Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mengenal Sophie Hannah, Novelis yang Menghidupkan Kembali "Hercule Poirot"

12 Desember 2018   18:15 Diperbarui: 13 Desember 2018   20:50 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
novel Hercule Poirot The Monogram Murders (dok. Himam Miladi)

Sewaktu pertama kali melihat novel ini di rak buku Gramedia Bali, 2 tahun yang lalu, saya langsung tertarik sekaligus penasaran. Tertarik, karena ada nama Hercule Poirot di dalamnya. Dan penasaran, karena nama pengarangnya bukan Agatha Christie, si Ratu cerita misteri itu. Nama yang tertera di bagian bawah sampul buku berjudul "The Monogram Murders" ini adalah Sophie Hannah.

Siapa pula dia? Setahu saya, dan juga para pembaca serta penggemar novel Agatha Christie, Hercule Poirot sudah mati. Dalam novel berjudul "Tirai" yang diterbitkan pertama kali tahun 1975, Hercule Poirot mati setelah menyelesaikan salah satu misteri pembunuhan terberatnya.

Kematian salah satu detektif fiktif yang paling terkenal di dunia ini mengejutkan dunia nyata, dan dinilai sangat penting untuk dikabarkan sehingga surat kabar New York Times khusus membuat obituari di halaman depannya, "Hercule Poirot Is Dead". Inilah pertama kalinya sebuah karakter fiksi dalam novel ditandai dengan obituari khusus di surat kabar terkenal.

Maka, ketika saya menjumpai novel dengan mengambil karakter tokoh yang sudah mati, ditulis oleh penulis yang berbeda, rasa penasaran itu semakin tergugah. Tanpa berpikir panjang, saya pun membeli "The Monogram Murders".

Sebenarnya sudah terlambat juga saya menuliskan resensi dan perkenalan mengenai sosok Sophie Hannah. Novel dengan karakter Hercule Poirot yang dihidupkan kembali ini pertama kali terbit di Inggris tahun 2014 yang lalu. Saat membongkar koleksi bacaan di rumah dan menemukan buku ini kembali, baru terpikir oleh saya untuk membuat tulisan tentangnya.

Kesan pertama saat membaca buku ini adalah membingungkan. Penyebab utamanya adalah font huruf yang aneh, tidak seperti font yang digunakan pada buku-buku novel Hercule Poirot yang lainnya. Entah font huruf apa yang dipakai. Ini membuat saya merasa tidak nyaman saat membacanya.

bentuk font huruf buku The Monogram Murders yang memusingkan (dok. Himam Miladi)
bentuk font huruf buku The Monogram Murders yang memusingkan (dok. Himam Miladi)
Dari sisi penceritaan, saya juga masih belum bisa melepaskan diri dari cara Agatha Christie menuturkan kisah petualangan Hercule Poirot. Dengan gaya bahasa yang mudah dicerna, diselingi humor-humor satir yang ringan yang dimasukkan secara halus sehingga tidak mengurangi nuansa cerita yang ditangkap pembacanya.

Sementara gaya bercerita Sophie Hannah saya anggap agak membosankan. Saya tidak tahu apakah ini efek dari gaya bahasa si penterjemah atau memang bawaan dari Sophie Hannah sendiri.

Satu lagi yang yang cukup mengganggu dari gaya bercerita Sophie Hannah adalah penggunaan frasa Bahasa Prancis yang terkesan dipaksakan dan dibuat-buat. Hercule Poirot seolah sering "dipaksa" untuk mengucapkan "Mon ami", "Non", "Eh Bien", dan frasa Perancis lainnya.

Padahal Hercule Poirot-nya Agatha Christie nggak begitu-begitu amat. Bahasa campuran Inggris-Perancis yang dipakai Agatha Christie pada detektif Belgia kesayangannya terdengar begitu alami.

Oleh Sophie Hannah, novel "The Monogram Murders" mengambil latar tahun 1929. Hercule Poirot sendiri digambarkan masih berusia setengah baya, sedikit lebih muda daripada usianya yang digambarkan dalam "Tirai". Karena novel ini bukan kelanjutan dari Tirai, usia Poirot yang digambarkan masih belum tua tidak terlalu dipermasalahkan.

Cerita dimulai di sebuah kedai kopi di London di mana Poirot menawarkan bantuan kepada seorang wanita yang terlihat jelas sedang putus asa. Tetapi wanita itu, yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Jennie, mengatakan bahwa dia tidak dapat membantu. "Sudah terlambat," katanya pada Poirot. "Saya sudah mati." Saat dia melarikan diri, dia memohon bahwa jika dia ditemukan terbunuh, tidak ada siapapun yang harus mencari pembunuhnya.

Tetapi Jennie tidak mengenal Poirot yang indra penciuman kriminalnya sangat tajam. Poirot curiga sikap aneh dan misterius Jennie itu ada hubungannya dengan serangkaian pembunuhan aneh di Bloxham Hotel di London. Tiga mayat ditemukan di tiga kamar. Pada masing-masing korban ditemukan sebuah manset monogram di dalam mulutnya.

Novel ini mengambil sudut pandang narasi dari Inspektur Edward Catchpool, seorang detektif Scotland Yard yang menjadi teman satu apartemen Hercule Poirot. Sesekali Sophie Hannah menggunakan narasi orang ketiga, terutama saat menceritakan aktivitas Hercule Poirot tanpa kehadiran Edward Catchpool.

Secara keseluruhan, "The Monogram Murders" menurut saya terkesan hanya meminjam karakter Hercuel Poirot saja. Semua yang ada pada diri Poirot-nya Agatha Christie dibawa Sophie Hannah dalam dunia yang baru. Jauh berbeda dengan dunia Poirot yang asli, yang sudah dimatikan Agatha Christie dalam Tirai.

Memang, dalam menceritakan penyelesaian kasus misteri, Sophie Hannah mengajak pembacanya untuk berputar-putar dahulu. Menelusuri berbagai petunjuk-petunjuk palsu dengan perangkat plot ikonik Agatha Christie. Dan tak lupa monolog panjang dari Poirot untuk menjelaskan penyelesaian misteri. Narasi penuh warna dari Sophie Hannah setidaknya bisa membuat pembaca menebak-nebak si pembunuh sampai pada sebuah kesimpulan dan twist yang tidak terduga.

Serupa tapi tak sama. Poirot versi Agatha Christie jelas sekali berbeda dengan Poirot dalam gaya Sophie Hannah. Seperti yang dituliskan seorang pembaca di The Guardian, bahwa Poirot versi Hannah itu  "Aneh, tanpa kehidupan."

Memang tidak mudah untuk meniru keterampilan atau kesuksesan Agatha Christie. Buku-bukunya, dengan detektifnya yang menawan, plot berkelok-kelok, dan berbagai macam kriminal yang imajinatif, telah terjual sekitar 2 miliar eksemplar. Hal ini pun diakui sendiri oleh sang penulis yang sudah membangkitkan kembali detektif berkumis lebat ini.

Di luar itu, Hannah juga tidak ingin meniru gaya Agatha Christie. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, novelis bernama lengkap Sophie Hannah Philippa Gedge ini mengatakan, 

"Saya bertekad untuk tidak meniru gaya Agatha. Ketika seorang penulis mencoba untuk menyalin penulis lain, itu pasti gagal. Hanya Agatha Christie yang bisa menulis seperti Agatha Christie. Jadi yang saya lakukan adalah, saya menciptakan karakter baru, narator orang pertama, dan itu adalah narator yang tidak pernah ada dalam novel Christie. Jadi jika buku dan narator tampak sedikit berbeda dari novel-novel Agatha Christie, ada penjelasan mengapa. Itu terasa seperti cara yang masuk akal untuk mendekatinya."

Sebelum diizinkan pemegang hak cipta Agatha Christie untuk menghidupkan kembali Hercule Poirot, Sophie Hannah dikenal sebagai salah satu novelis Inggris terlaris. Buku-bukunya bertema thriller psikologis, termasuk "Little Face" dan "Kind of Cruel" (keduanya belum masuk ke Indonesia saya kira).  Dalam sebuah wawancara dengan Publishers Weekly, Hannah menggambarkan dirinya sebagai "pecandu seumur hidup Agatha Christie."

Hannah mulai menggemari novel-novel Agatha Christie sejak usia 12 tahun saat ayahnya memberinya sebuah novel Hercule Poirot. Sejak saat itu, Hannah mulai kecanduan dan sudah membaca semua karya Agatha Christie.

Ketika hendak mengerjakan reboot Hercule Poirot ini, Hannah mengaku membaca ulang novel-novel Hercule Poirot sebanyak 33 kali. Ini dilakukannya untuk bisa menyerap karakter Poirot dan menghidupkannya kembali.

Hannah menceritakan, dirinya lalu mengirim sebuah naskah plot cerita tentang petualangan baru Hercule Poirot. Orang-orang dari Agatha Christie Limited, pemegang hak cipta Hercule Poirot menyukai naskah plot tersebut dan meminta Hannah untuk mengirimkan garis besar plot cerita yang hendak ditulisnya. Setelah beberapa kali diskusi dan sumbang saran dari kedua belah pihak, pada tahun 2014 Hercule Poirot akhirnya hidup kembali. Dalam dunia baru versi Sophie Hannah melalui kasus "The Monogram Murders".

Sumber referensi:

1. Washington Post

2. New York Times

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun