Karena itu, harus ada alternatif lain untuk bisa mendapatkan pemasukan daerah dari sektor pariwisata. Dan yang bisa digarap pemerintah Kota Malang adalah City Tourism. Sebagai kota penghubung dari dua daerah pariwisata, konsep City Tourism layak untuk dikembangkan lebih jauh.
Urban Tourism dan City Heritage sebagai potensi wisata andalan
Menurut UNWTO (World Tourism Organization), City Tourism mengacu pada Urban Tourism, pariwisata perkotaan sebagai perjalanan yang ditempuh oleh wisatawan ke kota atau tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Durasi perjalanan ini biasanya pendek (satu sampai tiga hari) karena itu dapat dikatakan bahwa Urban Tourism terkait erat dengan pasar pariwisata jangka pendek (Tourism Vision 2020, UNWTO 2002).
Wisatawan datang ke kota-kota besar karena adanya keinginan untuk merasakan dan melihat keragaman yang ada di kota tersebut. Dalam hal ini, sebuah kota merupakan tempat percampuran dari budaya nasional, seni, musik, sastra dan tentu saja arsitektur megah dan desain urban. Itu adalah konsentrasi, variasi dan kualitas dari kegiatan dan atribut urban tourism ... yang menciptakan daya tarik mereka dan menempatkan kota-kota di peta pariwisata (Karskl, 1990 dalam UNWTO, Global Report on City Tourism, 2012).
Dengan status geografi sebagai kota penghubung dan status sosial sebagai kota urban, Kota Malang sudah memiliki prasyarat untuk mengembangkan City Tourism, lebih khususnya Urban Tourism. Dan salah satu kekuatan Urban Tourism yang dimiliki Kota Malang adalah kekayaan heritage. Inilah yang kemudian dijadikan kerangka kerja Walikota Malang untuk mewujudkan Kota Malang sebagai Kota Bermartabat.
Kekayaan heritage di Kota Malang terbagi dalam dua periode, yakni periode kerajaan dan periode kolonial. Pada masa sebelum kolonial masuk, daerah Malang Raya adalah pusat dari beberapa kerajaan di pulau Jawa. Seperti Tumapel, Singosari hingga Kanjuruhan.
Pada masa kolonial, Malang juga tumbuh menjadi salah satu kota penting bagi pemerintah Hindia Belanda. Mengingat di jaman itu, Malang merupakan salah satu penghasil utama komoditas perkebunan seperti kopi dan tebu (van Schaik, 1996).
Bicara tentang heritage kota Malang era kolonial, kita kembali lagi kepada nama Thomas Karsten. Sebagai perancang tata kota Malang di era kolonial, Karsten meletakkan pondasi dasar Urban Tourism bagi Kota Malang.
Bagi Karsten yang terpenting dalam pembangunan kota adalah Totalbeeld yang merupakan suatu kesan umum dari kota sebagai suatu kesatuan dengan berbagai golongan penduduk, ekonomi, kultur, dan social yang hidup bersama dengan penuh keserasian (Christalina, 2010).
Sebelum Karsten masuk, pola pemukiman kota Malang didasarkan pada ras sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan pemerintah Hindia Belanda. Karena itu kita bisa menjumpai kawasan pemukiman khusus orang-orang Cina di kawasan Pecinan (daerah pasar besar), pemukiman orang Arab di Kampung Arab, pemukiman orang pribumi di sekitar alun-alun (Kasin, Temenggungan, Talun) dan pemukiman orang-orang Eropa di daerah sekitar Alun-alun bunder seperti Klojen.
Pembagian rumah berdasarkan ras ini tidak diikuti oleh Karsten. Zonering dari tipe rumah dan rumah tinggal berdasarkan kelas sosial merupakan ciri dari perencanaan kota Karsten. Karena itu, ketika Malang diperluas oleh Karsten dalam Bouwplan I-VIII, muncullah kawasan Ijen untuk orang-orang kaya Eropa, kawasan Rampal Claket dan Lowokwaru untuk orang Eropa kelas menengah dan kawasan  Sukun untuk orang-orang peranakan/indo (Handinoto, 1996).