Cerita dimulai di sebuah kedai kopi di London di mana Poirot menawarkan bantuan kepada seorang wanita yang terlihat jelas sedang putus asa. Tetapi wanita itu, yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Jennie, mengatakan bahwa dia tidak dapat membantu. "Sudah terlambat," katanya pada Poirot. "Saya sudah mati." Saat dia melarikan diri, dia memohon bahwa jika dia ditemukan terbunuh, tidak ada siapapun yang harus mencari pembunuhnya.
Tetapi Jennie tidak mengenal Poirot yang indra penciuman kriminalnya sangat tajam. Poirot curiga sikap aneh dan misterius Jennie itu ada hubungannya dengan serangkaian pembunuhan aneh di Bloxham Hotel di London. Tiga mayat ditemukan di tiga kamar. Pada masing-masing korban ditemukan sebuah manset monogram di dalam mulutnya.
Novel ini mengambil sudut pandang narasi dari Inspektur Edward Catchpool, seorang detektif Scotland Yard yang menjadi teman satu apartemen Hercule Poirot. Sesekali Sophie Hannah menggunakan narasi orang ketiga, terutama saat menceritakan aktivitas Hercule Poirot tanpa kehadiran Edward Catchpool.
Secara keseluruhan, "The Monogram Murders" menurut saya terkesan hanya meminjam karakter Hercuel Poirot saja. Semua yang ada pada diri Poirot-nya Agatha Christie dibawa Sophie Hannah dalam dunia yang baru. Jauh berbeda dengan dunia Poirot yang asli, yang sudah dimatikan Agatha Christie dalam Tirai.
Memang, dalam menceritakan penyelesaian kasus misteri, Sophie Hannah mengajak pembacanya untuk berputar-putar dahulu. Menelusuri berbagai petunjuk-petunjuk palsu dengan perangkat plot ikonik Agatha Christie. Dan tak lupa monolog panjang dari Poirot untuk menjelaskan penyelesaian misteri. Narasi penuh warna dari Sophie Hannah setidaknya bisa membuat pembaca menebak-nebak si pembunuh sampai pada sebuah kesimpulan dan twist yang tidak terduga.
Serupa tapi tak sama. Poirot versi Agatha Christie jelas sekali berbeda dengan Poirot dalam gaya Sophie Hannah. Seperti yang dituliskan seorang pembaca di The Guardian, bahwa Poirot versi Hannah itu  "Aneh, tanpa kehidupan."
Memang tidak mudah untuk meniru keterampilan atau kesuksesan Agatha Christie. Buku-bukunya, dengan detektifnya yang menawan, plot berkelok-kelok, dan berbagai macam kriminal yang imajinatif, telah terjual sekitar 2 miliar eksemplar. Hal ini pun diakui sendiri oleh sang penulis yang sudah membangkitkan kembali detektif berkumis lebat ini.
Di luar itu, Hannah juga tidak ingin meniru gaya Agatha Christie. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, novelis bernama lengkap Sophie Hannah Philippa Gedge ini mengatakan,Â
"Saya bertekad untuk tidak meniru gaya Agatha. Ketika seorang penulis mencoba untuk menyalin penulis lain, itu pasti gagal. Hanya Agatha Christie yang bisa menulis seperti Agatha Christie. Jadi yang saya lakukan adalah, saya menciptakan karakter baru, narator orang pertama, dan itu adalah narator yang tidak pernah ada dalam novel Christie. Jadi jika buku dan narator tampak sedikit berbeda dari novel-novel Agatha Christie, ada penjelasan mengapa. Itu terasa seperti cara yang masuk akal untuk mendekatinya."
Sebelum diizinkan pemegang hak cipta Agatha Christie untuk menghidupkan kembali Hercule Poirot, Sophie Hannah dikenal sebagai salah satu novelis Inggris terlaris. Buku-bukunya bertema thriller psikologis, termasuk "Little Face" dan "Kind of Cruel" (keduanya belum masuk ke Indonesia saya kira). Â Dalam sebuah wawancara dengan Publishers Weekly, Hannah menggambarkan dirinya sebagai "pecandu seumur hidup Agatha Christie."
Hannah mulai menggemari novel-novel Agatha Christie sejak usia 12 tahun saat ayahnya memberinya sebuah novel Hercule Poirot. Sejak saat itu, Hannah mulai kecanduan dan sudah membaca semua karya Agatha Christie.