Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Ibu Tua di Bangsal Kelas Tiga

21 November 2018   21:39 Diperbarui: 21 November 2018   21:40 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@oldskoolphotography)

Di salah satu ruang perawatan VIP Utama di sebuah rumah sakit swasta, bergerombol orang-orang hendak masuk. Tidak terlihat jelas nama pasien waktu aku melewati kerumunan orang banyak itu. Mungkin, pasien yang sedang dirawat itu orang penting. Sehingga kerabat, handai taulan, klien, atau siapa pun yang merasa kenal dan dekat dengan pasien itu memerlukan diri untuk datang.

Seorang petugas keamanan lantas datang, menertibkan orang banyak yang hendak menjenguk orang penting yang sakit tersebut. Diaturlah para penjenguk itu, berbaris satu banjar memanjang. Persis seperti orang hendak antri sembako. Bedanya, jika orang yang antri sembako berbaris dengan tangan hampa, ditangan orang-orang yang sedang antri menjenguk itu, tampak beraneka macam buah tangan bagi si pasien.

Aku melanjutkan langkahku menyusuri lorong rumah sakit. Berbelok ke kiri, melewati taman bunga yang gelap. Hanya terdengar gemerisik angin dan dedaunan. Ruangan yang kutuju terletak jauh di belakang. Berada dekat dengan gudang dan kamar mayat.

Cuma ada dua orang perawat yang sedang berjaga. Aku mengangguk dan memberi senyum singkat saat melewati mereka. Kubuka pintu ruangan, dan bau karbol langsung menyergap hidungku. Sepi, cuma ada satu-dua suara dari keluarga pasien yang ikut berjaga, menunggu keluarganya yang sedang dirawat. Beberapa pasang kaki terlihat menjulur melewati batas tirai yang menutupi bangsal.

Kulihat istriku tengah tertidur di bangsal nomor 12, yang berada di pojok ruangan. Ada 12 bangsal di ruang rawat inap kelas 3 ini yang diletakkan berhadap-hadapan. Tiap bangsal dilengkapi satu tempat tidur, dan satu meja kecil dengan laci untuk menyimpan barang-barang dari keluarga pasien. Masing-masing bangsal dipisahkan oleh tirai kain berwarna putih. Panjangnya hanya bisa menutupi sebatas betis kaki orang dewasa.

Kusentuh pelan lengan istriku. Perlahan matanya membuka. Wajahnya masih terlihat pucat. Sudah tiga hari ia berbaring disini. Kata dokter ia terkena gejala demam berdarah.

"Bagaimana rasanya?" tanyaku dengan suara pelan.

"Masih lemas. Tadi sudah diperiksa sama dokter. Trombositnya masih turun terus," jawab istriku.

"Kubawakan kolak kacang hijau seperti yang kamu pesan tadi. Yang satu bungkus ini buat siapa?" kataku sambil membongkar kantong plastik berisi dua bungkus kolak kacang hijau.

"Tolong kasihkan ke Ibu yang disebelah. Kasihan mas, sampai sekarang belum ada yang menengoknya," kata istriku.

Di hari pertama istriku menempati ruang rawat inap kelas 3 ini, kami mendapati seorang perempuan tua di bangsal sebelah, tepat di samping bangsal istriku.

Tak ada yang menemaninya, sebagaimana bangsal-bangsal disekitarnya yang ramai oleh celoteh percakapan keluarga pasien yang sedang menjenguk.

"Keluarganya mana bu?" tanyaku saat menjenguknya.
"Belum datang lagi, nak. Sejak mereka mengantar saya untuk dirawat disini tiga hari yang lalu. Saya cuma punya satu anak perempuan. Dia tidak bisa menemani dan menunggu karena harus merawat suaminya yang juga lagi sakit. Cucu saya masih kecil. Yah, cuma mereka itu satu-satunya keluarga saya....".

Perempuan tua itu lalu menoleh kesekitarnya, ke tempat pasien lain yang ramai dijenguk keluarga-keluarga mereka. Lalu, matanya menerawang melintasi tembok ruang, mungkin berpikir dan berharap, kapan putri satu-satunya bisa menemani dan menjaganya di bangsal rumah sakit ini.

Teringat akan perempuan tua yang sendirian itu, aku lalu menjenguk ke bangsal yang ditempatinya. Tak ada siapapun disana. Tempat tidurnya rapi, seolah tak pernah ditempati.

Kuberitahu hal ini pada istriku.

"Kosong, gak ada orangnya."

"Masak sih mas? Siang tadi aku masih sempat bercakap-cakap dengan dia loh?" kata istriku tak percaya.

"Iya, beneran kosong. Nih lihat sendiri."

Aku lalu menyibakkan tirai yang membatasi bangsal kami.

"Tuh lihat, tempat tidurnya sudah rapi."

"Apa dia sudah pulang ya Mas? Dijemput sama keluarganya?"

"Entahlah. Coba nanti aku tanyakan ke perawat yang jaga. Lebih baik kamu makan dulu kolak kacang hijaunya. Mumpung masih hangat."

Aku lalu mengangsurkan mangkuk yang sudah berisi kolak kacang hijau ke istriku. Kemudian, aku pun beranjak keluar, bermaksud menanyakan keadaan perempuan tua di bangsal sebelah yang kini kosong.

Di meja perawat, kudapati satu perawat yang masih berjaga tengah mengetikkan sesuatu di komputer yang ada di depannya. Usianya masih muda. Tak kulihat perawat yang satunya lagi.

"Permisi Mbak, mau tanya sebentar."

"Ada apa pak?" jawab Mbak perawat dengan nada sabar. Sedikit senyum terselip di bibirnya.

"Ibu yang di bangsal nomor 11 sudah pulang ya?"

"Bangsal 11?" tanya perawat dengan heran.

"Iya Mbak. Ibu tua. Sejak dibawa ke rumah sakit ini katanya belum dijenguk lagi sama putrinya. Makanya istri saya tadi minta dibawakan kolak kacang hijau buat Ibu itu," jawabku menjelaskan.

Perawat itu masih memandang wajahku. Raut mukanya memperlihatkan rasa heran yang sangat. Seolah ingin mendapat penjelasan lagi dari pertanyaan yang kusampaikan padanya.

"Maaf Pak, setahu saya tak ada yang dirawat di bangsal nomor 11 tiga hari ini."

Giliran aku yang menatapnya dengan heran dan tak percaya.

"Masak sih Mbak? Lha wong kata istri saya tadi siang masih sempat ngobrol dengannya loh," kataku dengan sedikit ngeyel.

"Sebentar. Bapak bilang istri bapak sempat ngobrol dengan pasien Ibu tua di bangsal 11?" tanya perawat. Wajahnya memandang tak percaya pada apa yang aku katakan.

"Iya. Saya sendiri juga sempat ngobrol dengannya waktu istri saya baru masuk kesini, tiga hari yang lalu."

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasakan hawa dingin menyergap tubuhku. Perawat di depanku menoleh ke kanan dan ke kiri. Di wajahnya kulihat rasa ketakutan.

"Tapi pak, Ibu tua yang bapak maksud itu sudah meninggal dunia. Tepat tiga hari yang lalu, sewaktu istri bapak masuk untuk dirawat di bangsal sebelahnya...", kata perawat dengan perlahan. Suaranya membisik pelan, mendesir, membuat bulu kudukku sontak merinding.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun