Ironisnya, Soekarno sendiri malah terkesan menikmati pemujaan berlebih terhadap dirinya. Soekarno hidup dan tumbuh pada zaman dan di tengah masyarakat yang masih banyak mempercayai dan meyakini hal-hal mistik. Kebesaran dan keagungan Sukarno sebagai pemimpin, yang tercermin dari keberhasilan Sukarno lolos dari berbagai percobaan serangan mematikan, tak urung membuatnya menjadi subyek pemujaan yang tidak kalah irasionalnya.
Dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno secara terus terang menceritakan beberapa kejadian dimana ia sering dikultuskan oleh masyarakat setempat. Seperti kepercayaan sebagian besar orang Bali yang meyakini Soekarno sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa hujan dan pemberi rejeki dalam kepercayaan Hindu.
Baca juga : Kultus Individu dalam Demokrasi Indonesia
Kepercayaan ini menurut Sukarno muncul karena setiap kali ia datang ke Istana Tampaksiring, di Gianyar Bali, hujan selalu turun. Bahkan meski sedang musim kemarau. "Jujur saja aku mengucapkan syukur ke Sang Maha Pencipta bila turun hujan selama aku tinggal di Tampaksiring, karena kalau tidak hujan kewibawaanku akan berkurang," katanya.
Seperti yang tersirat dari pengakuan Soekarno tersebut, kultus individu pada dasarnya adalah upaya memitologikan manusia. Layaknya Hercules yang diangkat menjadi dewa berkat jasa-jasanya pada umat manusia. Begitu pula dengan pandangan masyarakat yang sudah terjangkit racun kultus individu dan glorifikasi ini.
Dalam ajaran tauhid, manusia adalah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan. Inilah yang disebut sifat manusiawi. Saat dimitologikan, maka manusia tersebut hilang unsur manusiawinya, berganti menjadi sifat ilahiyah yang suci dan tak tersentuh oleh dosa. Suci lagi menyucikan.
Setiap ucapannya, senaif apapun, didengar pemujanya sebagai sabda kebenaran. Setiap langkah dan kebijakannya, sekonyol apapun dipandang sebagai jejak petunjuk yang menyelamatkan.
Implikasi berat dari sikap kultus individu dan glorifikasi ini adalah upaya pembenaran terhadap setiap tindakan dari figur yang dikultuskan. Maka terhadap siapapun yang menegur, mengoreksi dan mengkritiknya akan dianggap sebagai penghujat kebenaran dan karena itu harus dilawan.
Joseph Stalin pernah berkata, "Kematian satu orang adalah tragedi. Kematian satu juta orang adalah statistik."
Stalin merasa mendapat pembenaran atas logika miringnya karena dia sudah dikultuskan. Ia kemudian merasa menjadi satu yang penting dari sejuta lainnya yang hanya angka - angka.
Pemujaan kepribadian dan melebih-lebihkan kegemilangan zaman memang banyak ditemui dalam negara dengan sistem kediktatoran. Sebut saja mulai dari Hitler, Musolini, Stalin, Mao Zedong, Kim Il Sung dan putranya Kim Jong Il, Ho Chi Minh, Mobutu Sese Seko, dan beberapa rezim diktator lainnya.