Kasus diperiksanya Habib Rizieq Shihab oleh aparat keamanan Arab Saudi pada 5 Nopember 2018 memunculkan banyak berita simpang siur, yang salah satunya pasti hoaks. Dalam berita yang beredar di media massa Indonesia, HRS ditangkap dan diperiksi polisi Arab Saudi karena dinding rumahnya ditempeli bendera tauhid.
Keterangan lengkap mengenai kasus tersebut juga dikeluarkan oleh Duta Besar Ri untuk Arab Saudi Agus Maftuh. Dalam rilis resminya menyatakan, kediaman HRS didatangi aparat keamanan karena adanya laporan mengenai tentang pemasangan bendera hitam yang mengarah pada ciri-ciri gerakan ekstrimis. Untuk keperluan pemeriksaan, HRS ditahan untuk sementara. HRS akhirnya dikeluarkan dari tahanan dengan jaminan.
Sementara itu, HRS merasa dirinya sebagai korban fitnah dari sebuah operasi intelejen. Dalam pernyataan melalui video yang kemudian dikutip oleh media massa, HRS merasa dirinya tidak pernah ditangkap dan ditahan. Melainkan dirinya setuju dan sukarela ikut dengan pihak keamanan Arab Saudi untuk menjelaskan peristiwa terpasangnya bendera hitam yang mirip dengan miliki ISIS.
Salah satu hal yang paling menonjol dari pemberitaan kasus tersebut adalah tentang bendera. Di media massa, foto yang beredar adalah bendera tauhid. Sementara Dubes Agus Miftah hanya menyebut bendera hitam yang mengarah pada ciri-ciri gerakan ekstrimis. Begitu pula dengan HRS yang mengatakan bahwa bendera yang terpasang adalah bendera mirip dengan yang digunakan ISIS.
Kita tahu ada perbedaan bentuk penulisan yang jelas antara bendera tauhid yang banyak beredar dengan bendera ISIS, meski keduanya sama-sama bertuliskan kalimat tauhid. Lalu, mengapa yang viral di media massa Indonesia adalah foto bendera tauhid? Inilah yang kemudian menjadi pembenaran klaim dari beberapa pihak bahwa bahkan bendera tauhid pun dilarang di Arab Saudi, negeri penjaga kiblat umat Islam. Mana yang benar dan mana yang hoaks?
Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang kasus HRS di Arab Saudi tersebut. Ini hanyalah contoh terbaru dari misinformasi yang mengguncang ekosistem media kita. Setiap ada berita besar yang heboh, selalu diwarnai dengan munculnya berita palsu atau hoaks. Bahkan penyebaran berita palsu kadang lebih cepat dan lebih luas daripada berita yang sah dan faktual.
Fakta ini setidaknya cukup untuk membuat kita bertanya-tanya, mengapa banyak orang mudah termakan berita hoaks?
Menurut David Rand, ilmuwan perilaku di MIT yang mempelajari berita palsu, penyebabnya adalah karena kita malas berpikir!Â
"Itu hanya kemalasan mental," katanya.
Dalam kajiannya yang paling baru, yang baru saja diterbitkan dalam Journal of Applied Research in Memory and Cognition, Rand menemukan bahwa kepercayaan pada berita palsu tidak hanya terkait dengan berkurangnya pemikiran analitis, tetapi juga fanatisme/kultus individu, Â delusionalitas, dogmatisme, dan fundamentalisme agama.
Meski begitu, semua faktor diatas yang menunjukkan kerentanan terhadap kepercayaan pada berita palsu lebih didorong oleh pemikiran malas daripada oleh bias partisan. Sayangnya, kita hidup dengan dikelilingi oleh media sosial yang turut mendorong kemalasan berpikir kita.
"Saya pikir media sosial membuatnya sangat sulit, karena banyak fitur media sosial dirancang untuk mendorong pemikiran non-rasional," kata Rand.
Menurutnya, siapa pun yang telah duduk dan menatap hampa di telepon mereka sambil menarikan jari jemari mereka untuk menyegarkan umpan Twitter, atau menutup Instagram hanya untuk membukanya kembali secara refleks, telah mengalami secara langsung apa artinya menjelajah di otak mati seperti itu. Pengaturan default seperti push notifikasi, pemutaran otomatis video, umpan berita yang algoritmik --- semuanya memenuhi kecenderungan manusia untuk mengonsumsi hal-hal secara pasif alih-alih aktif, untuk dihanyutkan oleh momentum alih-alih menolaknya.
Bagaimana cara melatih daya pikir analitis kita supaya tidak mudah termakan berita hoaks?Â
Rand menyarankan untuk mengkonfrontasikan berita palsu yang dianut oleh orang lain tidak harus dengan mencercanya sebagai palsu/hoaks. Tetapi kemukakan gagasan lain, opini lain secara santai tentang kebenaran dari berita palsu itu diluar konteks partisan yang kita anut.
Di saat berita-berita palsu lebih cepat menyebar daripada fakta sebenarnya, mempertanyakan atau meragukan setiap berita yang kita terima merupakan upaya untuk melatih daya pikir kita tetap kritis. Benarkah berita itu? Apakah ada sumber lain? Apakah sumber awalnya bisa dipercaya?
Jika kita tidak malas berpikir, tidak malas mencari informasi pembanding, tidak terburu-buru membuat opini dan menyebarkan kabar yang masih simpang siur, tentunya kita tidak akan mudah termakan berita hoaks. Jika kita tidak malas, sefanatik bagaimanapun kita terhadap seorang figur atau kelompok, daya pikir analitis kita mestinya mampu menghadang masuknya informasi-informasi hoaks.
Referensi: Lazy, not biased!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H