Selanjutnya.. Hari-hari yang saya lalui dipenuhi dengan kesibukan baru: Melamar pekerjaan, mengikuti bursa kerja, dan menjalani interview jika ada panggian.
Saat tengah asyik mencari kerjaan baru.. Sekitar 4 bulan setelah menikah, saya mengandung anak pertama. Seperti ibu hamil pada umumnya, saya dilanda morning sickness yang cukup parah. Setiap harinya, saya merasa sesak dan mual. Pernah juga sekali waktu saya pingsan di depan kamar mandi. Saat itulah, suami saya menganjurkan agar saya berhenti sejenak untuk mencari kerja. Di sinilah stres itu bermula. Bagaimana mungkin saya berhenti kerja? Apa gunanya saya sekolah bertahun-tahun bila akhirnya saya menganggur tanpa kerjaan?
Lagi-lagi saya bingung. Saya akui, saya memang butuh bekerja untuk memperoleh tambahan uang belanja, meskipun sebenarnya dengan penghasilan suami saya sudah lebih dari cukup. Namun, anjuran suami saya tak boleh saya pandang sebelah mata. Saya selalu percaya ia hadir ke hidup saya untuk membantu saya mencari solusi atas segala kebingungan saya, membimbing ke arah mana saya semestinya melangkah.
"Tinggallah di rumah.. Jaga kesehatanmu dan anakku di dalam kandungan.. ". Begitulah kata suami saya yang langsung membuat saya merenung dan perlahan mengiyakan ucapannya. "Kamu nggak perlu khawatir kesepian, karena di rumah ada ibuku yang nemenin..", lanjutnya, diiringi dengan senyum manis dari ibu mertua saya. Senyum yang bikin saya selalu betah berlama-lama di rumah.
Pernah suatu waktu di Cipayung sedang musim rambutan. Hampir semua pohon rambutan di Cipayung berbuah banyak dan manis-manis, termasuk pohon rambutan di halaman rumah, yang menurut cerita ibu mertua saya, dulunya pohon ini ditanam oleh Almarhum Bapak Mertua saya dan merupakan pohon kesayangan beliau. Saking sayangnya, beliau melarang siapapun untuk menebang pohon tersebut. Alhamdulillah.. Berkat larangan beliau, saya jadi bisa menikmati buah rambutan yang benar-benar nikmat itu. Ibu mertua sayalah yang mengajak saya memetik dan memakan rambutannya. Beliau berkata saya boleh makan rambutan sebebas-bebasnya di rumah. Senang sekali.. Entah saya atau anak saya di kandungan yang senang makan rambutan. Setiap melahap rambutan, rasa mual langsung berhenti.
Kehamilan saya yang pertama ini memang terbilang seru dan unik. Kalau biasanya ibu hamil hanya mual pada trimester pertama, saya merasakannya hampir setiap hari, bahkan di trimester ketiga saya sempat sekali pingsan di depan kamar mandi. Saat itulah suami saya langsung berinisiatif untuk berdiskusi dengan keluarga di Makassar.
Karena khawatir, keluarga saya menganjurkan agar saya melahirkan di Makassar. Suami saya langsung setuju tanpa mendiskusikannya dengan saya terlebih dahulu. Saya sempat protes, namun suami saya meyakinkan dengan berkata, "Pulanglah ke Makassar.. Mungkin di sana kamu bisa lebih tenang karena dekat dengan keluarga. Lagipula, kamu sudah lama nggak pulang.. Keluargamu pasti rindu.. Di sana, ada banyak orang yang sayang dan peduli sama kamu. Insya Allah persalinan anak kita lancar..".
Begitulah.. Meski dengan berat hati, di usia kehamilan jelang 8 bulan, saya terbang ke Makassar, kembali ke kampung halaman di mana saya dibesarkan. Saat itu saya berpikir, mungkin anak saya memang ingin lahir di kampung halaman ibunya, dekat dengan kota yang masih cukup erat ikatan kekeluargaannya dan kekerabatan yang masih cukup kuat melekat.
Tibalah hari kelahiran anak saya. Saya masih ingat saat itu sangat banyak sanak saudara dan keluarga yang hadir menemani dan menghibur saya melewati saat-saat penuh perjuangan ini. Ibu, nenek, om, tante, dan adik-adik turut hadir mendampingi saya, memberi rasa hangat dan semangat di hati. Di situlah saya yakin, anak saya tak salah pilih tempat lahir. Dan suami saya tak salah menganjurkan saya melahirkan anak kami di Makassar.
Hari berlanjut. Setelah bersalin, ternyata keadaan belum memungkinkan saya kembali ke Jakarta. Nenek saya sakit. Jadi, sambil membesarkan anak, saya juga ikut membantu merawat Nenek.
Di sinilah saya merasa Tuhan berbicara melalui berbagai macam kejadian yang ada. Saya memang pernah mengeluhkan keadaan ini. Seharusnya, saya ikut suami saya daja untuk bersama-sama tinggal di Jakarta. Tapi, dari sekian banyak kejadian saya sadar. Tak ada tempat yang senyaman rumah, karena rumah adalah tempat yang paling mampu membuat kita betah dan nyaman. Tuhan menjawab segala kerinduan saya pada keluarga, setelah bertahun-tahun merantau.