"Saya pikir media sosial membuatnya sangat sulit, karena banyak fitur media sosial dirancang untuk mendorong pemikiran non-rasional," kata Rand.
Menurutnya, siapa pun yang telah duduk dan menatap hampa di telepon mereka sambil menarikan jari jemari mereka untuk menyegarkan umpan Twitter, atau menutup Instagram hanya untuk membukanya kembali secara refleks, telah mengalami secara langsung apa artinya menjelajah di otak mati seperti itu. Pengaturan default seperti push notifikasi, pemutaran otomatis video, umpan berita yang algoritmik --- semuanya memenuhi kecenderungan manusia untuk mengonsumsi hal-hal secara pasif alih-alih aktif, untuk dihanyutkan oleh momentum alih-alih menolaknya.
Bagaimana cara melatih daya pikir analitis kita supaya tidak mudah termakan berita hoaks?Â
Rand menyarankan untuk mengkonfrontasikan berita palsu yang dianut oleh orang lain tidak harus dengan mencercanya sebagai palsu/hoaks. Tetapi kemukakan gagasan lain, opini lain secara santai tentang kebenaran dari berita palsu itu diluar konteks partisan yang kita anut.
Di saat berita-berita palsu lebih cepat menyebar daripada fakta sebenarnya, mempertanyakan atau meragukan setiap berita yang kita terima merupakan upaya untuk melatih daya pikir kita tetap kritis. Benarkah berita itu? Apakah ada sumber lain? Apakah sumber awalnya bisa dipercaya?
Jika kita tidak malas berpikir, tidak malas mencari informasi pembanding, tidak terburu-buru membuat opini dan menyebarkan kabar yang masih simpang siur, tentunya kita tidak akan mudah termakan berita hoaks. Jika kita tidak malas, sefanatik bagaimanapun kita terhadap seorang figur atau kelompok, daya pikir analitis kita mestinya mampu menghadang masuknya informasi-informasi hoaks.
Referensi: Lazy, not biased!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H