Empat tahun sebelumnya, Carlyle telah menggunakan frasa itu dalam Revolusi Prancisnya: "A Fourth Estate, of Able Editors, springs up, increases and multiplies; irrepressible, incalculable." Carlyle melihat pers sebagai alat untuk kelahiran dan pertumbuhan demokrasi, menyebarkan fakta dan opini dan memicu revolusi melawan tirani.
Dalam demokrasi perwakilan, peran pers ada dua: keduanya menginformasikan warga dan membentuk umpan balik antara pemerintah dan pemilih. Pers membuat tindakan pemerintah diketahui publik, dan pemilih yang tidak menyetujui tren kebijakan saat ini dapat mengambil tindakan korektif pada pemilihan berikutnya.Â
Tanpa pers, putaran umpan balik rusak dan pemerintah tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat. Karena itu pers adalah yang paling penting dalam demokrasi perwakilan.
Protes Prabowo yang menyayangkan enggannya media mainstream meliput dan memberi porsi khusus pada Reuni Akbar 212 yang dihadiri banyak orang adalah hal yang wajar. Ini adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Sama halnya ketika Erick Thohir dan beberapa redaktur media mainstream mengatakan, diliput atau tidak, diberi porsi besar atau kecil, masing-masing media memiliki kebijakan redaksional sendiri-sendiri.
Sebagaimana pula yang anda teriakkan ketika memprotes tindakan "marah-marah" dari Prabowo Subianto, dengan mengatakan "Kami punya hak untuk menaikkan dan tidak menaikkan berita. Kami punya penilaian dan kami punya kebebasan." Ini adalah bagian dari demokrasi pula.
Kalian memang memiliki hak untuk meliput atau tidak sebuah peristiwa dan menjadikannya sebagai berita. Akan tetapi, setidaknya kalian bisa mengerti bahwa jurnalisme dan publik adalah satu kesatuan yang keduanya saling membutuhkan. Publik adalah sumber penghasilan utama dari media. Karena itu, secara umum tujuan jurnalisme adalah bertindak untuk kepentingan publik.
Ketika media asing meliput dan menaikkannya menjadi berita karena menganggapnya sebagai bentuk kepentingan publik, mengapa tindakan yang serupa tidak dilakukan media mainstream Indonesia? Padahal, pers kita dan pers di luar sana, di belahan dunia manapun itu sama.
Seek Truth and Report it! Carilah kebenaran dan laporkan! Ini adalah prinsip dasar dari kode etik jurnalistik. Apakah aksi Reuni Akbar 212 itu bukan sebuah fakta dan kebenaran?
Dalam teori identifikasi berita oleh Harcup and O'Neil (2001), peristiwa ini termasuk dalam sepuluh elemen yang dicari jurnalis karena mengandung nilai Relevansi: yakni cerita tentang isu, kelompok, dan negara yang dianggap relevan dengan audiens. Lantas mengapa harus ada pengabaian, atau yang kalian lebih suka menyebutnya dengan "pilihan"?
Cobalah tanya pada nurani anda masing-masing, apakah peristiwa semacam itu patut untuk diabaikan begitu saja? Sikap gotong royong antar peserta, kebersihan Monas yang dijaga, aksi yang berlangsung damai meski diikuti ribuan (menurut kalkulasi anda sendiri), apakah ini semua tidak menarik perhatian dan layak untuk dijadikan berita besar?
Setahu saya, orang awam yang hidup di luar dunia pers, para jurnalis berdiri diatas pondasi kejujuran dan independensi. Apakah anda berani jujur dan mengatakan peristiwa itu tidak menarik sama sekali dan cukup diberi porsi kecil saja? Apakah anda berani jujur dan mengatakan tidak ada tekanan apapun dari pemilik media terkait pengabaian dan pilihan redaksional tersebut?