Mohon tunggu...
Andi Mirati Primasari
Andi Mirati Primasari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Lahir dan besar di Makassar, dan saat ini menetap di Jakarta menjalani kesibukan sebagai seorang istri merangkap karyawati swasta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

No Place Could Be As Homey As Home #BahagiaDiRumah

1 Juni 2016   00:02 Diperbarui: 1 Juni 2016   00:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Novaversary #BahagiaDiRumah"][/caption]

"Maybe surrounded by a million people
I still feel alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know.." (Home - Michael Buble)

Penggalan lirik lagu Michael Buble di atas kembali mengingatkan saya lagi akan masa-masa nomaden dulu, saat masih berkutat dengan karier saya sebagai field geologist (yang notabene) harus nge-camp di site (lokasi tambang). Saat malam menjelang, ditemani suara jangkrik dan beraneka suara khas satwa hutan, seringkali saya iseng mendengarkan lagu ini, dengan harapan agar rasa rindu kepada rumah dan keluarga bisa sedikit terobati.

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah menganugerahkan akal, hati, dan jiwa untuk manusia di dunia sehingga siapapun yang tengah bersedih dan merasa terpuruk akan mulai jenuh untuk meratapi nasib, kemudian sesegera mungkin mencari cara terbaik untuk bangkit, menemukan formula mutakhir untuk meramu kesedihan menjadi suatu modal besar meraih kebahagiaan.

Formula mutakhir meraih kebahagiaan? Apa itu? Kalau kata suami saya, kunci bahagia itu cuma satu: Bersyukur.. Apa artinya segala nikmat kehidupan yang kita miliki apabila kita selalu merasa kurang? Atau justru membanding-bandingkan milik kita dengan pencapaian orang lain? Bisa-bisa malah kecemburuan atau kemarahan yang muncul, menimbulkan stres tak berkesudahan.

Stres itu pernah saya alami ketika melepas karier saya yang boleh dikata sudah lumayan untuk wanita usia 20-an. Sejak lulus kuliah, saya diterima bekerja di perusahaan tambang sebagai field geologist dengan gaji bulanan yang boleh dikata lebih dari cukup. Selama kurang lebih 3 tahun bekerja itu, tidak pernah sekalipun saya merasa kekurangan dalam hal materi. Keluhan saya hanya satu, keharusan untuk tinggal di basecamp geologist di daerah terpencil, jauh dari keluarga, minim akses, minim signal, serta fasilitas seadanya, membuat saya kurang nyaman.

[caption caption="Saat saya masih menjadi explorasion geologist di lapangan.."]

[/caption]

Efeknya luar biasa, begitu cuti menjelang, seperti pelampiasan, saya langsung menyerbu mall untuk membeli apa saja yang menyilaukan hasrat belanja. Karena lapar mata, semua saya beli. Ajakan seorang teman untuk travelling ke luar negeri pun tak saya abaikan. Meski negara yang saya datangi masih relatif dekat yaitu Singapura, namun siapa sangka setibanya di sana hasrat shopping saya malah makin menggila dan tak terkontrol.

Entah karena memang kurang senang berlama-lama di hutan, atau memang "rindu" yang sudah memuncak, akhirnya saya memutuskan "give up", resign dari pekerjaan sebagai field geologist di perusahaan sebelumnya, dan menerima tawaran kerja sebagai "database geologist" di tambang batubara. Bedanya, untuk pekerjaan ini saya lebih banyak beraktivitas pada kantor pusat di kota Jakarta ketimbang beraktivitas eksplorasi di lapangan.

Suasana baru, tantangan baru..

Setelah memutuskan pindah, otomatis semua tersegarkan oleh rutinitas baru. Saya yang dulunya bangun pagi untuk bergegas ke lapangan, kali ini harus bangun lebih pagi lagi. Alasannya, yang saya hadapi bukan lagi jalan menanjak yang kadang licin bila sudah disiram hujan semalam sebelumnya, yang tak bisa dipungkiri menjadi faktor utama penghambat ketepatan waktu saya tiba di rig. Tetapi kali ini saya harus "say hi" pada kemacetan Jakarta yang membuat saya harus bangun sesubuh mungkin, dan berangkat sepagi mungkin. Jika tidak, pasrahlah dan nikmati saja rasa gregetan menggugah emosi.

Bedanya, selicin-licinnya track yang dilalui untuk tiba di rig, setidaknya kaki masih bisa digerakkan untuk berjalan. Kalau sudah bicara macetnya Jakarta, sorry to say (apalagi bila naik kendaraan umum), semua seakan stuck dan melambat begitu saja, bergantung pada kapan kendaraan yang kita tumpangi akan maju. Untuk menghadapinya, solusinya hanya pasrah dan diam, sambil sedikit berdoa: semoga gaji harian saya tidak dipotong..

Begitu terus dari hari ke harinya sampai akhirnya tibalah saat di mana saya dilanda homesick yang boleh dikata parah. Tak ada lagi yang saya inginkan saat itu kecuali pulang ke rumah orang tua saya di Makassar. Saya pikir, apa gunanya jauh-jauh mencari nafkah seperti ini bila imbasnya saya harus jauh dari orang-orang yang saya sayangi?

"Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home.."

Pucuk dicinta ulam pun tiba.. Saat stres sedang melanda itulah, Tuhan mempertemukan saya dengan soulmate (suami) saya. Mungkin Tuhan pikir saya butuh seseorang untuk jadi tempat berkeluh kesah agar saya tak merasa makin sendirian atau galau karena homesick.

Kehadirannya dalam hidup saya memang memberi warna dan semangat baru untuk menjalani hidup. Bersamanya, sendiri bukan lagi beban. Perlahan saya mulai mengartikan kesendirian sebagai ruang untuk mencari jati diri dan menebak ke mana tujuan hidup kita sebenarnya. Dan secara kebetulan, kami menyadari bahwa tujuan hidup kami sama.

Karena sudah merasa cocok, prosesnya tak memakan waktu lama hingga kami memutuskan untuk menikah di rumah keluarga saya di Makassar.

Cerita berlanjut.

Setelah menikah, saya pindah ke rumah suami saya di daerah Cipayung, Jakarta Timur. A new atmosphere. Di sana saya tinggal bertiga dengan ibu mertua. Betapa senangnya saya memiliki ibu mertua yang sangat baik dan ramah, senang bercanda. Memilikinya sebagai mertua, sama rasanya seperti ibu sendiri. Setiap saya rindu keluarga di Makassar, beliau selalu menghibur dan menenangkan saya. "Sabar..", katanya.

Pernah ada satu kejadian, tak berapa lama setelah menikah, atasan saya di kantor menugaskan saya untuk ikut kegiatan eksplorasi di Kalimantan dan menetap di sana. Karena sudah menikah, perintah bos ini tidak langsung saya iyakan, namun saya diskusikan dulu dengan suami saya.

Di luar dugaan, ternyata suami saya tidak setuju. Ia malah dengan tegas menyarankan saya resign dan mencari pekerjaan lain yang bisa stay di Jakarta, sambil mencoba untuk mendaftar kuliah S2. Inilah dilema terbesar yang pernah saya alami. Bayangkan.. Setelah 3 tahun merintis karier, haruskah saya melepasnya begitu saja?

Suami saya nampaknya membaca kegundahan saya. Namun, bukannya berubah pikiran, ia malah bermohon agar saya tak usah pindah, karena pindah berarti saya akan meninggalkannya dalam waktu lama. Saya sadar, bukan itu yang kami harapkan untuk pernikahan kami yang belum lama kami rintis ini. Ia lalu menenangkan saya dengan mengatakan bahwa ia pasti akan membantu saya mencari pekerjaan baru.

