Polemik tentang Peraturan Daerah (Perda) Syariah kembali mencuat. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie dalam pidatonya mengatakan, partainya menolak keberadaan Perda Syariah yang diterapkan beberapa daerah.
"PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindak intoleransi di negeri ini," kata Grace Natalie di ICE BSD Hall 3A, Tangerang, Minggu (11/11), dikutip dari detik.com.
"Partai ini tidak akan pernah mendukung perda Injil atau perda syariah, tidak boleh lagi ada penutupan rumah ibadah secara paksa," sambungnya.
Belakangan, Grace mengklarifikasi isi pidatonya yang menuai kecaman beberapa pihak tersebut. Menurut Grace, ada pihak yang menyalahartikan pidatonya soal Perda Syariah.
Grace menjelaskan maksud dari pidatonya yang menyinggung Perda Syariah adalah kesetaraan semua agama di depan hukum dan peraturan pemerintah. Kesetaraan itu, sambung Grace, adalah yang dijamin konstitusi dan Pancasila.
"Esensi dari pidato itu, kami kembali ke konstitusi bahwa hak semua warga negara punya hak menjalankan ajaran agama di mana pun mereka berada dan itu sudah sesuai konstitusi kita," ucap Grace.
Memang benar, seperti yang dikatakan Grace Natalie, semua warga negara punya hak untuk menjalankan ibadah atau ajaran agamanya. Hal ini dijamin dengan begitu jelasnya oleh UUD 1945. Tak perlu kiranya Grace mengulang kembali pelajaran tingkat Sekolah Dasar ini.
Yang dipermasalahkan adalah, apakah Perda Syariah itu menghalangi atau menghilangkan hak ibadah warga negara lain? Inilah yang patut dicermati dan dipahami lebih lanjut oleh Grace dan PSI.
Istilah Perda Syariah sebenarnya tidak tepat, karena hal ini seolah merujuk pada satu agama tertentu, yakni Islam. Padahal, ada beberapa daerah lain yang juga menerapkan peraturan daerah berbasis agama di luar Islam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sekjen PDIP Hasto Krisyanto, "Buat kami memang tidak ada namanya Perda Syariah, yang ada peraturan daerah kabupaten mana, peraturan daerah kota mana, peraturan daerah provinsi mana, yang ada ya seperti itu. Semua harus diturunkan dari hukum konstitusi kita," kata Hasto di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/11/2018).
Satu-satunya daerah yang menerapkan peraturan daerah berdasarkan asas Islam secara menyeluruh hanyalah provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di luar Aceh, daerah-daerah lain hanya menerapkan perda berdasarkan atau bernuansa hukum agama mayoritas di daerah tersebut. Itu pun hanya pada beberapa peraturan atau sektor hukum tertentu.
Seperti Perda Provinsi Sumatera Barat nomor 3 tahun 2007 tentang Pendidikan Al Qur'an, Perda Provinsi Gorontalo nomor 10 tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat, Perda Kabupaten Ciamis nomor 12 tahun 2002 tentang Pemberantasan Pelacuran, Perda Kota Palembang nomor 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran, dan Perda Kabupaten Serang nomor 5 tahun 2006 tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Adanya perda-perda yang bernuansa Islam seperti yang disebutkan di atas didasarkan pada fakta bahwa agama Islam adalah mayoritas di daerah tersebut. Wajar apabila kemudian pemerintah daerah setempat membuat peraturan daerah yang bertujuan untuk melindungi dan mengakomodasi kebutuhan warga mayoritas tersebut. Namun, hal ini semestinya tidak bisa dipandang dari sudut sempit bahwa perda semacam itu menghalangi hak warga yang beragama minoritas.
Di luar perda-perda bernuansa agama Islam, ada beberapa daerah yang juga menerapkan perda berdasarkan agama mayoritas yang dipeluk warga setempat. Seperti Perda Provinsi Bali nomor 5 tahun 2005 yang bernuansa agama Hindu Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Perda tersebut berisi tentang aturan tinggi bangunan gedung yang tidak boleh melebihi tinggi Pura yang ada di Bali.
Begitu pula dengan Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Sejak tahun 2006 pemerintah daerah Manokwari membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Injil tentang Pembinaan Mental dan Spiritual, sesuai dengan mayoritas agama penduduk setempat yakni Kristen. Meskipun hingga saat ini Raperda tersebut belum juga disahkan lantaran masih menuai polemik internal.
Apakah perda-perda bernuansa agama itu menghalangi hak ibadah warga lain yang berbeda agama? Tidak. Apa yang dikemukakan PSI perihal penolakan mereka terhadap perda berbasis agama ini hanya karena mereka memandang dari satu sisi yang sempit.
Grace menilai Perda bernuansa agama diskriminatif hanya didasarkan pada data yang pernah dirilis Komisi Nasional (Komnas) Anti-Kekerasan terhadap Perempuan bahwa ada 421 peraturan daerah di Indonesia, masuk kategori diskriminatif. Dari 421 perda tersebut, 333 perda hanya ditujukan pada kaum perempuan.
"Itu artinya hampir 80 persen menyasar kaum perempuan, membatasi perempuan beraktivitas dengan menerapkan jam malam, dengan siapa mereka bisa beraktivitas kemudian larangan-larangan atau aturan terkait dengan berpakaian dan sebagainya," urainya seperti dikutip dari Kompas.
Dari apa yang diungkapkannya tersebut, Grace sepertinya tidak bisa melihat fakta bahwa perda yang dianggapnya diskriminatif tersebut justru dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam sebagai agama mayoritas di daerah tersebut. Pandangan seperti itu terbentuk akibat sugesti bahwa syariat Islam menghalangi kebebasan aktivitas kaum perempuan.
Grace juga tidak bisa melihat fakta bahwa ada beberapa perda agama lain yang juga memiliki implikasi pembatasan aktivitas warga minoritas. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat proses perayaan Nyepi di Bali.Â
Pada saat itu, semua warga, baik yang beragama Hindu atau bukan, diwajibkan taat pada peraturan daerah setempat bahwa tidak diperbolehkan beraktivitas di luar rumah selama Nyepi berlangsung. Apakah hal ini diskriminatif? Tidak, kecuali kita memandangnya dari sudut sempit.
Yang terjadi adalah, warga non Hindu menghormati peraturan tersebut. Inilah yang dinamakan kearifan lokal. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Jika warga non Hindu bisa menghargai perda bernuansa agama Hindu, memperlakukannya sebagai bentuk toleransi antar umat beragama, mengapa umat non Islam tidak bisa melihat perda syariah pada sudut pandang yang sama?
Faktanya, kita hidup di negara Indonesia, dimana Islam menjadi agama mayoritas. Dalam Falsafah Pancasila, spirit hukumnya adalah hukum yang mengandung dimensi Ketuhanan atau tidak bertentangan dengan ajaran agama, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjaga persatuan dan kesatuan, berwatak demokratis dan berintikan keadilan sosial.
Kedudukan hukum Islam yang kuat, yang kemudian diadopsi dalam perda-perda lain bukan sepenuhnya lantaran Islam itu agama mayoritas. Namun lebih didasarkan adanya hubungan antara negara yang menganut paham Negara Hukum dengan Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H