PSSI mulai tegas. Setelah menghukum Persib Bandung dengan larangan bertanding di pulau Jawa, dan menghukum suporternya tidak boleh menyaksikan semua pertandingan Liga 1 hingga akhir musim, palu hukum komisi disiplin PSSI kini mengarah ke klub Arema FC.
Sebagai buntut dari kericuhan yang dilakukan suporter Arema saat pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di stadion Kanjuruhan Malang (6/10/2018), Komisi Disiplin PSSI menghukum Arema FC berupa pertandingan tanpa penonton sampai akhir musim karena adanya beberapa pelanggaran saat pertandingan.
Mengutip dari situs PSSI, Beberapa pelanggaran yang dimaksud, yakni pengeroyokan yang dilakukan suporter Arema FC terhadap suporter Persebaya Surabaya, intimidasi yang dilakukan oleh suporter Arema FC dengan cara mendekati pemain Persebaya Surabaya.
Atas pelanggaran ini, Arema FC diberi sanksi larangan menggelar pertandingan tanpa penonton pada laga home dan suporter mereka dilarang memberikan dukungan juga pada saat laga away sampai akhir musim kompetisi 2018.
Pelanggaran lainnya, yakni penyalaan flare dan pelemparan botol yang dilakukan suporter Arema FC. Atas pelanggaran ini, Arema didenda Rp. 100.000.000.
Selain kepada klub, Komite Disiplin juga menghukum dua suporter Arema FC, Yuli Sumpil dan Fandy karena memprovokasi penonton lain dengan cara turun ke lapangan. Keduanya dihukum tidak boleh masuk stadion di wilayah Republik Indonesia seumur hidup.
Sikap tegas PSSI ini patut kita apresiasi sepenuhnya. Seperti yang saya tulis sebelumnya, hukuman tegas PSSI pada klub Persib Bandung bisa jadi sebuah titik balik bagi PSSI untuk bertindak tegas tanpa ada toleransi kepada pihak manapun. Sikap tegas ini diperlukan mengingat sepakbola Indonesia sudah dalam kondisi darurat anarkis.
Sudah banyak kejadian anarkis, keributan antar suporter dan kekerasan terhadap suporter lawan, maupun pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama pertandingan sepakbola di Indonesia. Keributan dan pelanggaran ini bahkan sampai harus memakan korban jiwa. Kita tentunya tidak ingin sepakbola Indonesia menjadi komplek pemakaman bagi jiwa-jiwa yang tak bersalah.
Karena itu, butuh ketegasan yang mutlak dari PSSI selaku pemegang kekuasaan tertinggi sepakbola Indonesia. Karena itu pula, ketika Persib Bandung dijatuhi hukuman (yang menurut suporternya sangat berat dan tidak layak diberikan), saya mendukung sepenuhnya hukuman tersebut.
Saya juga menolak pola pikir suporter Persib Bandung yang menggaungkan tagar #BandungMelawan sebagai bentuk perlawanan atas hukuman tersebut. Apa yang saya tangkap dari tagar beserta opini-opini yang menyertainya, suporter Persib Bandung merasa PSSI bertindak tidak adil. Mereka membandingkan kealpaan PSSI yang tidak memberlakukan hukuman yang serupa pada kasus-kasus kekerasan sepakbola sebelum terjadinya insiden di Bandung yang menewaskan suporter Persija, Haringga Sirla.
Ini bukan waktunya untuk membahas dan mengungkit dosa-dosa lama PSSI. Insiden meninggalnya Haringga Sirla sepatutnya bisa menjadi bahan introspeksi bagi semua stake holder sepakbola, dan mulai memikirkan langkah serta kebijakan yang tepat supaya insiden seperti ini dipastikan tidak akan terulang kembali.
Maka, hukuman yang diberikan pada Persib Bandung sudah tepat. Bukan karena insiden ini menjadi viral dan menjadi bahan pembicaraan nasional. Yang tampak adalah PSSI menjadikan insiden tersebut sebagai titik balik bagi mereka untuk mulai bertindak tegas tanpa toleransi apapun. Inilah yang kita butuhkan sepenuhnya.
Jika gaung perlawanan itu tetap dilanjutkan, maka hal ini akan dicontoh oleh suporter lain. Setiap kali klub dihukum, suporter akan melawan. Tidak akan ada habisnya dan pada akhirnya akan membentuk sebuah lingkaran yang tidak menghasilkan solusi apapun bagi perbaikan sepakbola Indonesia.
Kembali pada kasus dihukumnya Arema FC, ini juga menjadi keputusan yang paling tepat, meskipun boleh dibilang sangat terlambat. Sebelum kasus kericuhan saat pertandingan melawan Persebaya kemarin, suporter Arema FC berkali-kali bertindak rasis, yang ditujukan pada suporter Persebaya (Bonek). Setiap kali mereka bertanding, siapapun lawannya, selalu terdengar chant/nyanyian rasis yang berisi provokasi untuk melakukan kekerasan pada Bonek.
Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitu pula dengan nyanyian rasis atau aksi anarkis yang dilakukan suporter. Mereka tidak akan bertindak jika tidak ada yang memprovokasi. Karena itu, sudah sepatutnya pula provokator, oknum suporter yang memprovokasi suporter lainnya harus dihukum berat. Larangan masuk ke stadion seumur hidup, bagi Yuli Sumpil dan Fandy sudah benar dan tepat pula.
Dua hukuman tegas dari PSSI ini setidaknya bisa dijadikan pelajaran bagi klub dan suporter lainnya. Dua hukuman tegas ini juga menjadi bukti dari angin perubahan yang dibawa PSSI. Jika ingin sepakbola Indonesia menjadi lebih baik dan berprestasi, mari kita ubah budaya kekerasan dan anarkis yang selama ini identik dengan suporter sepakbola. Dan itu bisa dimulai dengan menghargai setiap keputusan tegas yang diberikan PSSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H