Kegagalan resolusi ini sebagian besar terletak pada kesalahan individu yang meremahkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuang kebiasaan jelek dan menggantinya dengan kebiasaan baru yang mendukung resolusi tersebut.
Sebuah penelitian menyatakan, setiap orang rata-rata membutuhkan waktu 66 hari untuk mengadopsi kebiasaan baru dan membuatnya menjadi otomatis.
Misalnya, bagi kaum hawa yang ingin diet dan menurunkan berat badan. Saat membuat resolusi berat badan mereka harus turun, tentunya mereka harus mengubah kebiasaan makan dan pola konsumsi.
Merujuk pada penelitian diatas, di hari-hari pertama resolusi itu dijalankan memang berhasil. Tapi, sebelum 66 hari, mereka akhirnya gagal, menyerah dengan berbagai godaan yang menerpa mereka. Ujung-ujungnya malah menyalahkan orang lain.
"Kamu sih, udah tahu aku lagi diet malah traktir segala."
Meremahkan waktu ini juga menjadi penyebab kita selalu menunda komitmen. Mentang-mentang namanya resolusi tahun baru, banyak yang beranggapan waktunya itu lama, satu tahun penuh.
"Ah, masih bulan Februari, masih banyak waktu untuk memenuhi resolusiku."
Itulah mengapa saya katakan, resolusi itu cara yang salah untuk mencapai tujuan yang kita harapkan.
("Kalau bukan resolusi, terus apa dong namanya? Kita kan juga ingin berubah menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya?")
Saya lebih suka menyebutnya Goals with Intentions, Tujuan dengan Niat. Tujuan itu orientasinya masa depan, sedangkan niat berakar pada masa kini. Karena tujuan ada di masa depan dan pada tingkat tertentu merupakan sebuah abstraksi, mereka lebih merupakan produk dari pikiran.
Niat, yang berakar pada pengalaman langsung kita saat ini, cenderung berasal dari hati. Mengapa kita harus membatasi diri pada tujuan yang didasarkan pada pikiran atau niat yang berpusat pada hati ketika kita dapat memiliki keduanya?