Kegiatan Utama Pelabuhan Peti Kemas yang dioperasikan PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) dimulai dari bongkar muat container, transfer peti kemas, penumpukan container di yard, sampai pada aktivitas ekspor/impor di gate. Ayunan crane-crane raksasa yang memindahkan peti kemas dari tempat satu ke tempat yang lain adalah pemandangan sehari-hari di sana.
Selayaknya, skema pekerjaan terstruktur dengan baik sesuai standar, tak terkecuali kelayakan kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM). Terbersit kagum melihat para pekerja bisa bekerja-sama menyelesaikan pekerjaan besar seperti ini dengan semangat yang luar biasa.
Di balik hiruk-pikuknya bongkar-muat barang di Pelabuhan Peti Kemas, terselip cerita para pekerja yang membanting tulang demi keberlangsungan hidup keluarganya di sini. Mereka tergabung dalam Serikat Pekerja JICT (SP JICT).
Sebuah Kisah di Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok
Tak dapat dipungkiri, bahwa Tanjung Priok merupakan pelabuhan tersibuk nomor satu di Indonesia. Posisinya yang sangat strategis merupakan simbol kedaulatan dan bangsa, tak hanya sebagai gerbang ekonomi, namun sebagai simbol kehormatan politik bangsa ini. Itulah sebabnya setelah proklamasi Indonesia, pemerintah sesegera mungkin mengambil alih pengelolaan pelabuhan ini.
Pada tahun 1999, dimana ketika itu Indonesia tengah dirundung krisis moneter, pemerintah terpaksa melakukan privatisasi terhadap PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada Hutchison Port Holding (HPH) Hongkong dengan masa kontrak 20 tahun hingga 2019. Ini berarti tahun ini masa kontrak tersebut harusnya sudah berakhir, sehingga JICT pun bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan bisa diolah secara mandiri oleh anak bangsa sendiri.
SP JICT sebagai pihak yang paling keras menolak perpanjangan kontrak JICT dengan HPH telah melakukan berbagai upaya pendekatan secara persuasif ke parlemen, bahkan sampai menggelar aksi turun ke jalan untuk menyuarakan jeritan di hati para pekerja. Para pekerja amat berharap perpanjangan kontrak JICT dengan HPH bisa dibatalkan.
Perjuangan yang didasari niat mulia untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia secara maritim ini ternyata tak mudah. Selalu ada saja pihak-pihak yang memandang sinis bahkan menuduh perjuangan SP JICT dilatarbelakangi niat negatif, bahkan mereka sempat dituduh sebagai musuh negara oleh oknum yang tak senang dengan aksi mereka.
Dari sini, timbul kecurigaan bahwa ada indikasi pengerahan kekuatan untuk menyerang siapa saja yang dianggap mengganggu kepentingan asing dalam kasus JICT dan TPK Koja.
Mengukir Prestasi, Menguatkan Angan
JICT lahir dari semangat kemandirian dan niat tulus untuk melayani yang menjadi nyawa dari perjuangan mereka. Sederet prestasi yang diukir para pekerja JICT bukanlah prestasi biasa, bahkan telah diakui di mata internasional.
Pada tahun 2011, JICT dinobatkan sebagai Best Container Terminal in Indonesia versi INSA Award. Di tahun yang sama, JICT juga meraih AFSCA Award untuk kategori Best Container Terminal in Asia (under 4 mill p.a).
JICT juga diakui sebagai terminal petikemas terbaik versi stakeholders Pemerintah, di antaranya Bea Cukai, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Keuangan. Atas kerja keras para karyawan, JICT juga meraih Indonesian SDGs Award kategori Gold Winner dari Corporate Forum for Community Development (CFCD) pada 2017 dan sederet penghargaan lainnya.
Berbagai raihan prestasi ini tentu tak lepas dari semua upaya yang telah dilakukan para pekerja selama masa pengabdiannya kepada perusahaan, bahkan boleh dikata juga turut mengharumkan nama bangsa di tingkat dunia. Apalagi, jika berbicara tentang pencapaian perusahaan di tingkat internasional, tentunya tak terlepas dari keberhasilan para pekerja untuk membangun kepercayaan para pengguna jasa, baik di tingkat internasional maupun domestik.
"Pelabuhan itu kan ada fungsi negara dan pelayanan publik. Jika kasus JICT dan TPK Koja dibiarkan berlama-lama dimainkan dalam konflik internal bisa bahaya.", kata Ucok Sky Hadafi, Direktur Central for Budget Analysis (CBA).
Wajar jika para pekerja merasa terusik dengan perpanjangan kontrak yang dilakukan Pelindo II terhadap JICT kepada HPH, mengingat selama ini mereka telah berusaha sedemikian rupa untuk memperbaiki sistem pekerjaan di JICT, hingga pelabuhan petikemas tersebut bisa dinobatkan sebagai yang terbaik di Asia.
Di balik semua kerja keras tersebut, harapan berdikari bukanlah sebuah impian belaka. Di baliknya terselip keinginan agar mereka bisa diberi kesempatan mengelola JICT secara mandiri, tanpa campur tangan pihak asing, yang selama ini dinilai merugikan negara yang angkanya mencapai trilyunan rupiah, bahkan 4 audit BPK mengungkap kerugian negara akibar perpanjangan Kerjasama Pelindo II dan HPH atas JICT dan TPK Koja mencapai Rp.14,68 Trilyun.
Mari kita doakan agar cerita indah tetap berlanjut di sini, demi sesuap nasi, demi tawa bahagia mereka yang menanti di rumah, karena yang mereka yakini, Tanjung Priok tak hanya sekedar tempat mengais rezeki, tapi juga adalah simbol martabat maritim bangsa.
Saya sendiri masih optimis pemerintah mampu menuntaskan kasus JICT dan TPK Koja ini, sebagaimana amanat Bung Karno untuk mempertahankan kedaulatan sebagai sebuah harga diri.
Bukan tak mungkin, setelah 51% saham Freeport berhasil dikembalikan ke tangan bangsa ini, selanjutnya giliran JICT yang menjadi fokus pemerintah dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Kita berharap KPK juga bisa mengusut tuntas kasus ini dengan cepat, sehingga titik terang bisa segera muncul ke permukaan, membawa kembali senyum haru di wajah para pekerja yang tengah menanti kejelasan nasib mereka di gerbang ekonomi nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H