Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Satu, Dua, Jari Pak Menteri pun Bermasalah

18 Oktober 2018   22:27 Diperbarui: 18 Oktober 2018   22:32 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar diambil dari bali.tribunnews.com)

Perkara simbolisme jari pun menjadi perdebatan nasional. Mau bagaimana lagi, menjelang pemilu 2019, setiap tindak-tanduk lawan politik selalu mengundang komentar. Tujuanya cuma satu, menjadikannya kelemahan yang bisa dibaca oleh publik.

Kali ini, urusan pose foto dan simbolisme jari menuai perdebatan panas. Semua berawal dari sesi foto bersama Menko Maritim Luhut B Panjaitan, Menkeu Sri Mulyani dengan beberapa pejabat dari IMF dan World Bank.

Sesi foto bersama itu terekam dan kemudian menyebar luas. Ketika bersiap untuk berfoto, Managing Director IMF Christine Lagarde berpose dengan mengacungkan kedua jarinya, telunjuk dan jari tengah. Sedangkan Luhut Binsar Pandjaitan tampak mengacungkan ke-10 jarinya. Namun setelah melihat ke arah Christine Lagarde, Luhut seketika mengganti pose jarinya dengan satu jari.

Melihat hal tersebut, tiba-tiba saja Luhut Binsar Pandjaitan membisikkan Christine Lagarde untuk meminta mengikuti posenya. Setelah mendapat bisikan, Christine Lagarde kemudian mengganti pose jarinya menjadi satu jari.

Yang menjadi viral dan kemudian dipermasalahkan oleh pihak oposisi adalah bisikan dari Luhut dan Sri Mulyani yang ternyata bisa didengar karena mikrofon di depan para pejabat tersebut lupa dimatikan. Saat membisiki Christine Lagarde, Luhut mengatakan, 

"No, No, Not two, not two (jangan dua)."

Setelah sesi foto selesai, video rekaman juga masih memperdengarkan bisikan Sri Mulyani pada Christine Lagarde yang menjelaskan arti simbolisme pose satu jari dan dua jari.

"Two is for Prabowo, one is for Jokowi (dua untuk Prabowo dan satu untuk Jokowi)."

Tentu saja rekaman video yang sudah tersebar luas itu membuat kubu oposisi meradang. Mereka menganggap Menko Maritim dan Menkeu memanfaatkan forum internasional untuk melakukan kampanye. Karena itu, Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan insiden satu-dua jari tersebut kepada Bawaslu untuk ditindaklanjuti.

Luhut sendiri menganggap apa yang dilakukannya bukan kampanye. Dilansir dari tayangan TVOne, Luhut menjelaskan bahwa pose satu jarinya itu ia maksudkan untuk menjelaskan kepada pimpinan IMF bahwa Indonesia itu satu. Karena sebelumnya, Luhut mengaku telah mengatakan kepada Christine Lagarde mengenai simbol kesatuan Indonesia itu.
"Oo, itu sih, kan saya bilang Indonesia nomor satu. Kan dia yang bilang, jadi saya bilang begini (sambil menunjukkan pose satu jari)," ujar Luhut.

Benar atau tidaknya pernyataan Luhut tersebut, publik tidak mengetahui dengan pasti. Pasalnya, apa yang dikatakan Luhut bahwa ia menjelaskan maksud simbol satu jari adalah Indonesia nomor satu tidak terdengar dalam rekaman video yang beredar. Yang ada hanya perkataan Luhut "No, No, Not Two, Not Two" saja.

Apalagi jika dikaitkan dengan bisikan Sri Mulyani pada Christine Lagarde setelah sesi foto selesai. Seperti yang terdengar dalam rekaman, Sri Mulyani menjelaskan arti simbol pose dua jari merujuk pada Prabowo, dan satu jari untuk Jokowi.

Wajar saja, meski sudah mengelak dan memberikan alasan, banyak pihak yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan Luhut bahwa ia tidak sedang berkampanye. Karena memang publik tidak mendapat bukti nyata, sebagaimana bukti yang sudah mereka peroleh lewat rekaman video sesi foto.

Menjelang masa kampanye umum dan tahun pilpres 2019 nanti, seyogyanya pejabat publik, apalagi sekelas menteri, harus lebih berhati-hati dalam setiap sikap dan tindakan mereka di depan umum. Mengutip pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, pejabat negara sekelas menteri, petinggi parpol, hingga kandidat Capres - Cawapres harus memahami apabila Indonesia tengah memasuki masa kampanye di Pilpres 2019. Di mana setiap langkahnya diperhatikan.

Mungkin insiden tersebut tidak disengaja, dan sekedar keceplosan saja. Meski begitu, mengingat tensi politik di tanah air selalu memanas menjelang masa kampanye dan pemilihan, setiap pejabat publik harus mampu menahan diri.

Karena setiap insiden apapun yang terjadi, apalagi jika memiliki muatan dan tendensi memihak pada salah satu calon, hal ini akan berujung pada kegaduhan publik. Kampanye damai yang selama ini kita inginkan pun seolah menjadi percuma. Masyarakat diminta untuk merespon kampanye dengan damai, tapi pejabat pemerintah sendiri membuat permasalahan yang semestinya bisa dihindari.  

sumber berita: satu, dua, tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun