Begitu pula halnya dengan kubu petahana. Sosok Jokowi sebagai pendulang suara masih belum tergantikan. Anekhdot bahwa jika Jokowi dipasangkan dengan sandal jepit akan menang masih tetap berlaku. Keberadaan KH. Ma'ruf Amin di posisi calon wakil presiden hanya berfungsi sebagai pelengkap sekaligus penjaga. Baik untuk menjaga suara (terutama dari kalangan Nahdliyin) maupun menjaga keutuhan koalisi gemuk supaya terhindar dari perpecahan.
Bayang-bayang perpecahan di kubu petahana memang sempat menyeruak ke permukaan. Banyaknya kandidat calon wakil presiden yang diusung malah menjadi buah simalakama tersendiri bagi Jokowi. Jika memilih kandidat ketua umum salah satu partai politik, tentu akan membuat iri partai lain di tubuh koalisinya. Harus dicari sosok non parpol yang bisa diterima semua pihak.
Awalnya, nama Mahfud MD menjadi yang terdepan. Namun, drama politik terjadi di menit-menit akhir. Mengklaim bahwa dirinya sudah terpilih, bahkan sempat mengukur baju untuk dipakai saat deklarasi, Mahfud MD harus menelan pil pahit. Bukan dia yang berhak mendampingi Jokowi saat pilpres 2019 mendatang. Ulama kharismatik, Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU, KH. Ma'ruf Amin yang menjadi pilihan kubu petahana.
Alhasil, posisi KH. Ma'ruf Amin sama dengan posisi Prabowo. Jika diibaratkan dalam sepakbola, keduanya adalah kiper, menjaga supaya gawangnya tidak kebobolan. Menjaga supaya tidak ada suara loyalis yang hilang. KH Ma'ruf Amin menjaga suara Nahdliyin, Prabowo menjaga suara loyalis Gerindra. Sementara posisi striker sebagai pencetak dan pendulang suara, ada pada sosok Jokowi dan Sandiaga Uno.
Keduanya yang akan bertarung memperebutkan suara-suara yang masih mengambang. Suara kaum millenial dan kaum ibu-ibu. Jokowi boleh berbesar hati karena kaum millenial lebih dahulu mengenalnya. Aktivitas ngevlog, ditopang oleh keseharian putra-putranya yang juga sering bermain di ranah media sosial menjadi nilai tambah tersendiri. Sementara Sandi, langsung mengeluarkan serangan ke jantung rumah, menyasar suara kaum ibu dengan citra yang sudah melekat pada dirinya.
Apakah modal populer saja bisa menjadi penentu bakal terpilih? Dalam hal pemilihan umum, elektabilitas (keterpilihan) memang penting dan bisa menjadi faktor penentu. Tapi, sebuah elektabilitas itu bisa diawali dengan popularitas. Jokowi sudah membuktikan hal itu pada tahun 2014, dan kini Sandi yang ingin meniru caranya, tapi dengan citra yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H