Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menguak Praktik Murah Paket Wisata Murah Tiongkok-Bali

16 Oktober 2018   22:22 Diperbarui: 17 Oktober 2018   11:19 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: jakarta post/shutterstock

Jadinya, wisatawan tidak bisa bebas berbelanja di toko yang diinginkannya sendiri. Dari toko inilah travel agent ini mendapatkan komisi, yang besarnya bervariasi, tergantung yang bisa ditawarkan oleh toko-toko tersebut.

Praktek perang komisi antar artshop atau toko oleh-oleh sudah lama terjadi di Bali. 10 tahun yang lalu, toko oleh-oleh yang terkenal cuma ada 2, kalau tidak Erlangga, ya Joger. Wisatawan juga bisa berbelanja oleh-oleh di pasar-pasar seni semisal Kuta, Guwang atau Sukawati.

Sementara keberadaan artshop terlokalisasi dengan baik. Daerah Mertanadi, misalnya, dikenal sebagai kawasan artshop khusus mebel dan kerajinan kayu. Sementara daerah Celuk dikenal sebagai kawasan toko seni khusus kerajinan perak.

Namun, situasi ini berubah semenjak pemerintah setempat mempermudah ijin mendirikan artshop dan toko oleh-oleh. Toko kerajinan dan oleh-oleh semakin menjamur, tidak lagi terlokalisir.

Hal ini mengakibatkan berlakunya hukum rimba hingga terjadilah perang komisi, bukan perang harga. Siapa yang bisa memberi komisi besar pada travel agent atau travel guide, merekalah yang akan bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan antar artshop dan toko oleh-oleh.

Komisi yang diberikan juga lumayan besar. Untuk wisatawan domestik, kisarannya bisa mencapai 12-30% dari total belanja wisawatan di toko tersebut. Sementara untuk wisatawan mancanegara, ada artshop dan toko oleh-oleh yang bahkan berani memberi komisi hingga 60%. Tak heran, keberadaan artshop dan toko oleh-oleh seakan timbul tenggelam. Satu tutup, dua hingga tiga lagi yang baru buka.

Tapi, bukankah itu tidak merugikan pemerintah? Bukankah semakin banyak wisatawan yang masuk maka makin besar pula pendapatan daerah yang didapat?

Iya, kalau wisatawan itu banyak menghabiskan waktu liburannya di tempat-tempat wisata. Masalahnya, "Selama lima hari ini, hanya satu hari mereka menjalani tour ke Objek Wisata di Bali. Dulunya Tanah Lot, namun ketika harga naik hanya diajak ke Uluwatu karena lebih murah," ungkap Meilan lagi.

Tak hanya itu, saat mereka berbelanja di artshop milik pengusaha Tiongkok pun, transaksinya tidak menggunakan mata uang rupiah. Diduga pembayarannya juga dengan wechat ( pola Tiongkok) dengan sistem barcode. "Jadi transaksinya berputar saja, datang ke Bali dari Tiongkok, belanja ke Toko Tiongkok, kemudian sistem pembayaran masih ala Tiongkok," kata Meilan.

Selain itu, barang-barang yang dijual di artshop-artshop milik pengusaha Tiongkok itu bukan murni barang-barang seni atau hasil kerajinan penduduk lokal. Melainkan barang-barang impor (dari Tiongkok) seperti latex hingga kain-kain sutra.

Saya sendiri mendapati hal ini tatkala masih bertugas di Bali, sekitar tahun 2012-2016. Saat itu banyak berdiri artshop-artshop di kawasan Sunset Road hingga By Pass Ngurah Rai. Papan namanya tertulis artshop, tapi barang yang dijual di dalamnya adalah latex atau barang-barang lain yang bukan hasil kerajinan lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun