Dalam acara Diskusi Panel yang diselenggarakan Bank Indonesia bersama Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia cabang Malang Selasa (16/10/2018) kemarin, Walikota Malang Drs. H. Sutiaji menyampaikan presentasi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Mengambil judul The Future of Malang, Sutiaji memaparkan konsep dan kerangka kerja pemerintah kota malang dalam mewujudkan Kota Malang sebagai kota bermartabat.
Ada 6 kerangka kerja yang menjadi fokus pemerintahan baru kota Malang dibawah pimpinan Sutiaji. Yakni Malang City Heritage, Malang 4.0, Malang Creative, Malang Halal, Malang Service dan Malang Nyaman.
Secara umum, keenam kerangka kerja tersebut bisa dibagi dalam dua sektor, yakni sektor pariwisata yang terdiri dari Malang City Heritage, Malang Halal dan Malang Creative. Sementara sisanya masuk dalam sektor pemerintahan dan layanan publik.
Sebagai warga kota Malang, saya sepenuhnya mendukung dan berharap masa depan Kota Malang sebagaimana yang diimpikan melalui kerangka kerja itu bisa terwujud. Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana usaha pemerintah Kota Malang mewujudkan mimpi tersebut?
Dari keenam kerangka kerja Masa Depan Kota Malang tersebut, saya menyoroti dua kerangka kerja yang masuk dalam sektor pariwisata, yakni Malang City Heritage dan Malang Halal. Karena bagaimanapun juga, sektor pariwisata masih menjadi andalan banyak daerah untuk menambah pendapatan.
Pada sektor pariwisata, Kota Malang memang tidak seberuntung dua kota/kabupaten tetangganya, yakni Kota Batu dan Kabupaten Malang. Berada di tengah kedua wilayah tersebut, Kota Malang praktis hanya sekedar menjadi kota penghubung. Ibarat air yang mengisi gelas, Kota Malang hanya kebagian sisa tumpahan, sementara porsi terbesarnya ditampung oleh Kota Batu dan Kabupaten Malang.
Dengan Kota Batu yang mengandalkan pariwisata buatan/amusement park dan Kabupaten Malang yang mengandalkan pariwisata alam, maka Kota Malang, berdasarkan letak geografisnya bisa mengandalkan pariwisata MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition). Selain itu, Kota Malang juga bisa mengembangkan potensi City Tourism.
Potensi dan Kendala wisata MICE di Kota Malang.
Khusus untuk pariwisata MICE, ada kendala tersendiri untuk bisa mengembangkan potensinya secara maksimal, yang berupa skala luas ruang pertemuan, jaringan transportasi dan kepadatan populasi. Dari semenjak kota Malang dirancang tata kotanya oleh Thomas Karsten mulai tahun 1929, hingga saat ini Kota Malang bisa dibilang tidak banyak mengalami perubahan dalam sistem jaringan transportasinya.
Jaringan jalan-jalan di kota Malang nyaris sama dengan keadaan kota ini 79 tahun yang lalu. Penambahan jalan-jalan baru lebih banyak dilakukan di daerah-daerah pinggiran. Sementara jalan-jalan protokol dan pengubung di tengah kota tidak mengalami perubahan. Jika pun ada, itu hanya berupa penambahan jalan layang di beberapa titik keramaian saja.
Dengan kondisi ini, ditambah dengan kepadatan populasi rumah-rumah penduduk di sekitar jaringan jalan raya membuat investor tidak bisa membangun hotel yang bisa mendukung pariwisata MICE. Hotel-hotel di Kota Malang tidak lagi memiliki ruang lebih untuk dijadikan tempat MICE yang bisa menampung tamu hingga 1000 orang sekaligus, belum termasuk lahan parkirnya. Begitu pula dengan ruang publik, tidak ada yang memiliki luas tempat yang lebih besar. Beruntung Kota Malang masih mempertahakan Lapangan Rampal. Karena hanya di tempat inilah acara/event-event besar masih bisa dilakukan, selain di Stadion Gajayana.
Karena itu, harus ada alternatif lain untuk bisa mendapatkan pemasukan daerah dari sektor pariwisata. Dan yang bisa digarap pemerintah Kota Malang adalah City Tourism. Sebagai kota penghubung dari dua daerah pariwisata, konsep City Tourism layak untuk dikembangkan lebih jauh.
Urban Tourism dan City Heritage sebagai potensi wisata andalan
Menurut UNWTO (World Tourism Organization), City Tourism mengacu pada Urban Tourism, pariwisata perkotaan sebagai perjalanan yang ditempuh oleh wisatawan ke kota atau tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Durasi perjalanan ini biasanya pendek (satu sampai tiga hari) karena itu dapat dikatakan bahwa Urban Tourism terkait erat dengan pasar pariwisata jangka pendek (Tourism Vision 2020, UNWTO 2002).
Wisatawan datang ke kota-kota besar karena adanya keinginan untuk merasakan dan melihat keragaman yang ada di kota tersebut. Dalam hal ini, sebuah kota merupakan tempat percampuran dari budaya nasional, seni, musik, sastra dan tentu saja arsitektur megah dan desain urban. Itu adalah konsentrasi, variasi dan kualitas dari kegiatan dan atribut urban tourism ... yang menciptakan daya tarik mereka dan menempatkan kota-kota di peta pariwisata (Karskl, 1990 dalam UNWTO, Global Report on City Tourism, 2012).
Dengan status geografi sebagai kota penghubung dan status sosial sebagai kota urban, Kota Malang sudah memiliki prasyarat untuk mengembangkan City Tourism, lebih khususnya Urban Tourism. Dan salah satu kekuatan Urban Tourism yang dimiliki Kota Malang adalah kekayaan heritage. Inilah yang kemudian dijadikan kerangka kerja Walikota Malang untuk mewujudkan Kota Malang sebagai Kota Bermartabat.
Kekayaan heritage di Kota Malang terbagi dalam dua periode, yakni periode kerajaan dan periode kolonial. Pada masa sebelum kolonial masuk, daerah Malang Raya adalah pusat dari beberapa kerajaan di pulau Jawa. Seperti Tumapel, Singosari hingga Kanjuruhan.
Pada masa kolonial, Malang juga tumbuh menjadi salah satu kota penting bagi pemerintah Hindia Belanda. Mengingat di jaman itu, Malang merupakan salah satu penghasil utama komoditas perkebunan seperti kopi dan tebu (van Schaik, 1996).
Bicara tentang heritage kota Malang era kolonial, kita kembali lagi kepada nama Thomas Karsten. Sebagai perancang tata kota Malang di era kolonial, Karsten meletakkan pondasi dasar Urban Tourism bagi Kota Malang.
Bagi Karsten yang terpenting dalam pembangunan kota adalah Totalbeeld yang merupakan suatu kesan umum dari kota sebagai suatu kesatuan dengan berbagai golongan penduduk, ekonomi, kultur, dan social yang hidup bersama dengan penuh keserasian (Christalina, 2010).
Sebelum Karsten masuk, pola pemukiman kota Malang didasarkan pada ras sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan pemerintah Hindia Belanda. Karena itu kita bisa menjumpai kawasan pemukiman khusus orang-orang Cina di kawasan Pecinan (daerah pasar besar), pemukiman orang Arab di Kampung Arab, pemukiman orang pribumi di sekitar alun-alun (Kasin, Temenggungan, Talun) dan pemukiman orang-orang Eropa di daerah sekitar Alun-alun bunder seperti Klojen.
Pembagian rumah berdasarkan ras ini tidak diikuti oleh Karsten. Zonering dari tipe rumah dan rumah tinggal berdasarkan kelas sosial merupakan ciri dari perencanaan kota Karsten. Karena itu, ketika Malang diperluas oleh Karsten dalam Bouwplan I-VIII, muncullah kawasan Ijen untuk orang-orang kaya Eropa, kawasan Rampal Claket dan Lowokwaru untuk orang Eropa kelas menengah dan kawasan  Sukun untuk orang-orang peranakan/indo (Handinoto, 1996).
