Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Perselingkuhan KONI-BAORI dan KPSI di PON XVIII Riau

8 September 2012   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 2579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cabang sepakbola di PON XVIII Riau kali ini benar-benar kacau. Penyebabnya karena PSSI menarik seluruh perangkat pertandingan yang diutusnya. Keputusan PSSI ini diambil karena merasa PB PON tidak menghargai keputusan PSSI yang tidak mengakui hasil keputusan sidang BAORI terkait dualisme kepengurusan Pengprov PSSI yang akhirnya merembet pada dualisme tim sepakbola PON. Selain itu, BAORI dianggap melanggar aturan dan batas yurisdiksi dengan langsung memutuskan perkara sengketa tim sepakbola PON Kalsel dan Kaltim, padahal yang sebelumnya sudah diputuskan oleh Komisi Disiplin PSSI.

Terkait kisruh BAORI ini, ada dua kesalahan fatal dari lembaga arbtrase olahraga yang dibentuk oleh KONI ini.

1. BAORI tidak paham status legal posisi objek yg berperkara
2. BAORI tidak dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga arbritase yang netral dikarenakan sejak awal induk organisasinya memihak salah satu yg berperkara dan bahkan salah satu anggota BAORI adalah bagian dari kelompok yg berperkara.

Di dalam melihat objek status yg berperkara, BAORI secara fatal menyamakan posisi pengprov PSSI sama dan sebangun dengan posisi pengprov federasi olahraga yang lain di Indonesia ( PTMSI, PASI, PBVS, PBSI dll). Padahal posisi pengprov ini sangat unik karena dia memiliki 2 kaki : sebagai member / anggota PSSI yg memiliki suara ( Statuta PSSI pasal 12 dan 23 ) dan sebagai kepanjangan struktur organisasi federasi (Peraturan Organisasi PSSI ).

Sebagai member Pengprov terikat kepada pasal 14 Statuta ( hak anggota ) dan pasal 15 Statuta ( kewajiban anggota ), dimana setiap pelanggaran dari ketentuan ini Federasi bisa mengambil langkah memberikan hukuman dari peringatan sampai pembekuan, sebagai catatan saja, hanya di Indonesia member federasi itu pengurus propinsi, inilah yg sejak lama saya usulkan untuk di rubah di dalam Statuta

Di Peraturan Organisasi PSSI disebutkan bahwa Kepengurusan Pengurus Propinsi berakhir karena :

1. Habis masa bakti jabatan kepengurusannya
2. Berhalangan tetap ( sakit, meninggal atau dalam proses hukum )
3. Rangkap Jabatan
4. Melanggar ketentuan di dalam statuta PSSI dan Peraturan Organisasi

Terkait dualisme kepengurusan beberapa Pengprov, PSSI mendasarkan keputusannya untuk mengganti pengurus Pengprov dengan caretaker karena alasan pada poin 4. Pengurus Pengprov yang diganti tersebut telah secara nyata dan terang-terangan memihak pada KPSI, organisasi tak berbentuk yang menandingi PSSI sebagai federasi sepakbola Indonesia yang sah.

Logika sederhananya adalah, apabila anda menjabat ketua partai, kemudian mendapati anggota/pengurus partai membelot ke partai lain, sudah tentu anda akan memecat dan menggantinya dengan orang lain yang lebih loyal. Seperti halnya Partai Golkar yang langsung memecat salah satu ketua DPD Golkar dari Aceh karena dianggap tidak mendukung pencalonan sang ketua umum sebagai bakal calon presiden.

Karena ada beberapa Pengprov yang tergabung dengan Forum Pengurus Pengprov- KPSI tidak lagi mengakui PSSI, maka secara hukum posisi Pengprov tersebut di dalam struktur statuta PSSI dan struktur organisasi PSSI menjadi kosong. Artinya PSSI berkewajban melakukan pengisian posisi yang kosong tersebut dengan cara menunjuk carateker untuk melakukan proses Muswillub Pengprov untuk menunjuk kepengurusan defenitif. Karena Pengprov ini member, maka mereka juga terikat kepada pasal 69, 70, 71 Statuta PSSI tentang persengketaan yang hanya bisa dilakukan proses sidangnya di Badan Arbritase di dalam yurisdiksi PSSI dan FIFA. Secara tegas malah disebutkan setiap sengketa assosiasi dengan member atau pemain TIDAK BISA dibawa ke Pengadilan Negara atau Badan Arbitrase diluar yuridiksi FIFA dan PSSI, artinya BAORI yang tidak memiliki afiliasi kepada lembaga arbitrase sesuai dengan yurisdiksi FIFA dan PSSI yaitu CAS tidak memiliki kewenangan apapun.

Kembali ke BAORI, seharusnya sebelum memutuskan perkara dualisme Pengprov tersebut, BAORI terlebih dahulu harus memutuskan bahwa PSSI pimpinan Djohar Arifin sudah tidak sah dan telah diganti oleh KPSI. Dan itu faktanya tidak bisa dilakukan karena terbitnya 2 keputusan CAS yang menguatkan bahwa federasi yang sah adalah PSSI di bawah Djohar Arifin Husein.

BAORI dianggap tidak netral karena memaksakan sebuah keputusan yang justru akan membahayakan posisi PSSI jika diikuti karena PSSI akan dianggap melanggar Statuta PSSI dan FIFA yang ujungnya PSSI dapat dikenakan sanksi oleh FIFA atau AFC. Jika memang ingin memaksakan BAORI buat keputusan maka harusnya BAORI menyatakan Pengprov yang sah harus berada dan kembali berada di bawah induk organisasi yang resmi yang diakui, artinya jika BAORI memenangkan Kaltim, Jambi dan Jabar, maka BAORI harus memaksa pengprov tersebut berada kembali di bawah federasi resminya.

Sebagaimana hal yang sama dilakukan Panel CAS terkait kasus Persipura, sebenarnya putusan Final CAS itu memenangkan Persipura sebagai klub yang sah mewakili Indonesia ke LCA dengan syarat Persipura kembali berada di bawah federasi yang sah yang diakui FIFA.  Itulah kenapa kemudian Persipura tidak ingin melanjutkan kasus mereka karena jika dilanjutkan posisi mereka akan serba sulit untuk menjalankan putusan CAS tersebut.

Indikasi kongkalikong antara KONI-BAORI dan KPSI kemudian terlihat ketika PSSI memutuskan untuk menarik seluruh perangkat pertandingan yang dipinjamkan ke PB PON. Kubu KPSI langsung merespon sikap tersebut dengan mengirimkan perangkat pertandingan mereka yang selama ini mengatur seluruh pertandingan ISL. Bahkan dalam tempo kurang dari satu hari, seluruh perangkat pertandingan dari KPSI sudah berada di Riau.

KONI, dan juga PB PON seharusnya melihat bahwa selama mereka mengakui PSSI dibawah pimpinan Djohar Arifin adalah sah dan legal sebagai satu-satunya federasi sepakbola Indonesia, maka sesuai dengan UU no 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, KONI dan PB PON harus berkoordinasi dengan induk organisasi cabang olahraga yang sah. Dan ketika KONI serta PB PON kemudian menggunakan perangkat pertandingan serta berkoordinasi dengan organisasi yang ilegal, jelas dan nyata bahwa mereka sudah melanggar Undang-undang yang diamanatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun