Suatu hari.. Puang (Nenek) saya yang sedang terbaring lemas di tempat tidurnya karena sedang sakit, meneriakkan sesuatu kepada saya menggunakan Bahasa Bugis. Namun karna saya tak paham artinya, saya pun menanyakan kepada Mama yang duduk tak jauh dari situ. Mama kemudian mengatakan kalau Puang minta diambilkan air minumnya di atas meja. Saya langsung buru-buru mengambilkan, takut Puang kehausan. Setelah beberapa teguk, Puang seperti mendapat energi dari air yang baru saja diminumnya.
Puang langsung berpesan "Nak.. A'guruko ma'bicara ogi..", (Nak.. Belajarlah bahasa Bugis..) begitu nasehat Puang.
"Ogi' ko na de muisseng ma'bicara ogi.." (Kamu orang Bugis tapi tidak mengerti bahasa Bugis).
Nasehat Puang seperti teguran keras buat saya, seolah-olah saya ini cucu yang cuek, sok modern, acuh tak acuh dengan bahasa daerah sendiri. Sehari-harinya memang saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Itu tidak salah. Justru sangat benar, karena di antara banyaknya bahasa yang ada di Indonesia ini, bahasa Indonesia adalah alat pemersatu.
"Batemu ma'guru bicara inggrisi' ko sikolamu.. maga na de' muissengi bicarata'?" (Saya liat kamu rajin belajar bahasa Inggris di sekolah, tapi kenapa kamu tidak tau bahasa daerah kita sendiri?)
Raut kecewa jelas-jelas tergambar di wajah nenek..
Nah.. di sinilah masalahnya..
Entah disebabkan kemajuan jaman dan rutinitas yang jauh dari unsur kedaerahan, terkadang lupa pun muncul. Menurut Puang, tak ada yang salah bila kami sebagai cucu ingin belajar bahasa asing negara manapun, tapi jangan pernah musnahkan bahasa daerahmu sendiri. Itulah warisan nenek moyang kita yang harus kita kuasai, menandakan bahwa kita memang bangsa Indonesia yang sejati, sehingga kita tak merasa asing di rumah sendiri.
Bayangkan bila semua anak muda di Indonesia bersikap acuh tak acuh dengan bahasa daerahnya. Apa yang akan terjadi? Bukan tak mungkin, suatu saat bahasa daerah di Indonesia perlahan akan musnah ditelan jaman. Tak ada lagi momen yang bisa kita kenang lewat keberagaman lingustik yang sungguh kaya ini.
Sejak itu, benak saya seolah tersentil.. Keesokan harinya, saya langsung minta diajar bahasa Bugis pada Puang. Dimulai dengan belajar menulis dan membaca aksara Lontara. Beruntung, saat di bangku SD saya pernah belajar bahasa Makassar, jadi tidak kaku-kaku amat. Pelan- pelan saya mulai paham ketika Puang mengajak ngobrol. Bahasa Bugis pun mulai membuat saya terbiasa. Meskipun kadang masih kaku melafalkan, tapi untuk mengartikan bahasa Puang sudah bukan hal yang sulit.
Kebiasaan Puang berbahasa Bugis ini secara tak sadar kemudian menurun pada anak saya. Setiap saat, Puang selalu mengajak anak saya mengobrol dengan bahasa Bugisnya. Anak saya yang masih 2 tahun kadang terlihat bingung. Namun, itu tak jadi masalah. Saya memang sengaja membiasakan kupingnya mendengarkan bahsa daerahnya sendiri, sebagai anak keturunan Bugis, Sulawesi Selatan. Seiring waktu, kami berharap ia juga dapat turut melestarikan bahasa Bugis ini sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia.