Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cuma Ada 4 Motivasi Utama dalam Menulis, Kamu Ikut yang Mana?

20 Januari 2019   22:36 Diperbarui: 20 Januari 2019   22:53 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi (unsplash.com/@tar1k)

"Aku menulis karena ini bisa jadi sumber penghasilan."

Ah ya, seperti yang kamu bilang, menulis, yang semula dianggap sebagai hobi kini dipandang sebagai suatu pekerjaan atau profesi tersendiri. Apalagi di era digital sekarang, banyak nama profesi yang asal katanya diturunkan dari kata "Menulis" atau "Penulis". Seperti Content Writer, Copywriter, Ghostwriter, Scriptwriter dan 'writer-writer' lainnya.

Tapi, apakah "tuntutan pekerjaan", "sebagai sumber penghasilan", 'karena bisa menghasilkan uang', dan alasan sejenis yang money oriented itu termasuk salah satu motivasi utama dalam menulis?

Jika itu ditanyakan pada George Orwell, dia akan mengesampingkan kebutuhan mencari nafkah sebagai motivasi untuk menulis. Menurut Orwell dalam esainya "Why I Write", cuma ada empat alasan utama dari seorang penulis - sebagian besar penulis prosa. Keempat motivasi ini bisa saling berkaitan satu sama lain. Artinya, seorang penulis bisa memiliki motivasi A dan B sekaligus, atau kombinasi dari keempatnya.

Mungkin sudah ada yang tahu nama George Orwell, tapi belum mengenal begitu baik. Sebelum mengupas empat motivasi menulis yang diteorikan Orwell, ada baiknya kita berkenalan sebentar.

George Orwell adalah nama pena dari Eric Arthur Blair. Masyarakat literasi mengenalnya sebagai seorang novelis karena reputasinya bertumpu pada dua novel terakhirnya, yakni Animal Farm dan 1984.

Namun, melalui  sebagian besar kariernya, Orwell  dikenal karena jurnalismenya dan esai-esainya yang ketat dan keras mengkritik sendi-sendi politik dunia. Dialah yang mempopulerkan dasar-dasar teknik penulisan yang deklaratif melalui pemilihan kata dan frasa yang lugas dan sederhana. Orwell dikenal sangat menghindari gaya tulisan yang dekoratif atau terlalu banyak hiasan kata yang tidak berguna.

Salah satu esainya, "Why I Write" hingga saat ini masih dianggap sebagai esai terbaik yang mengupas motivasi seorang penulis. Mengesampingkan alasan kebutuhan mencari nafkah, Orwell menuliskan empat motivasi yang dimiliki setiap penulis, dan alasan pribadinya mengapa ia menulis.

Keempat motivasi ini memiliki derajat yang berbeda di setiap penulis, dan di setiap penulis proporsi masing-masing motivasinya akan bervariasi dan berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan suasana dan di mana ia tinggal.

Empat motivasi utama seorang penulis adalah:

1. Egoisme

Menurut Orwell, setiap penulis memiliki keinginan/obsesi untuk terlihat pintar, untuk dibicarakan orang lain, untuk diingat setelah kematiannya, untuk menunjukkan siapa dirinya saat ini pada orang dewasa yang pernah mengolok-oloknya di masa kecil, dan lain-lain. Adalah bohong besar untuk berpura-pura bahwa egoisme ini bukan motif yang (paling) kuat. Para penulis berbagi karakteristik ini dengan para ilmuwan, seniman, politisi, pengacara, tentara, pengusaha sukses - singkatnya, dengan seluruh lapisan atas manusia.

Setiap kesuksesan yang diraih manusia pada dasarnya memiliki motif egois seperti yang dikatakan Orwell. Cobalah merenung sejenak, selain motif-motif yang lain, bukankah kita memiliki keinginan untuk dikenang, sekecil apapun itu dirasakan dalam hati dan pikiran kita.

Kita ingin tulisan kita dibaca, untuk kemudian orang mengingat bahwa tulisan itu kita lah yang menulisnya. Apalagi ketika karya tulis kita mencetak kesuksesan yang besar. Buku kita menjadi best seller dunia. Rasa egoisme ini akan tumbuh semakin besar.

Boleh saja kita mengelak bahwa apa yang kita tuliskan itu sebagian besar karena kita ingin berbagi ilmu atau karena untuk mencari nafkah. Namun akuilah bahwa di sudut terpencil hati nurani kita, ada setitik keinginan untuk menunjukkan jati diri kita sebagai penulis.

2. Antusiasme pada estetika

Seniman adalah pencipta keindahan. Dan penulis bisa digolongkan dalam kelompok seniman. Persepsi tentang keindahan, bagi seorang penulis ada dalam susunan kata dan pengaturan diksi serta frasa yang tepat.

Menurut Orwell, setiap tulisan memiliki estetika. Bahkan seorang penulis pamflet atau penulis buku teks sekalipun memiliki kata-kata dan frasa kesayangan yang menarik dan ingin ia tunjukkan pada pembaca. Pertimbangan lebar margin tulisan, tipografi hingga pola kelurusan tulisan, ini semua juga termasuk dalam nilai estetika karya tulis. Tidak ada satu pun buku yang bebas dari pertimbangan estetika.

Meski begitu, motif akan antusiasme terhadap estetika bagi Orwell sangat lemah, dan tidak banyak dimiliki oleh penulis.

3. Dorongan historis

Orwell melihat motif dorongan historis ini dari sudut jurnalisme. Menurut Orwell, motif ini didorong oleh hasrat untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, untuk mencari tahu fakta yang sebenarnya dan menyimpannya (menuliskannya) agar kelak bisa diketahui oleh generasi mendatang.

4. Tujuan politik

Motif politik menurut Orwell berada dalam arti seluas mungkin. Ingin mendorong dunia ke arah tertentu, untuk mengubah gagasan orang lain tentang jenis masyarakat yang harus mereka perjuangkan, dan beberapa contoh motif politik lainnya. Orwell menegaskan, tidak ada buku atau karya tulis yang benar-benar bebas dari bias politik. Bahkan pendapat bahwa seni seharusnya tidak ada hubungannya dengan politik itu sendiri adalah sikap politik.

Dalam esainya tersebut, Orwell juga menceritakan bagaimana perubahan motivasi dirinya saat menulis. Ketika pertama kali menulis, motivasi Orwell (yang disebutnya ada pada setiap penulis muda) adalah tiga yang pertama; egois, estetika dan dorongan historis, dengan sedikit sekali motif politiknya.

Seiring berjalannya waktu dan pengalaman pribadinya, motivasi menulis Orwell pun berubah. Hampir semua buku atau tulisannya di tahun-tahun terakhir bermuatan politis, berisi pandangan dan pendapatnya tentang situasi politik yang terjadi saat itu. Meski begitu, Orwell mengakui dia tidak bisa meninggalkan nilai estetika dari naluri sastranya.

Seperti dalam bukunya Homage to Catalonia, Orwell memakai gaya jurnalisme, sesuatu yang sudah mendarah daging dan menjadi naluri sastranya (estetikanya). Hingga seorang kritikus mengatakan pada Orwell bahwa dia telah mengubah apa yang mungkin bisa menjadi buku yang bagus menjadi jurnalisme.

Menurut Orwell, ketika dia melihat tulisannya  tidak memiliki tujuan/motif politis, tulisannya itu seperti tak bernyawa dan hanya berisi kalimat tanpa makna, kata sifat dekoratif dan omong kosong pada umumnya.

***

Dari apa yang dituliskan Orwell dalam esainya, saya menarik sebuah garis kesimpulan bahwa motivasi seorang penulis merupakan nyawa dari tulisannya. Motivasi itulah yang menghidupkan tulisan dan membawa karakter penulis ke dalamnya. Semakin kuat motivasi yang mendorong penulis - terlepas dari apapun jenis motivasinya -- tulisannya akan semakin mudah dicerna oleh pembaca. Seolah pembaca diajak melihat langsung nuansa batin yang menyelimuti penulis tersebut.

Jadi, seperti apa motivasimu dalam menulis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun