Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Jangan Membiaskan Kasus Diskualifikasi Miftahul Jannah Menjadi Sentimen Agama

11 Oktober 2018   08:09 Diperbarui: 11 Oktober 2018   08:13 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus diskualifikasi atlet blind judo Miftahul Jannah semakin melebar. Kasus yang semestinya hanya berputar pada masalah teknik perlombaan digoreng kesana kemari oleh publik, hingga sekarang menjadi isu sentimen agama. Tak kurang dua pejabat pemerintah turut berkomentar, menggenapi komentar-komentar dari masyarakat yang bersliweran di media-media sosial.

Menpora Imam Nahrawi mengatakan, pihaknya akan meminta Federasi Internasional Judo untuk mengkaji kembali aturan permainan yang melarang atlet judo memakai hijab.  Sementara Ketua Umum MUI KH. Ma'ruf Amin menyarankan supaya atlet mengikuti aturan panitia.

Dari dua komentar pejabat diatas, pernyataan KH. Ma'ruf Amin lebih tepat. Mari kita lihat permasalahan diskualifikasi ini dengan pikiran yang jernih, dan harus kita akui, ada unsur kelalaian serta miskomunikasi antara official tim Judo Indonesia dengan atlet yang bersangkutan.

Aturan larangan menggunakan pelindung kepala, termasuk hijab atau topi tertera pada International Judo Federation (IJF) Refereeing Rules artikel nomor 4 poin 4 yang berbunyi: 

Long hair shall be tied up so as to avoid causing any inconvenience to the other contestant. Hair shall be tied by means of a hair band made of rubber or similar material and be void of any rigid or metal components. The head may not be covered except for bandaging of a medical nature, which must adhere to this one.

Artikel 4 ini membahas tentang hygienis dan keselamatan atlet. Artikel ini kemudian diperjelas pada apendix artikel 6 yang berbunyi, 

"The Referee should ensure that all is in good order e.g. competition area, equipment, uniforms, hygiene, technical officials etc. before starting the contest. When assuming control of a competition area the Referee should ensure that the mat surface is clean and in good condition, that there are no gaps between the Tatamis, and that the contestants comply with Articles 3 and 4 of the Refereeing Rules.

Sebelum pertandingan dimulai, wasit harus memastikan atlet sudah memenuhi persyaratan sebagaimana yang ada dalam aturan terutama tentang uniform (Article 3) dan Hygiene (Article 4).

Aturan ini, saya yakin sudah diketahui oleh official tim Judo Indonesia. Yang jadi masalah adalah, mengapa mereka tidak memberitahu atlet yang bersangkutan sebelum bertanding? Mengapa tim pelatih Indonesia baru protes ketika Miftahul Jannah sudah memasuki arena dan kemudian dilarang oleh wasit untuk mengenakan hijab?

Saya kira ini mutlak ada kelalaian dari pihak Indonesia sendiri. Semestinya aturan-aturan pertandingan, baik itu Sport and Organization Rules, Law of the game, hingga Refereeing Rules harus sudah disosialisasikan pada setiap atlet. Supaya mereka mengerti dan tidak terkena diskualifikasi hanya gara-gara dianggap tidak mematuhi aturan. Bukan karena alasan-alasan lain.

Lantas, mengapa ada atlet dari negara lain yang boleh mengenakan hijab? Dari linimasa media sosial, banyak yang membandingkan kasus Miftahul Jannah dengan atlet-atlet dari negara muslim seperti yang ketika bertanding Judo mereka mengenakan penutup kepala seperti hijab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun