Sementara gunung berapi di Hawai cenderung berkarakteristik erupsi magma dengan tipe Hawaiian, yaitu erupsi yang umumnya berupa semburan lava pijar seperti air mancur dan pada saat bersamaan diikuti leleran lava pada celah-celah gunung berapi atau kepundan. Semburan ini bisa berlangsung selama berjam-berjam hingga berhari-hari. Karena sangat cair, semburan lava ini bisa mengalir berkilometer-kilometer jauhnya dari puncak gunung.
Jauh berbeda dengan model erupsi dari Gunung Agung. Alih-alih leleran lava pijar, Gunung Agung justru melontarkan gulungan asap hitam. Dengan kondisi ini, area yang terdampak dari erupsi ini lebih luas dibanding jika hanya mengeluarkan leleran lava. Fakta ini hendaknya bisa dipahami bahwa dengan tipe erupsi seperti itu, letusan Gunung Agung tidak bisa dijadikan sebuah atraksi wisata layaknya di Hawaii.
Selain fakta tersebut, beberapa faktor lain juga tidak mendukung letusan Gunung Agung bisa dijadikan atraksi wisata yang berpotensi menarik wisatawan untuk datang melihatnya. Seperti ditutupnya Bandara andai aktivitas letusan semakin meningkat. Selain itu, paparan abu vulkanik yang semakin luas juga sangat mengganggu kenyamanan wisatawan yang masih tinggal di area sekitar gunung.
Perekonomian di Bali memang sebagian besar ditopang industri pariwisata. Pernyataan Presiden diatas juga bisa dimaknai sebagai obat penenang untuk menumbuhkan kepercayaan pada wisatawan untuk tetap datang ke Bali. Tapi, ide untuk menjadikan letusan gunung berapi di Indonesia sebagai atraksi wisata baru yang out of the box justru menjadi ide yang sangat naif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H