Gempa yang diiringi tsunami di Palu dan Donggala menyisakan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Ribuan penduduk menjadi korban, baik itu meninggal dunia, luka maupun hilang tanpa ada kejelasan kabar. Ratusan ribu penduduk lainnya terpaksa mengungsi karena rumah dan tempat tinggal mereka tak bisa ditinggali lagi. Aktivitas keseharian nyaris terhenti.
Terputusnya akses jalan, baik itu darat dan laut membuat kota Palu dan Donggala nyaris terisolir. Dampaknya, bantuan dari luar menjadi terhambat. Kondisi ini membuat penduduk yang menjadi korban mencari jalan pintas.Â
Mereka mencari bahan-bahan makanan dan pakaian di toko-toko maupun tempat usaha lain yang bangunannya roboh terkena gempa. Sayangnya, ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Aksi penjarahan mulai marak. Penduduk kini tak lagi hanya sekedar mengambil bahan makanan untuk bertahan hidup, sembari menunggu bantuan dari pemerintah datang. Barang-barang non sembako pun diambil, dibawa pulang. TV LED, handphone, perhiasan emas, hingga yang tertangkap dalam sebuah foto yang viral di media sosial, ban sepeda motor juga ikut diangkut.
Situasi di Palu dan Donggala seperti sebuah post-apocalypso. Hukum rimba berlaku, siapa kuat dia yang bisa bertahan. Mirisnya, pemerintah seolah membiarkan situasi yang semakin tidak terkendali ini.Â
Mendagri Tjahyo Kumolo mengatakan, penduduk bisa mengambil bahan-bahan makanan di minimarket, nanti pemerintah yang akan membayar kepada pengusaha yang bersangkutan.Â
Mendagri, juga Menkopolhukam, menolak mengatakan aksi massal pengambilan barang-barang di toko dan tempat usaha itu sebagai sebuah penjarahan. Sementara Kapolri mengatakan, yang terjadi bukanlah penjarahan, melainkan penduduk yang kelaparan. Padahal, video dan foto-foto tentang aksi penjarahan itu sudah menjadi viral, menjadi headline di beberapa media luar negeri.
Pemerintah menafikan fakta, dan beralasan ini adalah kondisi darurat karena bantuan belum bisa diberikan secara besar-besaran. Tak kurang, presiden Joko Widodo juga menyatakan tidak melihat (secara langsung) aksi penjarahan. Jika pun ada kabar tentang aksi penjarahan, ini adalah hal kecil yang tak perlu dipermasalahkan.
Sebuah pernyataan yang kurang elok, dan tak patut dikeluarkan oleh seorang kepala negara. Memang benar, kondisi di Palu dan Donggala sedang gawat darurat.Â
Masyarakat yang terdampak bencana sedang panik, sementara jenazah-jenazah korban bencana masih banyak pula yang belum terurus dengan baik. Tapi bukan berarti hal ini menjadi pembenaran untuk sebuah aksi penjarahan.
Menjarah bahan makanan mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi ketika aksi itu merembet menjadi lebih besar, pemerintah semestinya bisa mengeluarkan pernyataan yang tegas, bukan pernyataan yang bersifat permisif seperti yang dikatakan Presiden, Mendagri hingga Kapolri.
Penjarahan disini sifatnya kesempatan dalam kesempitan. Jika pemerintah membenarkan aksi penjarahan dengan alasan kepepet, hal ini akan ditiru masyarakat lain seandainya mereka terkena bencana. Â Bisa jadi skala penjarahan menjadi lebih besar, dan berpotensi menggeser makna bencana.
Jika memang keadaan sedang darurat, lebih baik bahan-bahan makanan itu diambil oleh pemerintah daerah atau aparat yang berwenang untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat yang menjadi korban bencana. Jangan membiarkan masyarakat mengambilnya sendiri supaya tidak terjadi situasi yang lebih chaos.
Jika pun saat itu tentara atau polisi sedang fokus untuk menyelamatkan korban bencana, janganlah memberi pernyataan yang terkesan meremehkan, apalagi seolah melegalkan aksi penjarahan secara terang-terangan.Â
Pemerintah seharusnya bisa tegas, mengecam aksi penjarahan namun tak lupa membesarkan hati masyarakat disana bahwa bantuan sedang diusahakan untuk datang secepatnya.Â
Himbauan untuk tetap tenang, jangan panik karena pemerintah sudah berupaya keras mendatangkan bantuan jauh lebih baik dan lebih bermakna bagi korban maupun masyarakat lainnya.
Jangan pernah menganggap kecil aksi penjarahan, meski itu dilakukan dalam kondisi terdesak sekalipun. Jika hal ini dianggap sebagai sebuah hal kecil, maka aksi-aksi tak bermoral lainnya pun nanti akan dianggap kecil pula, dengan alasan yang sama, "sedang gawat darurat". Imbasnya, nilai-nilai moral pada masyarakat akan semakin terdegradasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H