Mohon tunggu...
Andi Mirati Primasari
Andi Mirati Primasari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Lahir dan besar di Makassar, dan saat ini menetap di Jakarta menjalani kesibukan sebagai seorang istri merangkap karyawati swasta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lestarikan "Unity in Diversity" dengan Bahasa Daerah

17 Agustus 2017   19:59 Diperbarui: 25 Agustus 2017   02:50 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketakutan kita akan kegagalan tak boleh mengalahkan tekad kita untuk maju dan menang. Semangat pantang menyerah dari para pejuang kemerdekaan melahirkan getaran keinginan untuk menjadikan negeri ini bebas dari apapun yang bisa membuat mereka gentar. Ingin segera merdeka.. Bagaimanapun caranya..

Merdeka bukan sesuatu yang cuma-cuma, semudah membalikkan telapak tangan. Di baliknya, ada tetesan darah dan keringat para pahlawan yang gugur di medan tempur, membela kedaulatan bangsa, berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajah. Hingga kemudian tibalah hari ketika kata agung itu dikumandangkan oleh Presiden Soekarno ke berbagai penjuru.. "PROKLAMASI".

Indonesia Merdeka.. Bukan sekedar kata. Menyebutnya saja sudah timbul rasa bangga. Kelahiran proklamasi yang dilatarbelakangi skenario cantik para proklamator bangsa. Mereka lupa akan apapun latar belakang yang menjadikan mereka beda, sepakat untuk bersatu, demi lepas dari penjajahan.

Apa jadinya bangsa ini bila pada 17 Agustus 1945 Proklamasi gagal berkumandang? Mungkinkah kita dapat menghirup udara kebebasan sesejuk hari ini?

"72 Tahun" bukan sekedar usia biasa.. Tak hanya menyimbolkan kedewasaan dan kematangan, tapi ada rentang pengalaman yang menyertai jalannya waktu yang dilalui. Pembangunan di segala aspek menghiasi segala lini era, membentuk mental bangsa ini menjadi lebih siap bersaing, berpandangan dan berpikiran global.

Ada yang Berbeda pada Upacara Pengibaran Bendera Pusaka di Istana Negara Tahun Ini

Seperti 17 Agustus pada tahun-tahun sebelumnya, pagi ini keluarga saya lagi-lagi kompak berkumpul di depan TV untuk menyaksikan siaran langsung perayaan Detik-detik Proklamasi dari Istana Negara. Entah mengapa, aura sakral upacara bendera ini selalu mampu menembus relung hati kami ketika Sang Merah-Putih dikibarkan. Rasa syukur memenuhi hati, mengenang kembali kegigihan para pahlawan bangsa menghadiahkan kemerdekaan ini kepada kita semua, anak cucunya.

Berbeda dengan perayaan pada tahun-tahun sebelumnha, ada satu hal unik yang membuat kagum, ketika para pemimpin-pemimpin bangsa hadir memakai pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia. Bapak Presiden Joko Widodo dengan pakaian adat Kalimantan Selatan, Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mantan Presiden B.J. Habibie dengan pakaian adat Bugis Sulawesi Selatan, lengkap dengan Songkok To Bone (Peci orang Bone). Bapak Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memakai baju adat Palembang. Tak ketinggalan.. ada Ibu Megawati Soekarno Putri dengan sanggul ala Jawa yang membuat beliau terlihat anggun. Para menteri dan pejabat yang hadir pun kompak memakai baju adat.

Mari berpikir sejenak.. Kira-kira, nilai apa yang ingin disampaikan Bapak Presiden dengan ide ini? Terlepas dari apapun itu, satu hal yang patut kita sadari adalah bahwa bangsa ini memang memiliki keberagaman budaya dari berbagai latar belakang suku yang berbeda-beda. Ketika kita bersatu dan mengatasnamakan diri kita bukan atas nama suku kita, tapi sebagai Indonesia, apa lagi yang patut dipersalahkan? Euforia "Unity in Diversity".. Keberagaman tak hanya menjadi pemersatu, tapi juga inilah yang menjadikan kita kaya. Bayangkan saja.. 34 Provinsi yang terdiri dari berbagai macam suku, lantas bersatu.. Siapa yang tak berbangga hati?

Lestarikan Bahasa Daerah sebagai Warisan Leluhur Negeri

Anggaplah hawa sejuk kemerdekaan ini adalah sebuah kado bagi kita. Pernahkah sejenak kita berpikir.. Apa yang sudah kita lakukan untuk bangsa ini?

Suatu hari.. Puang (Nenek) saya yang sedang terbaring lemas di tempat tidurnya karena sedang sakit, meneriakkan sesuatu kepada saya menggunakan Bahasa Bugis. Namun karna saya tak paham artinya, saya pun menanyakan kepada Mama yang duduk tak jauh dari situ. Mama kemudian mengatakan kalau Puang minta diambilkan air minumnya di atas meja. Saya langsung buru-buru mengambilkan, takut Puang kehausan. Setelah beberapa teguk, Puang seperti mendapat energi dari air yang baru saja diminumnya.

Puang langsung berpesan "Nak.. A'guruko ma'bicara ogi..", (Nak.. Belajarlah bahasa Bugis..) begitu nasehat Puang.

"Ogi' ko na de muisseng ma'bicara ogi.." (Kamu orang Bugis tapi tidak mengerti bahasa Bugis).

Nasehat Puang seperti teguran keras buat saya, seolah-olah saya ini cucu yang cuek, sok modern, acuh tak acuh dengan bahasa daerah sendiri. Sehari-harinya memang saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Itu tidak salah. Justru sangat benar, karena di antara banyaknya bahasa yang ada di Indonesia ini, bahasa Indonesia adalah alat pemersatu.

"Batemu ma'guru bicara inggrisi' ko sikolamu.. maga na de' muissengi bicarata'?" (Saya liat kamu rajin belajar bahasa Inggris di sekolah, tapi kenapa kamu tidak tau bahasa daerah kita sendiri?)

Raut kecewa jelas-jelas tergambar di wajah nenek..

Nah.. di sinilah masalahnya..

Entah disebabkan kemajuan jaman dan rutinitas yang jauh dari unsur kedaerahan, terkadang lupa pun muncul. Menurut Puang, tak ada yang salah bila kami sebagai cucu ingin belajar bahasa asing negara manapun, tapi jangan pernah musnahkan bahasa daerahmu sendiri. Itulah warisan nenek moyang kita yang harus kita kuasai, menandakan bahwa kita memang bangsa Indonesia yang sejati, sehingga kita tak merasa asing di rumah sendiri.

Bayangkan bila semua anak muda di Indonesia bersikap acuh tak acuh dengan bahasa daerahnya. Apa yang akan terjadi? Bukan tak mungkin, suatu saat bahasa daerah di Indonesia perlahan akan musnah ditelan jaman. Tak ada lagi momen yang bisa kita kenang lewat keberagaman lingustik yang sungguh kaya ini.

Sejak itu, benak saya seolah tersentil.. Keesokan harinya, saya langsung minta diajar bahasa Bugis pada Puang. Dimulai dengan belajar menulis dan membaca aksara Lontara. Beruntung, saat di bangku SD saya pernah belajar bahasa Makassar, jadi tidak kaku-kaku amat. Pelan- pelan saya mulai paham ketika Puang mengajak ngobrol. Bahasa Bugis pun mulai membuat saya terbiasa. Meskipun kadang masih kaku melafalkan, tapi untuk mengartikan bahasa Puang sudah bukan hal yang sulit.

Kebiasaan Puang berbahasa Bugis ini secara tak sadar kemudian menurun pada anak saya. Setiap saat, Puang selalu mengajak anak saya mengobrol dengan bahasa Bugisnya. Anak saya yang masih 2 tahun kadang terlihat bingung. Namun, itu tak jadi masalah. Saya memang sengaja membiasakan kupingnya mendengarkan bahsa daerahnya sendiri, sebagai anak keturunan Bugis, Sulawesi Selatan. Seiring waktu, kami berharap ia juga dapat turut melestarikan bahasa Bugis ini sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia.

Indonesia kaya akan Bahasa Daerah sebagai kearifan lokalnya.. Sudahkah kamu meluangkan waktu sejenak untuk mempelajari bahasa daerahmu sendiri?

Cinta Indonesia.. Cinta Bahasa Daerah..

Bila bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi?

***

Teman-teman.. Mohon doanya yaa supaya Puang kami sehat terus.. Jadi kami bisa belajar bahasa Bugis terus darinya setiap saat.. Aamiin..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun