Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Lupakan Prabowo, Pilpres 2019 Adalah Pertarungan Jokowi vs Sandi

18 Agustus 2018   09:02 Diperbarui: 18 Agustus 2018   09:09 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dua kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah diumumkan. Untuk ketiga kalinya, Prabowo Subianto kembali menjadi penantang. Kali ini, ketua umum Partai Gerindra menggandeng kadernya sendiri Sandiaga Uno yang masih menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.

Sementara dari kubu petahana, koalisi 9 partai mengusung presiden Joko Widodo. Ketua Umum MUI sekaligus Rais Aam PBNU KH. Ma'ruf Amin dipilih untuk mendampingi Jokowi dalam pilpres 2019 mendatang. Sebuah keputusan yang mengejutkan publik lantaran nama mantan ketua Mahkamah Konstitusi sempat menjadi kandidat terkuat.

Ibarat sebuah drama, plot twist yang tidak terduga mewarnai penetapan wakil presiden dari kedua belah pihak. Jika di kubu petahana nama Mahfud MD harus terdepak, terpilihnya Sandiaga Uno juga menjadi kejutan tersendiri di pihak oposisi. Pasalnya, sesuai dengan hasil rekomendasi Ijtima' Ulama yang dekat dengan pihak oposisi, nama Sandiaga Uno tertutup oleh dua nama, Ustad Abdul Somad dan Habib Salim Segaf.

Keputusan Prabowo Subianto yang lebih memilih Sandiaga Uno membawa konsekuensi tersendiri bagi dirinya. Namanya kini seolah berada di bawah bayang-bayang Sandi. Hal yang logis, mengingat semenjak 2 kali gagal memenangkan pilpres, elektabilitas Prabowo semakin merosot. Meski harus diakui, hingga saat ini belum ada lawan yang sepadan bagi Jokowi kecuali Prabowo.

Prabowo sadar, dengan semakin rendahnya elektabilitas dirinya, pihaknya butuh sosok yang mampu mendongkrak perolehan suara. Meskipun hal itu harus mengorbankan popularitas dirinya sendiri. Prabowo seolah ingin meniru jejak Jokowi saat pilpres 2014 silam. Jurus pencitraan pun mulai ditebar. Jika pada 2014 lalu ada Jokowi Effect, Prabowo berharap pada 2019 nanti ada Sandi Effect.

Pondasi dari Jokowi Effect adalah pencitraan sederhana yang dilekatkan pada sosok mantan Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Solo ini. Dengan mencitrakan dirinya sebagai sosok yang sederhana, dekat dengan rakyat, Jokowi sukses mendulang suara yang besar hingga mampu memenangkan pemilihan presiden 2014.

Kali ini, Prabowo pun berharap hal yang serupa bisa dibawa Sandiaga Uno. Bedanya, Sandi tak mungkin dicitrakan sebagai sosok yang sederhana. Publik sudah terlanjur mengenalnya sebagai sosok pengusaha yang sukses dan kaya raya. Karena itu, sejak awal deklarasi, Prabowo-Sandiaga dengan terus terang mengatakan ingin menggaet suara dari kalangan emak-emak. 

Kaum ibu, diyakini Prabowo dan Sandiaga bisa berpengaruh besar terhadap perolehan suara pasangan tersebut. Setidaknya, menurut Prabowo dan Sandi, ibu-ibu diyakini bisa mempengaruhi suami, anak atau anggota keluarga yang lain untuk ikut memilih mereka. Kekuatan Worm of Mouth (baca:gosip) dari emak-emak perihal sosok Sandi menjadi senjata andalan Prabowo.

Dus, Sandi pun tak memerlukan polesan apapun untuk meraih popularitas di kalangan ibu-ibu. Sosok dirinya sebagai pengusaha muda, tampan, kaya raya dan anak sholeh dipercaya bisa meluluhkan hati para emak. Kaum ibu mana yang tidak terpincut dengan sosok seperti ini? Citra inilah yang hendak dipertahankan tim Prabowo-Sandi pada pilpres 2019 mendatang.

Popularitas Sandiaga Uno tersebut juga membuat aroma pilpres 2019 nanti menjadi berbeda. Bukan lagi Jokowi melawan Prabowo, tapi Jokowi melawan Sandiaga Uno. Citra sederhana melawan citra pengusaha muda nan rupawan. 

Hal ini membuat kedudukan Prabowo bukan lagi menjadi penentu bagi pihak oposisi. Sandiaga Uno lah yang akan menjadi kunci, apakah mereka sukses merebut suara yang lebih besar, atau justru profil dirinya sebagai orang kaya, jauh dari kesan sederhana seperti yang dimiliki Jokowi akan mengantarkan Prabowo meraih hattrick kekalahan di pertarungan pilpres terakhirnya.

Begitu pula halnya dengan kubu petahana. Sosok Jokowi sebagai pendulang suara masih belum tergantikan. Anekhdot bahwa jika Jokowi dipasangkan dengan sandal jepit akan menang masih tetap berlaku. Keberadaan KH. Ma'ruf Amin di posisi calon wakil presiden hanya berfungsi sebagai pelengkap sekaligus penjaga. Baik untuk menjaga suara (terutama dari kalangan Nahdliyin) maupun menjaga keutuhan koalisi gemuk supaya terhindar dari perpecahan.

Bayang-bayang perpecahan di kubu petahana memang sempat menyeruak ke permukaan. Banyaknya kandidat calon wakil presiden yang diusung malah menjadi buah simalakama tersendiri bagi Jokowi. Jika memilih kandidat ketua umum salah satu partai politik, tentu akan membuat iri partai lain di tubuh koalisinya. Harus dicari sosok non parpol yang bisa diterima semua pihak.

Awalnya, nama Mahfud MD menjadi yang terdepan. Namun, drama politik terjadi di menit-menit akhir. Mengklaim bahwa dirinya sudah terpilih, bahkan sempat mengukur baju untuk dipakai saat deklarasi, Mahfud MD harus menelan pil pahit. Bukan dia yang berhak mendampingi Jokowi saat pilpres 2019 mendatang. Ulama kharismatik, Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU, KH. Ma'ruf Amin yang menjadi pilihan kubu petahana.

Alhasil, posisi KH. Ma'ruf Amin sama dengan posisi Prabowo. Jika diibaratkan dalam sepakbola, keduanya adalah kiper, menjaga supaya gawangnya tidak kebobolan. Menjaga supaya tidak ada suara loyalis yang hilang. KH Ma'ruf Amin menjaga suara Nahdliyin, Prabowo menjaga suara loyalis Gerindra. Sementara posisi striker sebagai pencetak dan pendulang suara, ada pada sosok Jokowi dan Sandiaga Uno.

Keduanya yang akan bertarung memperebutkan suara-suara yang masih mengambang. Suara kaum millenial dan kaum ibu-ibu. Jokowi boleh berbesar hati karena kaum millenial lebih dahulu mengenalnya. Aktivitas ngevlog, ditopang oleh keseharian putra-putranya yang juga sering bermain di ranah media sosial menjadi nilai tambah tersendiri. Sementara Sandi, langsung mengeluarkan serangan ke jantung rumah, menyasar suara kaum ibu dengan citra yang sudah melekat pada dirinya.

Apakah modal populer saja bisa menjadi penentu bakal terpilih? Dalam hal pemilihan umum, elektabilitas (keterpilihan) memang penting dan bisa menjadi faktor penentu. Tapi, sebuah elektabilitas itu bisa diawali dengan popularitas. Jokowi sudah membuktikan hal itu pada tahun 2014, dan kini Sandi yang ingin meniru caranya, tapi dengan citra yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun