Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Instagram, Candu Popularitas dan Virus Kepalsuan

13 Januari 2019   16:25 Diperbarui: 13 Januari 2019   21:32 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: unsplash.com/@rizkyazden

Gara-gara Bu Leya menulis tentang kekuatan instagram, saya jadi ingat dengan berita tentang Daryl Aiden Yow. Di kalangan instagrammer Singapura, Daryl dikenal sebagai fotografer handal. Akun instagramnya penuh dengan foto-foto yang stunning, sangat instagrammable.

Yow bekerja dengan banyak influencer lokal Singapura. Tak hanya itu, dia juga diminta untuk mengendorse beberapa merek terkenal seperti Sony, Oppo dan Uniqlo. Beberapa media setempat juga mewawancarai Yow perihal tips membuat foto yang instagrammable.

Namun, sebuah penemuan mengejutkan akhirnya membongkar kedok Yow. Beberapa instagrammer menemukan fakta bahwa banyak foto-foto yang diunggah Yow di akun instagrammnya adalah plagiat!

sumber: mothership.sg
sumber: mothership.sg
Netizen menemukan bahwa Yow mengambil foto dari situs penyedia foto atau foto milik orang lain dan kemudian mengakui foto tersebut sebagai hasil karyanya.

Yow bahkan memanfaatkan aplikasi editing untuk memotong foto dari Shutterstock yang diambil dengan kamera Canon, lalu mengakui itu sebagai hasil karyanya dan menggunakannya untuk mengendorse produk kamera Sony!

Skandal memalukan tersebut langsung menjadi berita dan perbincangan netizen. Tak hanya itu, skandal Yow juga berhasil mendarat di outlet media fotografi dan media massa internasional, salah satunya adalah BBC.

sumber: mothership.sg
sumber: mothership.sg
Setelah kedoknya terbongkar, Yow langsung menghapus postingan instagramnya yang berjumlah lebih dari seribu. Yow hanya menyisakan satu postingan saja berupa pernyataan permintaan maaf. Cerita selengkapnya bisa dibaca di situs Mothership.

***

Dalam perbincangannya di NPR, co-founder Instagram Kevin Systrom menceritakan kisah di balik lahirnya jejaring sosial khusus foto dan gambar ini. Ketika itu, Systrom sedang berlibur di pantai Todos Santos bersama pacarnya. Systrom lalu berniat mengunggah foto momen liburan tersebut di prototipe jejaring sosial mereka, yang semula bernama "Bourbon".

Tapi pacarnya keberatan karena merasa dirinya terlihat jelek, tidak fotogenik. Dia lalu menyarankan untuk menambahkan beberapa filter dan fitur penyuntingan di aplikasi prototipe tersebut.

 "Kita hanya perlu membuat orang merasa foto mereka layak untuk dibagikan"

- Kevin Systrom

Ide dasar ini memicu kesuksesan Instagram. Dengan meningkatkan kualitas foto menggunakan filter dan fitur penyuntingan, Instagram menjadi platform media sosial yang populer sebagai  tempat untuk konten yang indah dan sempurna saja. Tapi budaya kesempurnaan inilah yang membuat Instagram bisa menjadi racun yang paling merusak kesehatan mental kita. Karena di Instagram, semua orang terlihat sempurna - kecuali kita. 

Di balik tabir ekspresi diri yang dilakukan pengguna Instagram, ada candu popularitas dan kepalsuan yang melekat. 

Ingin menjadi populer dan disukai banyak orang adalah naluri alami manusia. Media sosial, khususnya Instagram dan Facebook paham benar akan hal ini. Mereka dengan sengaja memberi makan naluri khusus ini dengan fitur like dan kolom komentar sebagai variabel hadiah bagi pengguna.

Karena itu, ketika kita tidak memberi makan impuls narsis kita dengan mengunggah foto selfie, kita akan merasa iri dan pahit saat menggulirkan umpan. Ketika melihat postingan teman atau influencer di Instagram, rasa kagum akan keindahan foto dan kekuatan narasi caption yang pertama kali kita rasakan perlahan akan berubah menjadi rasa iri dan obsesi untuk bisa menjadi seperti mereka.

Tak jarang, keinginan untuk menjadi populer membuat banyak anak-anak muda akan menempuh jalan pintas. Mereka tidak lagi mengindahkan nilai moral dan etika dari sebuah kreativitas.

Membeli akun bot follower, plagiasi, bahkan tak jarang melakukan aksi-aksi yang bisa membahayakan diri sendiri. Itu semua dilakukan dengan harapan dapat mengundang decak kagum dan mendapatkan sanjungan.

Candu popularitas juga kerap mengantarkan seseorang menuju jurang kehancuran. Yow memberi kita sebuah pelajaran berharga. Dalam sekejap, reputasi yang diperolehnya langsung hilang begitu saja. Dia tidak lagi dikenal sebagai instagrammer dan fotografer handal. Namanya yang dulu dihormati kini dikaitkan dengan kata-kata seperti "Thief, Ripping Off, Ashamed, Stealing" dan berbagai sinonim lainnya.

Di Indonesia, kita dulu mengenal seorang remaja putri yang mendadak tenar karena tulisannya di Facebook. Setelah menjadi viral, remaja putri ini diundang Presiden ke istananya. Dia juga diundang untuk menjadi pembicara di depan dosen-dosen hingga guru besar di sebuah universitas negeri ternama.

Belakangan, ada netizen yang menemukan bahwa tulisannya itu tak lain hasil plagiasi! Begitu pula unggahan video curhatnya yang berbahasa inggris, murni jiplakan dari video remaja depresi di luar negeri.

Sinar bintangnya langsung redup. Nama baiknya hancur seperti roket yang melesat naik melampaui langit, lalu jatuh ke lautan, berhamburan dan terengah-engah mencari udara. Dari seorang remaja yang mulanya dianggap berwawasan luas, namanya kini identik dengan sebutan plagiator.

Candu popularitas juga mengubah budaya dan persepsi dari anak-anak muda tersebut tentang liburan. Dulu, kita liburan untuk menikmati pemandangan alam, bersantai sejenak menghilangkan kepenatan setelah sekian hari direpotkan dengan rutinitas pekerjaan.

Semenjak candu popularitas itu dikonsumsi, pemandangan alam dan suasana tempat wisata hanya menjadi latar belakang dari foto diri. Instagrammer bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengambil selfie terbaik dan merumuskan caption yang cerdas. Tak lebih dari itu.

***

Sudah satu bulan ini saya tidak membuka akun Instagram. Selain karena bosan feed-nya "hanya itu-itu saja", juga karena dalam sudut hati yang paling dalam, saya merasa tidak nyaman dengan "kepalsuan" di dunia yang penuh dengan gambar-gambar indah tersebut.

Saya tidak bisa berpura-pura bahagia, memposting foto-foto liburan atau aktivitas seru terus padahal aslinya itu foto koleksi lama, sementara saat ini saya sedang disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Saya juga tidak bisa lagi berpura-pura kreatif, memposting hasil jepretan dari kamera smartphone supaya dianggap itu karya fotografi yang bagus. Padahal saya sudah mengeditnya dengan aplikasi khusus.

Begitu pula dengan Facebook, saya juga mengurangi intensitas dan interaksi di dalamnya. Dua tahun lalu, saya sengaja menon-aktifkan akun Facebook. Belakangan saya sadar ternyata  saya tidak bisa benar-benar meninggalkannya. Masih banyak teman-teman saya yang kadang membagikan informasi berharga di Facebook sekalipun mereka sudah ada di grup WA.

Saya pun mengaktifkan kembali akun Facebook, sembari bersih-bersih pertemanan. Hanya dengan mereka yang benar-benar saya kenal saja. (Sekadar informasi, saat kita menonaktifkan akun, Facebook tidak menghapus akun kita. Facebook hanya memperlihatkan pada pengguna lain bahwa akun kita sudah tidak aktif, tapi bukan terhapus sama sekali. Pengguna bisa mengaktifkan kembali akun Facebook-nya cukup dengan memasukkan nama pengguna dan password-nya kembali).

Idealis dan sok moralis? Ah biarlah. Apa yang saya rasakan setelah berhenti main-main dengan Instagram dan Facebook justru membuat saya merasa lebih tenang, senang dan nyaman. Saya merasa lebih santai, lebih fokus pada diri sendiri dan kreativitas asli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun