Maka, hukuman yang diberikan pada Persib Bandung sudah tepat. Bukan karena insiden ini menjadi viral dan menjadi bahan pembicaraan nasional. Yang tampak adalah PSSI menjadikan insiden tersebut sebagai titik balik bagi mereka untuk mulai bertindak tegas tanpa toleransi apapun. Inilah yang kita butuhkan sepenuhnya.
Jika gaung perlawanan itu tetap dilanjutkan, maka hal ini akan dicontoh oleh suporter lain. Setiap kali klub dihukum, suporter akan melawan. Tidak akan ada habisnya dan pada akhirnya akan membentuk sebuah lingkaran yang tidak menghasilkan solusi apapun bagi perbaikan sepakbola Indonesia.
Kembali pada kasus dihukumnya Arema FC, ini juga menjadi keputusan yang paling tepat, meskipun boleh dibilang sangat terlambat. Sebelum kasus kericuhan saat pertandingan melawan Persebaya kemarin, suporter Arema FC berkali-kali bertindak rasis, yang ditujukan pada suporter Persebaya (Bonek). Setiap kali mereka bertanding, siapapun lawannya, selalu terdengar chant/nyanyian rasis yang berisi provokasi untuk melakukan kekerasan pada Bonek.
Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitu pula dengan nyanyian rasis atau aksi anarkis yang dilakukan suporter. Mereka tidak akan bertindak jika tidak ada yang memprovokasi. Karena itu, sudah sepatutnya pula provokator, oknum suporter yang memprovokasi suporter lainnya harus dihukum berat. Larangan masuk ke stadion seumur hidup, bagi Yuli Sumpil dan Fandy sudah benar dan tepat pula.
Dua hukuman tegas dari PSSI ini setidaknya bisa dijadikan pelajaran bagi klub dan suporter lainnya. Dua hukuman tegas ini juga menjadi bukti dari angin perubahan yang dibawa PSSI. Jika ingin sepakbola Indonesia menjadi lebih baik dan berprestasi, mari kita ubah budaya kekerasan dan anarkis yang selama ini identik dengan suporter sepakbola. Dan itu bisa dimulai dengan menghargai setiap keputusan tegas yang diberikan PSSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H