Jika mau mundur lagi, ada kasus sepakbola "Unjuk Rasa" pada kompetisi Perserikatan musim 1993/1994. Kasus ini berawal dari tuduhan manajer Persebaya saat itu, H Agil H Ali terhadap kinerja wasit dan PSSI yang dipicu oleh kekalahan Persebaya dari PSIS di stadion Jatidiri Semarang.
Saat itu, Agil menuding kekalahan timnya dari PSIS akibat wasit yang memimpin pertandingan, Helmi Piliang, berat sebelah. Agil pun berniat untuk menyingkirkan PSIS Semarang, sekaligus ingin menunjukkan pada PSSI bahwa ada ketidakadilan yang diterima oleh Persebaya.
"Kemenangan PSIS tidak sportif. Maka layak kalau kami membalas dengan mengalah 0-5 pada Persema dan 0-4 pada PSIM," begitu komentar Agil.
Hasilnya, Persebaya memang kalah di Stadion Gelora 10 November, Surabaya, tetapi tidak sebesar itu. Persebaya kalah 1-3 dari Persema (30 Januari 1994) dan 2-3 dari PSIM (5 Februari 1994). Maksud hati ingin menyingkirkan PSIS lolos ke babak "8 Besar", apa daya Persiba Balikpapan yang jadi korban. Persiba Balikpapan pun menempati peringkat juru kunci dan tentu saja degradasi. Hasil dari sepakbola Unjuk Rasa tersebut, Agil terkena sanksi 1 tahun dan denda 500 ribu.
Apakah Agil dan Persebaya terkena tuduhan match fixing? Tidak! Meskipun sebelum kasus sepakbola "Unjuk Rasa" tersebut Persebaya juga pernah mengegerkan sepakbola Indonesia dengan apa yang kita kenal sebagai Sepakbola Gajah.
Terjadinya di kompetisi Divisi Utama Perserikatan musim 1987/1988. Demi menyingkirkan PSIS dan membalas dendam  akibat aksi "mengalah" yang PSIS lakukan saat melawan PSM Makassar pada penentuan babak 6 besar kompetisi Perserikatan musim 1985/1986, Persebaya merelakan gawangnya dijebol pemain Persipura sebanyak 12 gol tanpa balas. Sekali lagi, tak ada tuduhan pengaturan skor saat itu.
Tak hanya klub, timnas Indonesia pun pernah diguncang skandal sepakbola "Gajah". Tentunya kita masih ingat dengan aksi gol bunuh diri dari Mursyid Effendi saat timnas Indonesia bertanding melawan Thailand dalam babak penyisihan Piala Tiger (saat ini Piala AFF) tahun 1998.
Kedua tim sebenarnya sudah memastikan diri lolos ke semifinal. Hanya demi menghindari bertemu dengan tuan rumah Vietnam, yang saat itu sepakbolanya tengah on fire, baik timnas Indonesia maupun Thailand tidak berambisi untuk menang di laga terakhir tersebut.
Mursyid lalu menceploskan gol bunuh diri dengan harapan Indonesia kalah, yang kemudian direspon oleh Thailand dengan membiarkan barisan belakangnya "lengah" sehingga mudah dijebol gawangnya. Hasil akhir dimenangkan oleh Thailand dengan skor 3-2.
Melihat keganjilan pertandingan tersebut, FIFA akhirnya turun tangan. Indonesia dan Thailand mendapat sanksi dilarang mengikuti kompetisi internasional, sementara Mursyid Effendi dihukum seumur hidup tak boleh bermain di pentas internasional bersama timnas Indonesia.
Apakah FIFA saat itu menuduh ada match fixing? Tidak ada laporan dan bukti valid yang bisa mengesahkan tuduhan tersebut.