Perlu kerja keras dan sinergi dari semua pemangku kepentingan. Untuk membranding Kota Malang sebagai City Heritage, brand value yang dibawa harus lahir dari nilai yang mengakar di masyarakat sehingga strategi branding Malang City Heritage bisa sejalan dengan kehidupan warganya.
Salah satu kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah Kota Malang untuk mewujudkan hal ini adalah dengan menerbitkan Perda nomor 1 tahun 2018 tentang bangunan Cagar Budaya. Dengan adanya perda ini, beberapa bangunan atau situs yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya menjadi lebih terlindungi. Meski begitu, harus ada upaya lebih keras, salah satunya adalah sosialisasi yang massiv  tentang pentingnya menjaga kawasan dan bangunan-bangunan heritage lainnya supaya nilai ini mengakar kuat di masyarakat.
Malang Halal sebagai pusat Halal Tourism
Begitu pula dengan konsep kerangka kerja Malang Halal, yang berambisi menjadikan Kota Malang sebagai pusat wisata kuliner halal. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Kota Malang, Indra Setiyadi dalam kesempatan diskusi panel tersebut, belum tampak upaya dan tindak lanjut yang lebih jauh dari pemerintah kota Malang untuk mewujudkan ambisi tersebut. Salah satunya adalah sertifikasi halal pada rumah-rumah makan/restoran serta produk-produk kuliner lokal.
Lebih jauh lagi, harus ada standarisasi yang jelas untuk semua hal yang sudah disebutkan diatas. Hal ini terkait dengan strategi pemasaran pariwisata. Segmentasi pasar mana yang hendak dibidik Kota Malang? Apakah cukup puas membidik wisatawan lokal saja atau hendak menggiring wisatawan mancanegara?
Harus ada Standar dan Strategi Branding Pariwisata yang jelasÂ
Mengenai hal ini, pemerintah Kota Malang bisa mencontoh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, yang dalam acara yang sama memaparkan beberapa poin keberhasilan mereka mengubah pariwisata Banyuwangi ke standar pariwisata internasional. Secara singkat, pemkab Banyuwangi menerapkan standar pariwisata yang tinggi seperti pembatasan investasi hotel bintang 2 kebawah, pembatasan minimarket modern dan strategi penjualan pariwisata yang melibatkan kontribusi penduduk setempat.
Pemkab Banyuwangi sepertinya memahami penuh faktor psikologi wisatawan, dimana wisatawan asing menghendaki experience by nature saat mereka memilih destinasi wisata. Dengan melibatkan penduduk setempat dan menata produk wisatanya secara alami, pemkab Banyuwangi mampu meraih berkah dari limpahan wisatawan mancanegara dari Bali yang sebelumnya lebih memilih pulau Lombok sebagai tempat wisata alternatif.
Sekali lagi, perlu upaya dan kerja keras dari jajaran pemerintah Kota Malang dan sinergi serta kontribusi masyarakat untuk bisa mewujudkan mimpi masa depan Kota Malang di sektor pariwisata tersebut. Jangan sampai pemerintah Kota Malang hanya puas dengan tagline dan peraturan pokok saja tanpa upaya eksplorasi makna lebih jauh yang kemudian diterapkan dalam perilaku serta karakter kota dan warganya.
***
Daftar Pustaka:
Handinoto, 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Petra, Surabaya.
Christalina, Ana, 2010. Karsten Dalam Perencanaan Kota dan Pemukiman di Kota Malang. Jurnal Nalars volume 9.
Schaik, A., Van., 1996. Malang Beeld van een stad, Asia Maior, Nederland.
UNWTO, 2012. Global Report on City Tourism. AM Reports volume Six.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H