Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran Rasa Takut dari Penari Jalanan

12 November 2018   08:30 Diperbarui: 12 November 2018   08:29 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto ilustrasi oleh Fienca Amelia Putri (photographyfap.blogspot.com)

Siang hari, di kawasan pertokoan Bululawang, Malang. Sayup-sayup, terdengar suara musik nyanyian lagu India. Semakin lama semakin mendekat ke tempat saya beraktifitas. Tak lama kemudian, muncul dua orang pemuda di depan pintu toko yang saya singgahi. Orang pertama memegang pemutar musik beserta speaker besarnya, yang satunya lagi berjoget. Dandanan keduanya seronok dan menor. Keduanya masih muda, sepantaran saya mungkin.

Saat itu juga, hati saya terasa ada yang mengetuk dengan keras. Sebabnya, ketika saya melihat senyum pemuda yang berjoget. Senyum itu seolah menggambarkan ketulusan dan keikhlasan dirinya mencari rizki dengan jalan seperti ini, jadi pengamen/penari jalanan. Saya sering melihat pengamen, atau kadang-kadang juga penari jaran kepang di kampung. Tapi, hampir semuanya tidak menampilkan senyum keikhlasan seperti yang saya lihat hari ini pada pemuda yang sedang berjoget di depan saya ini.

Tanpa terasa, mata saya berkaca-kaca. Allah ya kariim.....betapa Engkau memberi pelajaran kehidupan seperti ini.

Saya jadi ingat tulisan Emha Ainun Najib yang berjudul Syair Tukang Bakso. Dalam tulisannya tersebut, Emha menyindir sebagian besar dari kita yang takut menjalani pekerjaan rendahan.

Diceritakan oleh Emha, jamaah sebuah pengajian tiba-tiba merasa terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya. Ketika itu, Pak Ustadz sedang menerangkan makna khauf (rasa takut). Karena merasa terganggu, jamaah pengajian yang berisi anak-anak muda intelektual itu bermaksud mengusir si tukang baso. Namun sebelum mereka bertindak, Pak Ustadz menegur dengan keras,

"Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah (takut kepada Allah) selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Tamsil dari Emha tersebut memang benar adanya. Sebagian besar dari kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah; takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri atau anak, dan ketakutan duniawi lainnya.

Berapa banyak dari kita yang menjalani pekerjaan dengan senang hati? Berapa banyak dari kita yang setiap melakukan aktivitas kerja tersenyum ikhlas dan tulus? Menyadari bahwa itu adalah jalan rezeki yang sudah dipilihkan untuk kita?

Ketika saya memutuskan resign dari pekerjaan, banyak teman yang menyayangkannya. Bahkan keluarga saya sendiri juga meminta saya untuk mempertimbangkan lagi, apakah itu adalah keputusan yang tepat.

Harus diakui, ada rasa takut, sebagaimana yang digambarkan Emha dalam tulisannya tersebut. Takut karena rasa gengsi, malu jika suatu saat bertemu teman lama yang sudah sukses kemudian bertanya apa pekerjaan saya saat ini.

Toh akhirnya saya memberanikan diri juga. Lambat laun, rasa takut itu hilang. Berganti kepasrahan pada Yang Maha Pemberi Rezeki. Dalam sebuah hadist, Rasulallah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

"Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah ALLAH) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya."
( HR. Ibnu Hibban No. 1084).

Pelajaran dari pengamen dan penari jalanan hari itu hingga saat ini benar-benar sangat membekas. Senyum ikhlas dari sang pengamen dan penari jalanan itu seakan benar-benar terpatri dalam hati saya. Bagai sebuah obat ketika hati ini mengeluh perihal rizki, ingatan akan senyum pengamen itu langsung muncul ke permukaan, mengingatkan saya untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah saya punya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun