Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Jangan Membiaskan Kasus Diskualifikasi Miftahul Jannah Menjadi Sentimen Agama

11 Oktober 2018   08:09 Diperbarui: 11 Oktober 2018   08:13 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita lihat dengan pikiran jernih. Seperti yang sudah dijelaskan dalam appendix 6, wasit memegang kendali penuh untuk memutuskan apakah pertandingan sudah bisa dimulai atau belum, dengan melihat kondisi-kondisi yang ada, terutama faktor keselamatan pada atlet. Miftahul Jannah adalah atlet blind judo. Hijab yang dia pakai terlihat seperti hijab biasa, bukan hijab khusus.

Dengan kondisi fisik atlet yang bertanding tidak dapat melihat sepenuhnya, tentu saja hijab yang panjang seperti yang dikenakan Miftahul Jannah harus dilarang untuk dipakai. Alasan utama sudah pasti demi keselamatan atlet itu sendiri. Seperti kita ketahui, olahraga judo mengandalkan teknik bantingan, cengkraman dan kuncian pada lawan. Dikhawatirkan, hijab panjang itu bisa ditarik oleh lawan tanpa sadar hingga nantinya bisa berakibat fatal mencekik leher.

Bagaimana dengan atlet lain yang diperbolehkan memakai hijab? Kita harus pastikan dulu, apakah yang bertanding memakai hijab itu atlet blind judo? Atletnya tuna netra? Kita juga harus memastikan dulu, seperti apa bentuk dan bahan dari hijab yang dipakai tersebut. Apakah hijab biasa, atau hijab khusus yang sebelumnya sudah dikonsultasikan pada wasit hingga memenuhi syarat keselamatan atlet?

Pelarangan terhadap judoka bertarung memakai hijab pernah juga terjadi di Olimpiade 2012, yang saat itu dilangsungkan di London. Judoka asal Arab Saudi, Wojdan Shaherkani, sempat dilarang main karena memakai hijab.

Juru bicara federasi judo dunia ketika itu, Nicolas Messner, mengatakan pelarangan penggunaan hijab semata karena alasan keamanan. Karena di judo kedua petarung saling rangkul dan piting, dikhawatirkan hijab bisa mencekik leher dan membahayakan si atlet sendiri.

Wojdan Shaherkani pada akhirnya bisa tetap bertanding dan mencetak sejarah menjadi atlet Arab Saudi pertama yang tampil di Olimpiade. Dia bisa bertarung setelah mengganti hijab dengan semacam penutup kepala.

Nah, bisa kita lihat sendiri seperti apa perbedaan antara kasus Miftahul Jannah dengan atlet lain seperti Wojdan Shaherkani yang diijinkan memakai penutup kepala.

Karena itu, apa yang dilontarkan oleh Menpora Imam Nahrawi sangat tidak tepat. Jangan lantas karena sentimen agama kemudian Menpora minta aturan pelarangan penutup kepala dirubah. Dalam setiap pertandingan, semua federasi olahraga sudah pasti akan mengutamakan faktor keselamatan atlet yang bertanding. Tidak ada satu pun federasi olahraga yang abai terhadap keselamatan para atlet.

Prinsip yang dipegang Miftahul Jannah memang harus dihargai. Tetapi, sebagai pihak yang mengikutsertakan sang atlet supaya ikut bertanding, official Judo, tim pelatih atau National Paralympic Committe dari Indonesia juga harus ikut bertanggung jawab. Mereka tahu ada aturan seperti ini, tapi mereka lalai. Hingga kemudian seolah berlepas dari dari tanggung jawab, dan membiarkan publik membiaskan kasus ini menjadi sentimen agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun