Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menguak Praktik "Stealth Editing" pada Situs Berita Daring

8 Desember 2018   13:33 Diperbarui: 10 Desember 2018   13:00 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: funkykit.com

Apa itu "stealth editing"?

Hingga saat ini memang belum ada definisi resmi untuk mengartikan frasa tersebut. Namun secara substansial, menurut tulisan di wikipedia, 

"stealth editing" atau penyuntingan siluman terjadi ketika sumber daya online diubah tanpa catatan perubahan apa pun yang diawetkan. Istilah ini memiliki konotasi negatif, karena ini adalah teknik yang memungkinkan seorang penulis/jurnalis/editor untuk mencoba mengubah apa yang dia tuliskan secara retroaktif.

Skenario yang umum adalah seorang reporter memposting sebuah berita. Kemudian seorang atau beberapa pembaca yang mengkritik dan kemudian menulis artikel tanggapan bahwa berita itu salah atau ada kesalahan persepsi dari sisi reporter tersebut.

Reporter itu lalu menyunting artikel aslinya tanpa ada catatan apapun untuk mengidentifikasi dan menjelaskan perubahan tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian, artikel kritik dari pembaca tersebut dianggap hoaks atau memiliki tendensi khusus pada media dan reporter yang dimaksud. Ini karena publik tidak dapat mengetahui dan mengatakan bahwa artikel aslinya telah diubah.

Ketika media cetak berkuasa, penyuntingan siluman jauh lebih sulit daripada sekarang. Penerbit harus memburu salinan fisik media yang diterbitkan untuk membuat perubahan yang diinginkan. Memang tidak mudah, tapi tetap bisa dilakukan. Contoh klasik dari pengeditan siluman pada media cetak adalah sensor yang dilakukan Stalin atas catatan fotografi hingga Stalin dijuluki "Master of Ignoring People".

Di era media online sekarang, pengeditan siluman jauh lebih mudah dan dapat dilakukan secara instan. Bahkan media besar dan kredibel pun pernah dan beberapa kali melakukan penyuntingan siluman.

Misalnya, tahun lalu Washington Post diam-diam menulis ulang artikel tentang peretas Rusia. Mereka kemudian mengubah detil yang dilaporkan secara radikal hanya dalam beberapa jam pertama setelah publikasi ketika mereka sadar bahwa versi aslinya mengandung kesalahan faktual yang serius. 

Perubahan itu disadari oleh beberapa pembaca yang melihat adanya perbedaan isi artikel sebelum dan sesudah diedit tapi tidak ada catatan editor yang menjelaskan maksud perubahannya. Setelah mendapat kritikan dan menjadi perhatian publik, Washington Post lalu menambahkan catatan editor pada artikel tersebut.

Beberapa media mainstream di Indonesia juga kerap melakukan penyuntingan siluman. Hal ini tak lepas dari terjadinya bias jurnalisme dan bias partisan dari media tersebut. 

Saya mengambil contoh yang terbaru, berkaitan dengan dua pidato yang disampaikan Prabowo Subianto. Dalam pidato di acara Indonesia Economic Forum pada 21 November 2018 lalu, Prabowo menyajikan data tentang Buta Huruf Fungsional.

Banyak media mainstream yang kemudian keliru menangkap maksud dari buta huruf fungsional, dan menganggapnya sama dengan buta huruf biasa. Maka, judul dan isi berita pun akhirnya menjadi berbeda dan terkesan memojokkan data yang diungkapkan Prabowo tersebut.

Ketika ada penjelasan, baik itu oleh pihak Prabowo sendiri maupun beberapa blogger dan netizen tentang apa itu buta huruf fungsional, beberapa media mainstream kemudian mengubah artikel mereka sebelumnya. Selebihnya, membiarkan saja tanpa melakukan perubahan apapun, seperti di situs Katadata.

Meskipun sudah diubah, beberapa media mainstream itu tidak memberi catatan editorial untuk menjelaskan alasan perubahan tersebut. Bilapun ada catatan editorial, itu tidak menjelaskan secara menyeluruh mengapa artikel mereka diubah. 

Seperti media detik, dalam catatan editorial perubahannya, mereka hanya menuliskan "Judul berita diubah pukul 15.45 WIB agar sesuai dengan kutipan asli tanpa diterjemahkan ke Bahasa Indonesia".

Contoh kedua yang terbaru adalah terkait pernyataan Prabowo tentang pemindahan kedutaan besar Australia dari Tel Aviv ke Yerussalem. Media mainstream, dalam dan luar negeri menyambar begitu saja pernyataan Prabowo dalam bingkai berita yang menyudutkan. Setelah mendapat penjelasan resmi, barulah media kemudian mengubah judul dan memberi catatan editorial yang menjelaskan alasan perubahan tersebut.

Situs BBC misalnya, dari judul awal "Prabowo: Pemindahan Kedutaan Australia ke Yerussalem bukan masalah untuk Indonesia" menjadi "Pemindahan Kedutaan ke Yerusalem, Prabowo Hormati Kedaulatan Australia". Catatan editorial dibawahnya tertulis "Laporan ini dimutakhirkan pada Jumat (23/11) pukul 10:00, dengan menambahkan pula tanggapan dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, dan mengganti judulnya, demi akurasi."

Sementara Republika mengganti judul "Prabowo: Pemindahan Kedutaan Australia Bukan Masalah Bagi RI" menjadi "Prabowo: Indonesia Harus Hormati Kedaulatan Australia". 

Catatan editorial di bagian bawah artikel berbunyi: Judul berita ini mengalami koreksi dari sebelumnya "Prabowo: Pemindahan Kedubes Australia Bukan Masalah Bagi RI". Judul ini tidak tepat. Prabowo mengaitkan pernyataan ini pada hubungan angkatan laut antara Australia dan Papua Nugini bukan pada masalah Palestina. Republika mengutip penuh berita ini dari media Australia, Brisbane Times, yang rupanya keliru melakukan translasi. Brisbane Times mengakui kesalahan translasi atas pernyataan Prabowo ini dan sudah mengganti judul dan isi beritanya. Republika sudah melakukan klarifikasi kepada pihak Prabowo sejak berita ini diturunkan pada 22 November.

Langkah yang "curang", dan biasanya ini juga dilakukan oleh beberapa media online lain adalah menghilangkan artikel tersebut. Seperti yang dilakukan Viva News. Artikel yang berjudul "Prabowo Tak Masalah Kedutaan Australia Pindah ke Yerusalem" kini hilang, hanya menampilkan halaman kosong berkode 404. Meski begitu, jejak digitalnya masih bisa dilihat seperti pada laman Facebook Viva News.

Tak hanya judul atau isi berita yang biasanya mengalami penyuntingan siluman. Gambar ilustrasi yang tidak sesuai, dan kemudian menuai kontroversi publik juga kerap disunting. Seperti yang terjadi pada Tempo. Di laman video Tempo, termuat video berita tentang lima istri salah satu korban kecelakaan pesawat Lion Air yang berebut uang warisan. 

Gambar ilustrasi yang ditampilkan Tempo sebelumnya adalah seorang perempuan berhijab. Padahal korban dan istri-istrinya adalah warga non muslim. Setelah mendapat kritik tajam dari warganet, gambar ilustrasi itu lalu diubah dengan tambahan catatan editorial berbunyi "Catatan: Gambar ilustrasi dalam video telah diubah pada Sabtu, 10 November 2018 pukul 09.19 WIB karena ada kesalahan dalam pemilihan foto. Mohon maaf atas kekeliruan ini.

Adanya suntingan siluman memang bisa dideteksi dengan membandingkan konten saat ini dari halaman web terhadap cache Google dari halaman yang sama. Dalam beberapa kasus, pengeditan siluman konten online dapat diidentifikasi secara manual dengan memanfaatkan layanan pengarsipan web.

Media dan jurnalis memang bukan malaikat yang bisa lepas dari kesalahan. Namun, mengingat fungsi media sebagai sumber berita, yang diharapkan bisa dipercaya oleh masyarakat untuk mencari informasi yang faktual, kesalahan-kesalahan pemuatan berita harus dihindari seminimal mungkin.

Seandainya ada penyuntingan, publik pun berhak untuk tahu alasan dibalik penyuntingan tersebut. Jangan sampai penyuntingan tersebut dilakukan tanpa ada catatan apapun sehingga masyarakat menjadi terkecoh dan menganggap berita yang sebelumnya mereka baca adalah kesalahan dari mereka sendiri, padahal itu sudah disunting.

Praktik penyuntingan yang baik, jika tidak ingin dianggap sebagai "stealth editing" diantaranya adalah dengan melakukan hal-hal berikut:

  • Judul berita/halaman terdapat pemberitahuan tentang pembaruan yang ditambahkan, bersama dengan deskripsi singkat tentang apa yang telah berubah yang bisa diletakkan di bagian bawah berita.
  • Jika perubahan itu terjadi pada isi berita, penghapusan dapat dilakukan dengan cara memberi tanda coret pada kalimat yang salah, sementara penambahan dan pembaruannya dibuat dalam warna yang berbeda.
  • Menyimpan Log perubahan yang dapat diakses publik untuk setiap penyuntingan yang sudah dilakukan.

Langkah ini secara eksplisit akan memberi tahu pembaca bahwa suntingan telah dibuat.

Pada akhirnya, aspek "siluman" dari perubahan ini adalah kurangnya transparansi dalam konten online. Hal ini akan merongrong kemampuan publik untuk mempercayai publikasi berita yang dilakukan media dimana publik mengandalkan konten mereka untuk menjadi akurat, dan praktik editorial mereka menjadi terbuka dan jujur. 

Jika publikasi berita online tidak bertanggung jawab atas konten mereka, mereka akhirnya kurang termotivasi untuk mempertahankan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Karena kesalahan mereka dapat disembunyikan, terhapus dari pandangan publik dalam hitungan detik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun