Mohon tunggu...
Andi Mirati Primasari
Andi Mirati Primasari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Lahir dan besar di Makassar, dan saat ini menetap di Jakarta menjalani kesibukan sebagai seorang istri merangkap karyawati swasta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menambat Asa di Gerbang Ekonomi Nasional

30 Januari 2019   16:45 Diperbarui: 30 Januari 2019   16:55 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegiatan Utama Pelabuhan Peti Kemas yang dioperasikan PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) dimulai dari bongkar muat container, transfer peti kemas, penumpukan container di yard, sampai pada aktivitas ekspor/impor di gate. Ayunan crane-crane raksasa yang memindahkan peti kemas dari tempat satu ke tempat yang lain adalah pemandangan sehari-hari di sana.

Selayaknya, skema pekerjaan terstruktur dengan baik sesuai standar, tak terkecuali kelayakan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM). Terbersit kagum melihat para pekerja bisa bekerja-sama menyelesaikan pekerjaan besar seperti ini dengan semangat yang luar biasa.

Di balik hiruk-pikuknya bongkar-muat barang di Pelabuhan Peti Kemas, terselip cerita para pekerja yang membanting tulang demi keberlangsungan hidup keluarganya di sini. Mereka tergabung dalam Serikat Pekerja JICT (SP JICT).

Kegiatan di Pelabuhan Peti Kemas JICT (sumber: SP JICT)
Kegiatan di Pelabuhan Peti Kemas JICT (sumber: SP JICT)
Beberapa di antaranya sedang berharap kepastian nasib, agar secepatnya bisa diangkat menjadi karyawan tetap. Namun, keadaan terkadang memang tak semanis yang diharapkan. Apalagi, ketika Pelindo II kembali menandatangani perjanjian kontrak JICT dan TPK Koja dengan pihak Hutchison Ports Holding Hongkong (HPH). Impian akan kedaulatan pelabuhan Indonesia seakan terbang, padahal di balik kerja keras mereka, ada niat mulia untuk bisa berdikari di negeri sendiri.

Sebuah Kisah di Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok

Tak dapat dipungkiri, bahwa Tanjung Priok merupakan pelabuhan tersibuk nomor satu di Indonesia. Posisinya yang sangat strategis merupakan simbol kedaulatan dan bangsa, tak hanya sebagai gerbang ekonomi, namun sebagai simbol kehormatan politik bangsa ini. Itulah sebabnya setelah proklamasi Indonesia, pemerintah sesegera mungkin mengambil alih pengelolaan pelabuhan ini.

Pada tahun 1999, dimana ketika itu Indonesia tengah dirundung krisis moneter, pemerintah terpaksa melakukan privatisasi terhadap PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada Hutchison Port Holding (HPH) Hongkong dengan masa kontrak 20 tahun hingga 2019. Ini berarti tahun ini masa kontrak tersebut harusnya sudah berakhir, sehingga JICT pun bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan bisa diolah secara mandiri oleh anak bangsa sendiri.

Salah satu aksi protes SP JICT terhadap perpanjangan kontrak JICT dengan HPH (sumber: Kiki Handriyani)
Salah satu aksi protes SP JICT terhadap perpanjangan kontrak JICT dengan HPH (sumber: Kiki Handriyani)
Hanya saja, perpanjangan kontrak kembali dilakukan pada tahun 2014 oleh Direktur Utama Pelindo II saat itu, padahal kontrak sebelumnya saja belum berakhir. Peristiwa mengagetkan ini seketika membuat impian para anak bangsa di JICT untuk mengelola pelabuhan ini secara keseluruhan terpaksa pupus.

SP JICT sebagai pihak yang paling keras menolak perpanjangan kontrak JICT dengan HPH telah melakukan berbagai upaya pendekatan secara persuasif ke parlemen, bahkan sampai menggelar aksi turun ke jalan untuk menyuarakan jeritan di hati para pekerja. Para pekerja amat berharap perpanjangan kontrak JICT dengan HPH bisa dibatalkan.

Perjuangan yang didasari niat mulia untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia secara maritim ini ternyata tak mudah. Selalu ada saja pihak-pihak yang memandang sinis bahkan menuduh perjuangan SP JICT dilatarbelakangi niat negatif, bahkan mereka sempat dituduh sebagai musuh negara oleh oknum yang tak senang dengan aksi mereka.

Dari sini, timbul kecurigaan bahwa ada indikasi pengerahan kekuatan untuk menyerang siapa saja yang dianggap mengganggu kepentingan asing dalam kasus JICT dan TPK Koja.

Sebuah Harapan Akan Terwujudnya Kedaulatan Maritim Indonesia di Tanjung Priok, Itulah yang Tengah Diperjuangkan Para Pekerja JICT (sumber: Kiki Handriyani)
Sebuah Harapan Akan Terwujudnya Kedaulatan Maritim Indonesia di Tanjung Priok, Itulah yang Tengah Diperjuangkan Para Pekerja JICT (sumber: Kiki Handriyani)
SP JICT menyadari ada kekuatan besar yang menjadi aral melintang yang menjadikan jalan mereka tak mulus untuk mewujudkan harapan. JICT yang sudah mereka namakan sebagai Gerbang Ekonomi Nasional sudah mereka anggap seperti rumah sendiri, tak hanya tempat mencari nafkah, namun tempat mengembangkan diri, meraih prestasi, dan tempat menambatkan asa.

Mengukir Prestasi, Menguatkan Angan

JICT lahir dari semangat kemandirian dan niat tulus untuk melayani yang menjadi nyawa dari perjuangan mereka. Sederet prestasi yang diukir para pekerja JICT bukanlah prestasi biasa, bahkan telah diakui di mata internasional.

Pada tahun 2011, JICT dinobatkan sebagai Best Container Terminal in Indonesia versi INSA Award. Di tahun yang sama, JICT juga meraih AFSCA Award untuk kategori Best Container Terminal in Asia (under 4 mill p.a).

JICT juga diakui sebagai terminal petikemas terbaik versi stakeholders Pemerintah, di antaranya Bea Cukai, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Keuangan. Atas kerja keras para karyawan, JICT juga meraih Indonesian SDGs Award kategori Gold Winner dari Corporate Forum for Community Development (CFCD) pada 2017 dan sederet penghargaan lainnya.

Berbagai raihan prestasi ini tentu tak lepas dari semua upaya yang telah dilakukan para pekerja selama masa pengabdiannya kepada perusahaan, bahkan boleh dikata juga turut mengharumkan nama bangsa di tingkat dunia. Apalagi, jika berbicara tentang pencapaian perusahaan di tingkat internasional, tentunya tak terlepas dari keberhasilan para pekerja untuk membangun kepercayaan para pengguna jasa, baik di tingkat internasional maupun domestik.

"Pelabuhan itu kan ada fungsi negara dan pelayanan publik. Jika kasus JICT dan TPK Koja dibiarkan berlama-lama dimainkan dalam konflik internal bisa bahaya.", kata Ucok Sky Hadafi, Direktur Central for Budget Analysis (CBA).

Wajar jika para pekerja merasa terusik dengan perpanjangan kontrak yang dilakukan Pelindo II terhadap JICT kepada HPH, mengingat selama ini mereka telah berusaha sedemikian rupa untuk memperbaiki sistem pekerjaan di JICT, hingga pelabuhan petikemas tersebut bisa dinobatkan sebagai yang terbaik di Asia.

Di balik semua kerja keras tersebut, harapan berdikari bukanlah sebuah impian belaka. Di baliknya terselip keinginan agar mereka bisa diberi kesempatan mengelola JICT secara mandiri, tanpa campur tangan pihak asing, yang selama ini dinilai merugikan negara yang angkanya mencapai trilyunan rupiah, bahkan 4 audit BPK mengungkap kerugian negara akibar perpanjangan Kerjasama Pelindo II dan HPH atas JICT dan TPK Koja mencapai Rp.14,68 Trilyun.

BPK-RI melalui 4 audit mengungkap kerugian negara akibat perpanjangan kerjasama Pelindo II dan HPH atas privatisasi JICT dan TPK Koja mencapai Rp.14,68 Trilyun (sumber: instagram @saveindoports)
BPK-RI melalui 4 audit mengungkap kerugian negara akibat perpanjangan kerjasama Pelindo II dan HPH atas privatisasi JICT dan TPK Koja mencapai Rp.14,68 Trilyun (sumber: instagram @saveindoports)
"Dalam kasus JICT dan TPK Koja, Hutchison menyebabkan kerugian negara hampir 6 Trilyun. Ini adalah pelanggaran hukum. Kenapa masih dibela?" Demikian komentar Hazris Maisyah, Ketua Umum SP JICT, seperti yang ditulis TribunNews.com

Mari kita doakan agar cerita indah tetap berlanjut di sini, demi sesuap nasi, demi tawa bahagia mereka yang menanti di rumah, karena yang mereka yakini, Tanjung Priok tak hanya sekedar tempat mengais rezeki, tapi juga adalah simbol martabat maritim bangsa.

Saya sendiri masih optimis pemerintah mampu menuntaskan kasus JICT dan TPK Koja ini, sebagaimana amanat Bung Karno untuk mempertahankan kedaulatan sebagai sebuah harga diri.

Bukan tak mungkin, setelah 51% saham Freeport berhasil dikembalikan ke tangan bangsa ini, selanjutnya giliran JICT yang menjadi fokus pemerintah dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Kita berharap KPK juga bisa mengusut tuntas kasus ini dengan cepat, sehingga titik terang bisa segera muncul ke permukaan, membawa kembali senyum haru di wajah para pekerja yang tengah menanti kejelasan nasib mereka di gerbang ekonomi nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun