Mengapa kasus pengaturan skor baru mencuat dan ditindaklanjuti secara serius sekarang ini?
Kata seorang teman suporter, "gak perlu heran, karena tahun ini adalah tahun politik." Terlepas dari benar atau tidaknya opini teman saya tersebut, pengungkapan kasus pengaturan skor di jagad sepakbola Indonesia patut diapresiasi.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian langsung bertindak nyata usai diundang menjadi pembicara dalam acara talkshow Mata Najwa beberapa waktu lalu. Satgas Anti Mafia Bola yang dijanjikannya sudah terbentuk sejak 22 Desember 2018.
Hingga saat ini, 4 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengaturan skor pertandingan sepakbola di Indonesia. Yakni anggota Exco Johar Lin Eng, mantan anggota Komisi Disiplin PSSI Dwi Irianto, mantan anggota Komisi Wasit PSSI Purwanto dan anaknya, Anik.
Terkait pengaturan skor dalam pertandingan sepakbola di Indonesia, tak salah kiranya jika ada yang bertanya seperti diatas. Karena sejatinya, kasus pengaturan skor sudah menjadi rahasia umum. Sejak era kompetisi Perserikatan, Galatama hingga masih terus terjadi di era kompetisi sepakbola modern sekarang ini.
Mengendus apakah sebuah pertandingan sepakbola itu terdapat indikasi adanya pengaturan skor juga tidak mudah. Kecuali ada pengakuan langsung dari pelakunya, baik itu si pengatur, pemain, wasit, official hingga pelatih.
Tengok saja bantahan Maman Abdurrahman, bek timnas Indonesia saat final Piala AFF 2010. Â Meskipun sang "Godfather" sepakbola Indonesia, Andi Darussalam Tabussala dalam acara Mata Najwa: PSSI Bisa Apa beberapa waktu lalu dengan terang-terangan mengatakan final Piala AFF 2010 yang berakhir dengan kekalahan timnas Indonesia 0-3 dari tuan rumah Malaysia diatur oleh mafia bola melalui tangan Miss X. Karena itu, meskipun terjadi skor-skor mencolok, yang proses pertandingannya tidak wajar, tidak ada yang berani menuduh langsung pertandingan itu sudah diatur, atau ada match fixing.
Satu contoh kasus adalah saat terjadinya sepakbola "main mata" antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang dalam penyisihan grup 1 babak 8 besar Divisi Utama musim 2014 (26/10/2014. Dalam pertandingan tersebut, Â ada 5 gol yang terjadi, dan kelima gol tersebut semuanya merupakan gol bunuh diri!
Konon, kedua tim sengaja melakukan hal tersebut untuk menghindar dari kemungkinan melawan Pusamania Borneo FC . Apakah ada unsur kesengajaan dalam proses terjadinya gol bunuh diri tersebut? Apakah ada pihak ketiga yang mengatur supaya PSS Sleman kalah atau PSIS Semarang yang ingin mengalah?
Tidak ada yang tahu pasti. Selain karena kedua tim menghindar untuk mengaku, PSSI maupun aparat kepolisian saat itu juga tidak turun tangan untuk mengusutnya.
Jika mau mundur lagi, ada kasus sepakbola "Unjuk Rasa" pada kompetisi Perserikatan musim 1993/1994. Kasus ini berawal dari tuduhan manajer Persebaya saat itu, H Agil H Ali terhadap kinerja wasit dan PSSI yang dipicu oleh kekalahan Persebaya dari PSIS di stadion Jatidiri Semarang.
Saat itu, Agil menuding kekalahan timnya dari PSIS akibat wasit yang memimpin pertandingan, Helmi Piliang, berat sebelah. Agil pun berniat untuk menyingkirkan PSIS Semarang, sekaligus ingin menunjukkan pada PSSI bahwa ada ketidakadilan yang diterima oleh Persebaya.
"Kemenangan PSIS tidak sportif. Maka layak kalau kami membalas dengan mengalah 0-5 pada Persema dan 0-4 pada PSIM," begitu komentar Agil.
Hasilnya, Persebaya memang kalah di Stadion Gelora 10 November, Surabaya, tetapi tidak sebesar itu. Persebaya kalah 1-3 dari Persema (30 Januari 1994) dan 2-3 dari PSIM (5 Februari 1994). Maksud hati ingin menyingkirkan PSIS lolos ke babak "8 Besar", apa daya Persiba Balikpapan yang jadi korban. Persiba Balikpapan pun menempati peringkat juru kunci dan tentu saja degradasi. Hasil dari sepakbola Unjuk Rasa tersebut, Agil terkena sanksi 1 tahun dan denda 500 ribu.
Apakah Agil dan Persebaya terkena tuduhan match fixing? Tidak! Meskipun sebelum kasus sepakbola "Unjuk Rasa" tersebut Persebaya juga pernah mengegerkan sepakbola Indonesia dengan apa yang kita kenal sebagai Sepakbola Gajah.
Terjadinya di kompetisi Divisi Utama Perserikatan musim 1987/1988. Demi menyingkirkan PSIS dan membalas dendam  akibat aksi "mengalah" yang PSIS lakukan saat melawan PSM Makassar pada penentuan babak 6 besar kompetisi Perserikatan musim 1985/1986, Persebaya merelakan gawangnya dijebol pemain Persipura sebanyak 12 gol tanpa balas. Sekali lagi, tak ada tuduhan pengaturan skor saat itu.
Tak hanya klub, timnas Indonesia pun pernah diguncang skandal sepakbola "Gajah". Tentunya kita masih ingat dengan aksi gol bunuh diri dari Mursyid Effendi saat timnas Indonesia bertanding melawan Thailand dalam babak penyisihan Piala Tiger (saat ini Piala AFF) tahun 1998.
Kedua tim sebenarnya sudah memastikan diri lolos ke semifinal. Hanya demi menghindari bertemu dengan tuan rumah Vietnam, yang saat itu sepakbolanya tengah on fire, baik timnas Indonesia maupun Thailand tidak berambisi untuk menang di laga terakhir tersebut.
Mursyid lalu menceploskan gol bunuh diri dengan harapan Indonesia kalah, yang kemudian direspon oleh Thailand dengan membiarkan barisan belakangnya "lengah" sehingga mudah dijebol gawangnya. Hasil akhir dimenangkan oleh Thailand dengan skor 3-2.
Melihat keganjilan pertandingan tersebut, FIFA akhirnya turun tangan. Indonesia dan Thailand mendapat sanksi dilarang mengikuti kompetisi internasional, sementara Mursyid Effendi dihukum seumur hidup tak boleh bermain di pentas internasional bersama timnas Indonesia.
Apakah FIFA saat itu menuduh ada match fixing? Tidak ada laporan dan bukti valid yang bisa mengesahkan tuduhan tersebut.
Bau busuk pengaturan skor memang mudah dicium. Tapi mencari sumber dan penyebab bau tersebut sangatlah sulit. Pengungkapan kasus pengaturan skor pertandingan sepakbola yang saat ini sudah berhasil dilakukan Satgas Anti Mafia Bola bisa menjadi pintu masuk untuk membersihkan sepakbola Indonesia dari pihak-pihak yang hanya ingin mengambil keuntungan pribadi. Namun, kunci keberhasilan itu terletak pada kerjasama dan komitmen yang kuat dari segenap stakeholder sepakbola, mulai dari suporter, pemain, pelatih, official, klub wasit, hingga federasi dan aparat berwenang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H