Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cara Mudah Memahami Bahasa Walikan Khas Malang

8 Maret 2018   23:43 Diperbarui: 9 Maret 2018   19:42 4689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata "hamur" lebih dipilih daripada "hamo" (pembalikan dari kata omah), "ayas" lebih dipilih daripada "uka", "rudit" daripada "urut","nakam" daripada "nangam" dan sebagainya.

Hal ini menunjukkan terjadinya kesepakatan pada penggunaan kosakata bahasa yang hendak dibalik. Seperti yang terjadi pada kata "ngalup" yang berasal dari kata "pulang". Kata ini mendapat saingan dari kata "holem" yang berasal dari kata "moleh" (pulang). Beberapa pengguna masih memakai "ngalup", namun sebagian yang lain memilih untuk memakai "holem".

Adanya kesepakatan terhadap penggunaan kosakata bahasa yang dibalik juga terlihat dari fakta bahwa tidak semua kata ketika diucapkan dalam satu kalimat mengalami pembalikan. Contohnya:

"ker, numpak libom ae yo, enak kadit sanap...."

(Rek, naik mobil saja ya, enak tidak panas...)

Dari contoh diatas bisa dilihat, kata "numpak" tidak mengalami pembalikan. Padahal, bisa saja kata ini mengalami modifikasi seperti menjadi "kampun", atau jika mengambil dari bahasa Indonesia menjadi "kian". Hal yang sama dialami oleh kata "enak" yang dibiarkan tetap pada bentuk aslinya.


Siapa cepat, dia dapat

Siapapun bisa menciptakan bahasa walikan. Selain harus memenuhi dua kaidah utama di atas, ada satu syarat tambahan, yakni adanya kesepakatan untuk diterima, dalam arti kata walikan yang diciptakan bisa menyebar dengan cepat untuk kemudian diterima sebagai bagian dari osob kiwalan. Contohnya pada kata "kanelop". Kata ini berasal dari dua kata bahasa Jawa, yakni "enak" (dibalik jadi "kane") dan "pol" (artinya banget/sangat, yang dibalik menjadi "lop"). 

Satu dekade lalu, tidak ada yang menggunakan kata "kanelop" dalam pembicaraan sehari-hari. Hingga seorang penjual bakso di daerah Bunul memberi nama warung baksonya dengan nama "Bakso Kanelop". Kosakata baru ini pun kemudian menyebar cepat dan akhirnya diterima menjadi bagian dari Osob Kiwalan.

Perkembangan bahasa walikan yang akhirnya menjadi identitas khas dari masyarakat Malang membuat institusi pemerintah ikut menggunakan Osob Kiwalan dalam penyampaian program-program mereka. 

Pihak Polres Malang, Pemkot Malang, dan parpol pun turut menggunakan Osob Kiwalan agar ungkapan-ungkapan yang digunakan sebagai iklan layanan masyarakat dapat lebih mengena. Hal ini menandakan kecintaan masyarakat Malang terhadap produk asli daerah mereka sendiri sangatlah kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun