Memiliki pembaca yang tepat lebih penting daripada mendapatkan ribuan pengikut
Ada yang bilang penulis itu bukan profesi atau pekerjaan, melainkan sebuah hobi. Sebagian yang lain mengatakan, penulis itu masuk kategori profesi dan jenis pekerjaan, karena merupakan turunan dari kata kerja "Menulis".
Saya tidak ingin memperdebatkan definisi yang tepat bagi kata penulis. Apakah itu profesi atau hobi, keduanya memiliki dasar argumentasi masing-masing. Itu sudah.
Tapi, ada satu pertanyaan yang selalu mengusik dan terngiang di kepala; Apakah saya benar-benar seorang penulis?
Bagi sebagian besar orang, yang bisa disebut penulis itu adalah mereka yang pernah menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku secara fisik. Benar tidak?
Jika menuruti anggapan tersebut, sepertinya saya belum layak menyematkan status sebagai penulis. Karena hingga detik ini belum ada satu buah buku yang saya terbitkan.
Meski begitu, ada pula yang berpendapat era digital sekarang ini memungkinkan munculnya profesi derivatif dari penulis; copywriter, content writer, blogger, scriptwriter dan lain sebagainya. Apapun medianya, yang penting seorang penulis itu adalah mereka yang menulis.
Secara rasional, saya juga sering mengingatkan diri sendiri bahwa terus menulis dan menerbitkan karya tulis menjadikan saya seorang penulis. Seandainya saja saya bisa begitu mudahnya untuk percaya pada pernyataan tersebut, yang bisa saya sederhanakan dalam kalimat; Saya menulis, karena itu saya adalah seorang penulis.
Anak TK pun mengerti akan hal ini. Tapi bagi saya, tidak sesederhana itu.
Meskipun setiap hari saya duduk di depan laptop, membuat konsep tulisan baru atau menyunting tulisan-tulisan lama. Tulisan-tulisan itu kemudian saya tayangkan di beberapa blog pribadi, atau blog keroyokan seperti Kompasiana.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah; apakah saya benar-benar seorang penulis jika tidak ada yang membaca karya tulis saya? Ini adalah pertanyaan yang mungkin pula menjadi sumber ketakutan utama dari para penulis pemula.
Bayangkan saat kamu berada di posisi seperti ini; Kamu adalah seseorang yang memiliki hasrat untuk menulis. Teknik penulisan yang kamu kuasai adalah evidence base, atau tulisan berbasis fakta ilmiah dengan gaya bahasa yang serius. Kamu memiliki minat pada satu ceruk topik tertentu. Misalnya tentang ekonomi global.
Kamu lalu menulis satu artikel dan menayangkannya di blog. Menurutmu topik ini menarik. Tapi lain halnya dengan para pembaca di luar sana. Mereka tidak menyukai tema-tema serius dan terlalu universal. Terlebih lagi disajikan dengan gaya bahasa yang relatif ilmiah.
Kamu tengok di statistik blog, tidak ada satupun pembaca yang mampir berkunjung. Ok, dengan berbesar hati kamu meyakinkan diri bahwa ini baru tulisan pertama. Berikutnya, kamu mulai rajin menulis, dua sampai tiga artikel setiap minggu. Semua dengan topik yang sama, dengan gaya bahasa yang sama pula.
Lima bulan berlalu, artikel-artikelmu tetap tidak bisa menarik minat pengunjung. Kurva statistik blog hanya menunjukkan garis datar yang lurus di titik nol. Kamu mulai merasa frustasi.
Lalu kamu pun mulai bertanya-tanya; Apa yang salah dengan tulisan atau blog saya? Apakah saya benar-benar seorang penulis? Untuk apa terus menulis jika tidak ada yang berminat untuk membacanya?
Nah, itu dia akhirnya kita sampai ke pertanyaan semula. Ini pula yang dulu pernah saya alami saat pertama kali menulis, dan dengan nekatnya menyematkan status sebagai penulis di profil bio.
Rasa frustasi dengan kondisi seperti yang saya ceritakan diatas sempat membuat saya berhenti menulis beberapa saat lamanya. Tapi sesuatu dalam diri saya memberontak. Sesuatu itu adalah passion, hasrat untuk terus menulis yang sepertinya begitu sulit untuk diabaikan begitu saja.
Sebelum kembali menulis, saya memutuskan untuk merancang strategi yang berbeda. Saya banyak membaca artikel-artikel tentang cara menulis yang baik. Saya berburu bahan-bahan teknik penulisan yang lebih populer, yang jauh dari gaya bahasa penulisan yang saya kuasai sebelumnya.
Beberapa diantaranya saya bocorkan sedikit disini:
- Sertakan kisah-kisah pribadi. Perjalanan atau pengalaman pribadi membantu kita untuk menjelaskan teori yang rumit sehingga lebih mudah diikuti.
- Bicara tentang konteks kehidupan sehari-hari. Kaitkan tema dengan konteks kehidupan sehari-hari yang bisa dihubungkan pada pembaca, bukan contoh hipotesis kompleks seperti yang ditemukan di buku teks.
- Mempertahankan nada informal. Kita hidup di dunia generasi yang berbahasa "semau gue". Sesuaikan gaya kita dengan kultur bahasa mereka, bukan memaksakan budaya kita. Kecuali kalau kita menulis untuk lingkup penulisan ilmiah yang ditujukan pada komunitas ilmiah tertentu.
Memang sulit, apalagi jika teknik pembelajaran tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang sudah mengakar dalam diri kita. Tapi saya percaya tak ada suatu hal yang tak bisa dipelajari, jika kita mau dan bersungguh-sungguh.
Secara perlahan, saya mulai menikmati gaya baru dari teknik penulisan yang saya lakukan. Â Tulisan-tulisan saya juga mulai menemukan pembaca yang tepat. Masih sedikit, tapi bagi saya, memiliki satu pembaca yang tepat lebih penting daripada mendapatkan ribuan pengikut.
Sejauh itu, hingga saat ini saya masih juga belum yakin kapan saya akan percaya bahwa saya seorang penulis. Saya harap  kepercayaan itu datang dari diri sendiri, dan bukan berdasarkan ukuran metrik luar yang memutuskannya.
Bagi saya, hidup itu seperti buku 1.000 halaman. Sesekali kita ingin berhenti di tengah jalan, tetapi kemudian kita sadar ternyata ada banyak hal yang layak untuk dinantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H