Selanjutnya.. Hari-hari yang saya lalui dipenuhi dengan kesibukan baru: Melamar pekerjaan, mengikuti bursa kerja, dan menjalani interview jika ada panggian.

Saat tengah asyik mencari kerjaan baru.. Sekitar 4 bulan setelah menikah, saya mengandung anak pertama. Seperti ibu hamil pada umumnya, saya dilanda morning sickness yang cukup parah. Setiap harinya, saya merasa sesak dan mual. Pernah juga sekali waktu saya pingsan di depan kamar mandi. Saat itulah, suami saya menganjurkan agar saya berhenti sejenak untuk mencari kerja. Di sinilah stres itu bermula. Bagaimana mungkin saya berhenti kerja? Apa gunanya saya sekolah bertahun-tahun bila akhirnya saya menganggur tanpa kerjaan?

Lagi-lagi saya bingung. Saya akui, saya memang butuh bekerja untuk memperoleh tambahan uang belanja, meskipun sebenarnya dengan penghasilan suami saya sudah lebih dari cukup. Namun, anjuran suami saya tak boleh saya pandang sebelah mata. Saya selalu percaya ia hadir ke hidup saya untuk membantu saya mencari solusi atas segala kebingungan saya, membimbing ke arah mana saya semestinya melangkah.

"Tinggallah di rumah.. Jaga kesehatanmu dan anakku di dalam kandungan.. ". Begitulah kata suami saya yang langsung membuat saya merenung dan perlahan mengiyakan ucapannya. "Kamu nggak perlu khawatir kesepian, karena di rumah ada ibuku yang nemenin..", lanjutnya, diiringi dengan senyum manis dari ibu mertua saya. Senyum yang bikin saya selalu betah berlama-lama di rumah.

Pernah suatu waktu di Cipayung sedang musim rambutan. Hampir semua pohon rambutan di Cipayung berbuah banyak dan manis-manis, termasuk pohon rambutan di halaman rumah, yang menurut cerita ibu mertua saya, dulunya pohon ini ditanam oleh Almarhum Bapak Mertua saya dan merupakan pohon kesayangan beliau. Saking sayangnya, beliau melarang siapapun untuk menebang pohon tersebut. Alhamdulillah.. Berkat larangan beliau, saya jadi bisa menikmati buah rambutan yang benar-benar nikmat itu. Ibu mertua sayalah yang mengajak saya memetik dan memakan rambutannya. Beliau berkata saya boleh makan rambutan sebebas-bebasnya di rumah. Senang sekali.. Entah saya atau anak saya di kandungan yang senang makan rambutan. Setiap melahap rambutan, rasa mual langsung berhenti.

Kehamilan saya yang pertama ini memang terbilang seru dan unik. Kalau biasanya ibu hamil hanya mual pada trimester pertama, saya merasakannya hampir setiap hari, bahkan di trimester ketiga saya sempat sekali pingsan di depan kamar mandi. Saat itulah suami saya langsung berinisiatif untuk berdiskusi dengan keluarga di Makassar.

Karena khawatir, keluarga saya menganjurkan agar saya melahirkan di Makassar. Suami saya langsung setuju tanpa mendiskusikannya dengan saya terlebih dahulu. Saya sempat protes, namun suami saya meyakinkan dengan berkata, "Pulanglah ke Makassar.. Mungkin di sana kamu bisa lebih tenang karena dekat dengan keluarga. Lagipula, kamu sudah lama nggak pulang.. Keluargamu pasti rindu.. Di sana, ada banyak orang yang sayang dan peduli sama kamu. Insya Allah persalinan anak kita lancar..".

Begitulah.. Meski dengan berat hati, di usia kehamilan jelang 8 bulan, saya terbang ke Makassar, kembali ke kampung halaman di mana saya dibesarkan. Saat itu saya berpikir, mungkin anak saya memang ingin lahir di kampung halaman ibunya, dekat dengan kota yang masih cukup erat ikatan kekeluargaannya dan kekerabatan yang masih cukup kuat melekat.

Tibalah hari kelahiran anak saya. Saya masih ingat saat itu sangat banyak sanak saudara dan keluarga yang hadir menemani dan menghibur saya melewati saat-saat penuh perjuangan ini. Ibu, nenek, om, tante, dan adik-adik turut hadir mendampingi saya, memberi rasa hangat dan semangat di hati. Di situlah saya yakin, anak saya tak salah pilih tempat lahir. Dan suami saya tak salah menganjurkan saya melahirkan anak kami di Makassar.

Hari berlanjut. Setelah bersalin, ternyata keadaan belum memungkinkan saya kembali ke Jakarta. Nenek saya sakit. Jadi, sambil membesarkan anak, saya juga ikut membantu merawat Nenek.

Di sinilah saya merasa Tuhan berbicara melalui berbagai macam kejadian yang ada. Saya memang pernah mengeluhkan keadaan ini. Seharusnya, saya ikut suami saya daja untuk bersama-sama tinggal di Jakarta. Tapi, dari sekian banyak kejadian saya sadar. Tak ada tempat yang senyaman rumah, karena rumah adalah tempat yang paling mampu membuat kita betah dan nyaman. Tuhan menjawab segala kerinduan saya pada keluarga, setelah bertahun-tahun merantau.

Kesempatan ini tak saya sia-siakan karena saya yakin bila saatnya tiba nanti, saya pasti akan kembali ikut tinggal bersama suami saya. Suami saya selalu berpesan agar saya menikmati sebaik-baiknya waktu dan kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman di Makassar.

[caption caption="Satu hal yang seru adalah ketika teman-teman datang berkunjung ke rumah.. Rame.."]

[/caption]

Saya sempat berpikir untuk kembali ke Jakarta untuk kembali mencari kerja, namun suami saya masih melarang. Suami saya juga masih kurang setuju ketika ada yang menawari saya kerja di Makassar. Alasannya: prioritaskan anak. Anak tidak butuh pekerjaanmu, tapi ia butuh dirimu di masa-masa pertumbuhannya. Alhamdulillah.. Keputusan untuk stay at home ini memberi saya kesempatan untuk menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan anak saya, yang semakin hari semakin lucu dan menggemaskan saja.

Satu hal yang paling menyenangkan adalah, saya tak pernah merasa kesepian sedikitpun. Saya akui, setelah melahirkan, saya sempat merasakan baby blues karena rasa pesimis sebab suami tinggal di kota berbeda, namun hal itu tak menyurutkan semangat saya. Apalagi, sesekali suami saya berkunjung ke Makassar, jadi tak ada masalah.

Alangkah senangnya saya, ketika mendapat surprise dari keluarga di hari ulang tahun saya tanggal 24 April lalu, dan lebih senangnya lagi karena anak saya turut merayakan.

[caption caption="Celebrating my birthday with my son.."]

[/caption]

Saya jadi teringat.. Tabloid Nova kesayangan keluarga saya juga merayakan ulang tahunnya yang ke-28 Tahun ini.. Temanya: NOVAVERSARY .. Lewat Kompasiana, cerita ini juga persembahkan untuk meramaikan ulang tahun Tabloid Nova.

[caption caption="Membaca Tabloid Nova juga nenjadi aktivitas saya selama di rumagh.."]

[/caption]

Bersyukur dan bersyukur.. Itulah kunci kebahagiaan yang sesungguhnya. Mungkin ada orang yang berpikir sangat disayangkan bila di masa-masa produktif ini saya tidak bekerja di kantor, namun sangat lebih disayangkan lagi bila kebersamaan dan kehangatan yang penuh kebahagiaan di rumah harus terlewatkan. For me, this is a real quality time..

No place could be as homey as home.. Rumah adalah tempat meraih kebahagiaan yang sesungguhnya, kehangatan yang ditawarkannya tak pernah palsu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun