Di negara kita, kultus individu terhadap pemimpin sudah diperlihatkan oleh sejarah dalam sosok Soekarno. Penggantinya, Soeharto juga tak lepas dari glorifikasi, sekalipun tidak separah yang terjadi pada Soekarno. Pemuja Soeharto memang tidak mengkultuskan pribadinya, tapi mereka mengalihkan kultus terhadap Soeharto dalam bentuk glorifikasi masa pemerintahannya.
"Piye kabare, enak jamanku to?"
Kalimat satir yang sering didengungkan saat ini adalah bentuk lain dari kultus individu terhadap Soeharto. Bahwa masa silam (era Soeharto) merupakan era gilang-gemilang, dinamis, romantis, penuh pesona, dan masa kini adalah dekade yang suram.
Jaman boleh berganti, teknologi boleh semakin maju, tapi kultus individu dan glorifikasi tetap mengakar kuat. Di era kekinian, kultus individu dan glorifikasi bisa kita lihat dari penciptaan figur ideal atau pahlawan dengan menaikkan frasa-frasa hiperbola. Parahnya, upaya penciptaan figur yang dikultuskan ini justru didukung oleh media massa.
Propaganda melalui media massa ini semakin kentara tatkala mereka membingkai pemberitaan tentang seorang figur dengan memakai kacamata kuda. Melihat lurus ke depan, tanpa bisa melihat sisi kanan kiri dan belakangnya.
Hanya kelebihan sang tokoh itu yang dihembuskan terus menerus. Mereka berharap massa bisa terhipnotis kepada figur tersebut setelah melihat tontonan, bacaan atau mungkin pula bualan yang mereka ciptakan.
Bila sudah terhipnotis, serombongan massa ini sudah tidak bisa lagi menggunakan nalar berpikirnya secara jernih dan analitis. Lalu mereka menumpukan diri sebagai pembela paling depan atas koreksi apapun yang datang dari pihak lawan.
Siapa yang menegur, mengritik atau meluruskan sang kultus akan dianggap sebagai penghujat kebenaran dan, karena itu, harus dilawan. Jika perlu sampai berkalang tanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H