Begitu pula dengan pandangan masyarakat yang sudah terjangkit racun kultus individu dan glorifikasi ini.

Dalam ajaran tauhid, manusia adalah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan. Inilah yang disebut sifat manusiawi. Saat dimitologikan, maka manusia tersebut hilang unsur manusiawinya, berganti menjadi sifat ilahiyah yang suci dan tak tersentuh oleh dosa. Suci lagi menyucikan.

Setiap ucapannya, senaif apapun, didengar pemujanya sebagai sabda kebenaran. Setiap langkah dan kebijakannya, sekonyol apapun dipandang sebagai jejak petunjuk yang menyelamatkan.

Implikasi berat dari sikap kultus individu dan glorifikasi ini adalah upaya pembenaran terhadap setiap tindakan dari figur yang dikultuskan. Maka terhadap siapapun yang menegur, mengoreksi dan mengkritiknya akan dianggap sebagai penghujat kebenaran dan karena itu harus dilawan.

Joseph Stalin pernah berkata, "Kematian satu orang adalah tragedi. Kematian satu juta orang adalah statistik."

Stalin merasa mendapat pembenaran atas logika miringnya karena dia sudah dikultuskan. Ia kemudian merasa menjadi satu yang penting dari sejuta lainnya yang hanya angka - angka.

Pemujaan kepribadian dan melebih-lebihkan kegemilangan zaman memang banyak ditemui dalam negara dengan sistem kediktatoran. Sebut saja mulai dari Hitler, Musolini, Stalin, Mao Zedong, Kim Il Sung dan putranya Kim Jong Il, Ho Chi Minh, Mobutu Sese Seko, dan beberapa rezim diktator lainnya.

Di negara kita, kultus individu terhadap pemimpin sudah diperlihatkan oleh sejarah dalam sosok Soekarno. Penggantinya, Soeharto juga tak lepas dari glorifikasi, sekalipun tidak separah yang terjadi pada Soekarno. Pemuja Soeharto memang tidak mengkultuskan pribadinya, tapi mereka mengalihkan kultus terhadap Soeharto dalam bentuk glorifikasi masa pemerintahannya.

"Piye kabare, enak jamanku to?"

Kalimat satir yang sering didengungkan saat ini adalah bentuk lain dari kultus individu terhadap Soeharto. Bahwa masa silam (era Soeharto) merupakan era gilang-gemilang, dinamis, romantis, penuh pesona, dan masa kini adalah dekade yang suram.

Jaman boleh berganti, teknologi boleh semakin maju, tapi kultus individu dan glorifikasi tetap mengakar kuat. Di era kekinian, kultus individu dan glorifikasi bisa kita lihat dari penciptaan figur ideal atau pahlawan dengan menaikkan frasa-frasa hiperbola. Parahnya, upaya penciptaan figur yang dikultuskan ini justru didukung oleh media massa.

Propaganda melalui media massa ini semakin kentara tatkala mereka membingkai pemberitaan tentang seorang figur dengan memakai kacamata kuda. Melihat lurus ke depan, tanpa bisa melihat sisi kanan kiri dan belakangnya.

Hanya kelebihan sang tokoh itu yang dihembuskan terus menerus. Mereka berharap massa bisa terhipnotis kepada figur tersebut setelah melihat tontonan, bacaan atau mungkin pula bualan yang mereka ciptakan.

Bila sudah terhipnotis, serombongan massa ini sudah tidak bisa lagi menggunakan nalar berpikirnya secara jernih dan analitis. Lalu mereka menumpukan diri sebagai pembela paling depan atas koreksi apapun yang datang dari pihak lawan.

Siapa yang menegur, mengritik atau meluruskan sang kultus akan dianggap sebagai penghujat kebenaran dan, karena itu, harus dilawan. Jika perlu sampai berkalang tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun